Konten dari Pengguna

Indonesian Cyber Notary Law: Ius Constituendum atau Keniscayaan?

Radhyca Nanda Pratama
Legal Officer di Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
3 Maret 2024 12:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Radhyca Nanda Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penandatangan Kredit di hadapan Notaris. Dok. Arsip Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Penandatangan Kredit di hadapan Notaris. Dok. Arsip Pribadi
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan ini, saya mencoba mengomentari opini yang telah ditulis oleh Prof. Dr. Ahmad M Ramli dalam kompas.com (22/12/2023) berjudul “UU ITE Baru dan Akta Notariil,” melalui artikel yang saya tulis ini. Bukan berarti saya menentang terhadap opini yang telah beliau buat.
ADVERTISEMENT
Melainkan terdapat logika hukum yang hendak saya luruskan untuk memahami terkait autentisitas akta notaris sebagai alat bukti tertulis. Selanjutnya menguraikan mengenai digitalisasi terhadap akta notaris berdasarkan praktik yang telah saya temui.
Autentisitas Akta Notaris
Kedudukan akta notaris sebagai alat bukti tertulis dalam sebuah transaksi memegang peran penting. Hal tersebut secara expressive verbis diungkapkan melalui ketentuan Pasal 1871 KUH Perdata dan Penjelasan Umum UU JN, yang mengkualifikasikan sifat dan karakter dari akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna, terkuat dan terpenuh.
Sesuai yang dinyatakan melalui rumusan Pasal 1868 KUH Perdata dan Pasal 1 angka 7 UU JN, kedua Pasal a quo secara gramatikal sama-sama mensyaratkan bahwa dalam pembuatan akta autentik guna mengkonstatir suatu peristiwa atau perbuatan harus dimaknai Notaris harus hadir secara langsung atau menghadap langsung secara fisik (door to door) di hadapan seorang Notaris. Hal tersebut didasarkan dengan adanya frasa “…yang dibuat oleh atau di hadapan…” dalam kedua Pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat saya, terhadap pemaknaan tersebut sebagaimana telah di uraikan sebelumnya tidak dapat ditawar dengan analogi terhadap ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata dan Pasal 1 angka 7 UU JN. Jika diberlakukan analogi pada kedua Pasal a quo maka dapat dijelaskan bahwa dalam suatu pembuatan akta dapat dilakukan berhadapan secara tidak langsung dengan Notaris atau disaksikan secara tidak langsung oleh Notaris mengenai peristiwa atau perbuatan tersebut. Secara tidak langsung diartikan dapat melalui media elektronik atau daring (online).
Jika hal tersebut secara nyata diterapkan maka niscaya akta notaris akan kehilangan autentisitasnya sebagai alat bukti yang sempurna dalam suatu transaksi meskipun saat ini telah banyak platform yang dapat digunakan sebagai media elektronik untuk bertatap muka secara tidak langsung. Mengingat dalam Hukum Kenotariatan berlaku Prinsip Asas Praduga Sah untuk menilai keabsahan dari sebuah akta notaris.
ADVERTISEMENT
Apabila dalam suatu pembuatan akta notaris tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh UU JN maka akta tersebut keabsahannya diragukan bahkan dapat dikatakan cacat yuridis sehingga kekuatan pembuktiannya akan terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Dalam UU a quo tanda tangan yang dimaksud adalah tanda tangan basah penghadap, saksi-saksi dan notaris.
Tanda tangan basah penghadap diwajibkan untuk jenis akta notaris akta partai saja. Kecuali untuk akta relaas tanda tangan tidak diwajibkan, contohnya dalam pembuatan risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebuah PT melalui akta relaas yang dibuat oleh notaris (vide Pasal 90 ayat (2) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diubah oleh UU No. 6/2023 (UU PT).
Pengakuan tanda tangan elektronik secara yuridis telah diakomodir dalam materi muatan UU ITE. Dengan diakuinya tanda tangan eletronik tentu tidak serta mendelegitimasi persyaratan tanda tangan basah dalam pembuatan akta notaris sesuai yang ditetapkan oleh UU JN. Hal ini dikukuhkan dalam rumusan Pasal 5 ayat (4) Amandemen Kedua UU ITE (vide UU No. 1/2024).
ADVERTISEMENT
Pasal a quo secara tidak langsung telah memberikan batasan berlakunya penggunaan informasi elektronik maupun dokumen elektronik termasuk tanda tangan elektronik sepanjang undang-undang lain telah mempersyaratkan dan menentukan. Tanda tangan elektronik dalam UU ITE bukan merupakan ketentuan lex specialis begitu pula tanda tanda basah dalam UU JN bukan sebagai ketentuan lex generalis. Melainkan keduanya berdiri masing-masing sesuai dengan karakteristik setiap transaksi atau hubungan hukum yang dilakukan para pihak.
Digitalisasi Akta Notaris
Perlu dipahami digitalisasi akta notaris yang saya maksud dalam hal ini adalah suatu mekanisme penunjang guna memberikan kemudahan bagi notaris dalam menjalankan jabatannya sehari-hari melalui sistem elektronik yang terintegrasi. Digitalisasi tersebut tidak semata-mata menghilangkan autentisitas akta notaris melainkan justru memberikan kemudahan bagi para pihak yang berkaitan (dalam hal ini kreditur) dan Notaris yang bersangkutan. Berikut contoh pelaksanaan bentuk digitalisasi dalam praktik kenotariatan yang telah saya temui dan jalani adalah berupa pendaftaran Hak Tanggungan secara elektronik (HTel).
ADVERTISEMENT
Landasan hukum pelaksanaan HTel terlacak dalam PMATR/Kepala BPN No. 5/2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi secara Elektronik. Lalu apa perannya seorang Notaris dalam pelaksanaan HTel? Sesuai dengan kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal ayat (2) huruf f UU JN, Notaris berwenang membuat akta berkenaan dengan pertanahan.
Tentu ketentuan Pasal a quo tidak berdiri sendiri melainkan semestinya dibaca secara sistematis yang dihubungkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UU HT). Demikian akta pertanahan dimaksud yang dapat dibuat Notaris salah satunya berupa Surat Kuasa Membebankan Hak Tangggungan (SKMHT) yang dapat ditemui dalam praktik pemberian fasilitas pinjaman yang disertai adanya pembebanan agunan berupa hak atas tanah.
ADVERTISEMENT
Kaitannya dalam pelaksanaan HTel ini, bilamana dalam proses pemberian Hak Tanggungan didahului dengan pembuatan SKMHT dengan akta notaris maka notaris yang bersangkutan wajib menjamin autentisitas akta tersebut. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan diakhiri dengan pendaftaran Hak Tanggungan pada aplikasi/situs HTel (lihat www.htel.atrbpn.go.id).
Di sini lah bentuk implementasi digitalisasi terhadap akta notaris (SKMHT). Berdasarkan prosedur pendaftaran Hak Tanggungan pada awalnya SKMHT tersebut berupa minuta akta yang telah ditandatangani basah oleh penghadap, saksi-saksi dan notaris. Selanjutnya akta tersebut dipindai secara elektronik melalui mesin scanner guna diubah menjadi dokumen elektronik dan diunggah pada laman HTel. Oleh sebab itu, sejatinya SKHMT tersebut yang telah diubah menjadi dokumen elektronik namun autensititasnya sebagai alat bukti yang sempurna tetap terjamin sepanjang dalam proses pembuatannya telah memenuhi yang ditetapkan dalam UU JN.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya terkait pelaksanaan digitalisasi akta notaris merupakan salah satu upaya dalam modernisasi kebutuhan praktik yang sangat dibutuhkan para stakeholders kenotariatan. Terkait regulasi cyber notary saya berpandangan memang diperlukan dan menjadi urgensi untuk kebutuhan praktik kenotariatan namun jangan sampai mengabaikan esensi dari hakikat autentisititas akta notaris itu sendiri.