Implikasi Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Praktik Kenotariatan

Radhyca Nanda Pratama
Legal Officer di Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Konten dari Pengguna
26 Februari 2024 9:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Radhyca Nanda Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penandatanganan Addendum Perjanjian Pinjaman yang dilakukan di hadapan Notaris. Dok. Arsip Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Penandatanganan Addendum Perjanjian Pinjaman yang dilakukan di hadapan Notaris. Dok. Arsip Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah dalam penyelenggaraan bidang Hukum Keperdataan seharusnya Notaris melakukan upgrading dan update terhadap dinamika perkembangan Hukum Keperdataan. Tujuannya agar memberikan pelayanan yang prima kepada penghadap bilamana hendak ingin dibuatkan akta terkait peristiwa atau perbuatan dalam konteks Hukum Keperdataan. Selain itu juga, hal tersebut dimaksudkan agar menghindari jerat hukum baik pidana maupun perdata atas akta yang dibuat Notaris yang bersangkutan sehingga klien dari Notaris tersebut tidak dirugikan di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara yang efektif dan mudah untuk melakukan upgrading dan update pemahaman hukum oleh Notaris yakni dengan mencermati dinamika perkembangan Hukum Keperdataan dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada kesempatan kali ini saya mencatat dan menginventarisir terdapat 3 (tiga) Putusan MK dengan karakter positive legislature sehingga memiliki pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktik kenotariatan.
Pertama, pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan untuk Pisah Harta selama ikatan perkawinan berlangsung. Kaitannya hal ini pasca adanya Putusan No. 69/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU 1/1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pada dasarnya Putusan a quo memang kontroversial mengingat Perjanjian Perkawinan dapat dibuat kapan pun baik pra perkawinan maupun pasca perkawinan (sepanjang ikatan perkawinan tidak terputus) dan pemberlakuannya dapat ditentukan dalam Perjanjian Perkawinan.
ADVERTISEMENT
Dalam pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan untuk Pisah Harta terhadap harta benda bersama perkawinan yang dibuat selama ikatan perkawinan, Notaris agar senantiasa melaksanakan prinsip kehati-kehatian dalam membuat akta tersebut. Pertimbangannya menurut hemat saya Perjanjian Perkawinan tidak berlaku surut. Artinya manakala terdapat harta benda yang diperoleh pasangan suami istri yang telah terikat perkawinan yang sah menurut hukum agama dan negara sebelum dibuat Perjanjian Perkawinan maka harta tersebut dikualifikasi sebagai harta bersama yang peroleh selama perkawinan.
Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan dengan maksud meniadakan harta bersama selama ikatan perkawinan tidak berlaku surut untuk memisahkan harta bersama yang telah diperoleh selama ikatan perkawinan dilangsungkan dan peniadaan harta bersama tidak berlaku mutlak mengingat hanya berlaku dan mengikat terhadap harta benda yang diperoleh pada masa yang akan datang sepanjang perkawinan tidak terputus. Adapun dalam hal ini saya melakukan interpretasi hukum sistematis yaitu dengan menghubungkan antara ketentuan Pasal 29 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan dengan Pasal 1338 ayat (2) Burgerlijk Wetboek (BW) dan Pasal 2 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (AB). Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa Perjanjian Perkawinan yang dibuat selama ikatan perkawinan berlangsung dengan tujuan meniadakan harta bersama dianggap undang-undang bagi suami istri yang bersangkutan dan terhadap Perjanjian Perkawinan hanya berlaku pada saat dibuat dan telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan serta tidak berlaku surut.
ADVERTISEMENT
Kedua, pembuatan Akta Jaminan Fidusia (AJF) dalam praktik pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan dengan objek Jaminan Fidusia. Selanjutnya terdapat dinamika pergeseran kekuatan titel eksekutorial pada Sertifikat Jaminan Fidusia pasca adanya Putusan No. 18/PUU-XVII/2019. MK menafsirkan terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) berikut Penjelasannya UU 42/199 tentang Jaminan Fidusia (UU JF) tidak boleh ditentukan cidera janji (wanprestasi) secara sepihak oleh kreditur selaku penerima fidusia sepanjang tidak ada keberatan dari debitur atau pihak ketiga selaku pemberi fidusia.
Pasca adanya Putusan a quo dalam praktik pembuatan AJF di hadapan Notaris saya masih menemukan dalam beberapa materi muatan AJF yang menyepakati bahwa penerima fidusia dapat menyatakan secara sepihak adanya tindakan wanprestasi manakala terdapat kelalaian atas pelaksanaan prestasi pembayaran utang dari debitur kepada kreditur. Seharusnya Notaris wajib menyesuaikan atau melakukan rekonstruksi terhadap klausula wanprestasi dalam AJF sesuai dengan anjuran yang terdapat dalam Putusan a quo.
ADVERTISEMENT
Namun menurut hemat saya hal tersebut justru akan menimbulkan polemik lain dalam sukarnya pelaksanaan eksekusi objek Jaminan Fidusia oleh kreditur. Oleh sebab itu, direkomendasikan kepada pembentuk undang-undang agar segera melakukan amendemen terhadap UU JF sesuai dengan kebutuhan perkembangan bisnis yang makin variatif ragamnya.
Mengingat semangat diundangkannya UU JF bertujuan untuk menampung kebutuhan terhadap pendanaan yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam bisnis sebagaiman diperoleh melalui transaksi pinjam meminjam. Sehingga baik debitur dan kreditur tidak saling dirugikan dalam pelaksanaan praktik pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan.
Ketiga, pembuatan Akta Pengikatan Peralihan Hak Kebendaan antara Developer dengan Penyandang Disabilitas dalam praktik jual beli properti. Hal ini berkaitan dengan ketidakcakapan seseorang yang telah dewasa dalam melakukan perbuatan hukum sehingga harus ditaruh di bawah pengampuan. Melalui Putusan No. 93/PUU-XX/2022, MK telah memaknai dan mengubah ketentuan Pasal 433 BW menjadi, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
ADVERTISEMENT
Putusan tersebut memang syarat akan progresif mengingat dalam BW tidak dikenal terminologi Penyandang Disabilitas. Terminologi tersebut baru dapat ditemui bilamana membaca dan mencermati UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas). Oleh sebab itu, terhadap Penyandang Disabilitas mental maupun intelektual dapat ditaruh di bawah pengampuan.
Adapun Putusan MK tersebut memberikan pelindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan bagi Penyendang Disabilitas. Mengingat kedua jenis disabilitas tersebut dapat dikategorikan tidak memiliki kapasitas hukum untuk melakukan perbuatan hukum dan semestinya untuk perbuatan hukum diwakili oleh wali pengampunya (Kurator). Sesuai dengan ketentuan Pasal 436 BW terkait permohonan pengampuan terhadap kedua jenis penyandang disabilitas harus dimohonkan oleh calon wali pengampunya kepada Pengadilan Negeri setempat dimana orang yang akan diampu tinggal. Selain itu dalam permohonan tersebut wajib dilengkapi hasil record medicine yang telah menetapkan bahwa yang bersangkutan menderita disabilitas mental maupun intelektual.
ADVERTISEMENT
Lalu apa kaitannya hal tersebut dengan praktik kenotariatan? Perlu dipahami dalam ketentuan Pasal 9 huruf c UU Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas memiliki harta tidak bergerak.
Dalam sistem Hukum Keperdataan tanah dikategorikan benda tidak bergerak (Herlien Budiono, 2016: 228). Selanjutnya bila kita perhatikan pada fenomena pre project selling dalam jual beli tanah berikut bangunan properti di atasnya dituangkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagaimana ternyata dalam Pasal 42 ayat (1) UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) jo. Pasal 22 ayat (3) PP 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana diubah oleh PP 12/2021 (PP P2KP).
Sehubungan dalam Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 22K PP P2KP secara tegas bahwa dalam transaksi jual beli rumah dengan mekanisme pre project selling dalam pembuatan PPJB wajib dituangkan dalam akta Notaris. Hal ini berkaitan dengan setiap orang yang diklasifikasikan sebagai Penyandang Disabilitas ingin melakukan transaksi pembelian dengan mekanisme tersebut, maka Notaris wajib meminta dokumen Penetapan Pengadilan Negeri bahwa yang bersangkutan sedang ditaruh di bawah pengampuan sebagai warkah dan dilekatkan pada minuta Akta PPJB tersebut. Tujuannya agar pembuatan Akta PPJB tidak terdapat cacat yuridis sehingga tidak dituntut pembatalan oleh pihak ketiga atau berkepentingan mengingat Penyandang Disabilitas dengan jenis disabilitas intelektual dan/atau disabilitas mental tidak memiliki kewenangan dan kecakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum sehingga harus diwakili oleh wali pengampunya.
ADVERTISEMENT