Konten dari Pengguna

Perusahaan Maskapai Penerbangan Kerap Abaikan Hak Penumpang

Radhyca Nanda Pratama
Legal Officer di Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
29 Maret 2024 9:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Radhyca Nanda Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penerbangan Jakarta - Bali. Dok Arsip Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Penerbangan Jakarta - Bali. Dok Arsip Pribadi
ADVERTISEMENT
Pada penghujung tahun 2023, tepatnya bulan Desember saya kembali menggunakan Perusahaan maskapai penerbangan cq. PT. Batik Air Indonesia dalam mobilisasi urusan kantor di luar daerah Jakarta. Saya menggunakan maskapai tersebut bukan sekali dua kali melainkan sudah menjadi alternatif pilihan bagi saya untuk moda transportasi udara.
ADVERTISEMENT
Penerbangan saya dengan Maskapai Batik Air dengan ID 8540 dengan tujuan Jakarta (HLP) kala itu pada tanggal 28 Desember 2023 yang dijadwalkan pukul 20.40 WIB. Kurang lebih sekitar delapan belas jam sebelum keberangkatan saya memperoleh notifikasi dari Batik Air melalui WhatsApp bahwa jadwal penerbangan Batik Air ID 8540 dialihkan dan dimajukan lebih cepat enam jam dari jadwal keberangkatan yang telah dijadwalkan sebelumnya, tepatnya menjadi pukul 15.40 WIB dengan nomor penerbangan ID 7512. Tentu hal ini membuat sangat tidak nyaman bagi saya dengan adanya perubahan jadwal flight meskipun dimajukan.
Di sisi lain, dengan dilakukan perubahan jadwal flight menunjukkan bahwa Perusahaan maskapai cukup tidak profesional dan semata hanya mengejar keuntungan tanpa memperhatikan ketepatan dalam melayani penumpang selaku konsumen. Tidak hanya itu, hal tersebut berimplikasi terhadap jadwal yang telah saya buat dan sepekati dengan pihak ketiga sebelum flight terpaksa harus saya cancel. Memang ini sebenarnya tidak boleh disepelekan begitu saja dikarenkan terdapat hak-hak keperdataan penumpang selaku konsumen yang diabaikan oleh Perusahaan Maskapai Penerbangan.
ADVERTISEMENT
Perikatan dalam Pengangkutan Udara Secara umum terdapat dua sumber yang dapat melahirkan suatu perikatan sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 1233 Burgerlijk Wetboek/KUH Perdata (BW). Pertama, Perikatan dapat dilahirkan melalui dibuatnya perjanjian atau kontrak. Kedua, lahirnya suatu perikatan dapat juga karena undang-undang. Bila kita perhatikan sehari-hari, dalam setiap lini aktivitas atau kegiatan seorang manusia senantiasa terkoneksi dengan konstelasi hukum perikatan. Sebagai contoh sederhana dalam transaksi jual beli tiket penerbangan antara konsumen (calon penumpang) dengan perusahaan platform penyedia jasa penerbangan, apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 BW melahirkan suatu hubungan keperdataan yang terdapat perikatan di dalamnya.
Dalam konteks Hukum Pengangkutan baik darat, laut maupun udara pada hakikatnya tidak terlepas dengan adanya suatu Perjanjian Pengangkutan. Perjanjian yang dimaksud dalam UU 1/2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) terminologi yang dipergunakan adalah Perjanjian Pengangkutan Udara. Melalui ketentuan Pasal 1 angka 29 UU Penerbangan Perjanjian Pengangkutan Udara didefinisikan sebagai “perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirimkargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.”
ADVERTISEMENT
Bersandar pada ketentuan Pasal 1319 BW, Perjanjian Pengangkutan Udara dikategorikan sebagai Perjanjian Innominaat (perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan basyarakat berdasarkan praktik). Mengingat dalam kodifikasi Buku Ketiga Perikatan pada BW tidak ditemui melainkan terlacak dalam UU Penerbangan. Meskipun demikian bagaimanapun terhadap Perjanjian Pengangkutan Udara mengenai keabsahannya tentu semestinya harus memenuhi persyaratan dalam ketentuan Pasal 1320 BW.
Karakteristik Perjanjian Pengangkutan Udara dalam ketentuan Pasal 140 ayat (3) UU Penerbangan dinyatakan dalam bentuk tiket penumpang dalam hal mengangkut orang atau dokumen muatan manakala mengangkut suatu barang. Secara sistematis dengan dihubungkan antara ketentuan Pasal 140 ayat (3) dengan Pasal 150 huruf b UU Penerbangan, Boarding Pass juga dapat dimaknai sebagai Perjanjian Pengangkutan Udara. Perjanjian Pengangkutan Udara itu sendiri merupakan sumber perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban antara Perusahaan Maskapai Penerbangan dengan Penumpang, sehingga kedua belah pihak tersebut masing-masing memiliki kewajiban prestasi yang sepatutnya dapat dituntut pemenuhannya.
ADVERTISEMENT
Potensi Penyalahgunaan Keadaan Sudah bukan menjadi rahasia umum dalam kasus-kasus sengketa konsumen, Pelaku Usaha (cq. Perusahaan Maskapai Penerbangan) memiliki keunggulan dari segi bargaining position dibandingkan dengan Konsumen (cq. Penumpang). Kondisi dan fenomena tersebut dapat berimplikasi terhadap kuatnya kedudukan Perusahaan Maskapai Penerbangan dan Penumpang menjadi tidak proporsional dan Penumpang berada pada posisi yang lemah.
Kondisi inilah yang sering kali dimanfaatkan oleh maskapai guna mengambil cara-cara atau langkah-langkah tersistematis yang dipandang persuasif untuk meraup keuntungan sepihak. Fenomena hukum tersebut dikenal dengan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden/undue influence). Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila salah satu pihak terpengaruh dikarenakan keadaan khusus untuk melakukan perbuatan hukum dan pihak lawannya menyalahgunakan hal tersebut guna mengambil benefit (Herlien Budiono, 2014: 100), sehingga pihak lainnya dengan mudah dikuasai secara ekonomis dan psikologis oleh pihak lawannya (Herlien Budiono, 2016: 17).
ADVERTISEMENT
Penyalahgunaan keadaan ini merupakan salah satu bentuk cacat pada kehendak (wilsgebreken) yang dapat digunakan sebagai alasan dapat dibatalkannya suatu perjanjian di muka Pengadilan sekalipun pernyataan dan persesuaian kehendak telah terbentuk dalam perjanjian tersebut. Selanjutnya dapat dipahami kehendak yang terbentuk tersebut tidak sempurna dikarenakan kehendaknya semu muncul akibat terpaksa melainkan tidak secara sukarela.
Dalam hal kejadian yang saya alami ini, Batik Air dengan seenaknya mengalihkan waktu penerbangan lebih awal dengan alasan kuota penumpang tidak terpenuhi. Lantas mengapa menyediakan pilihan jadwal penerbangan akhir (last flight) jika ujung-ujungnya dialihkan flight schedule-nya? Sungguh tindakan tersebut berpotensi melakukan penyelahgunaan keadaan, karena unggulnya kedudukan ekonomis Batik Air selaku Perusahaan Maskapai Penerbangan sehingga tidak mau dirugikan dan hanya mencari keuntungan semata tanpa memperhatikan kepentingan atau janji yang telah telah dibuat antara Penumpang dengan pihak ketiga.
ADVERTISEMENT
Secara kedudukan psikologis pun saya selaku Penumpang, mau tidak mau terpaksa mengiyakan opsi tersebut padahal secara nyata kesepakatan di awal dalam memilih jadwal penerbangan tidak seperti demikian. Oleh karena itu, menurut hemat saya terjadinya penyalahgunaan keadaan tidak hanya terjadi pada fenomena kredit pemilikan rumah (KPR) yang pada umumnya debitur sekaligus sebagai konsumen disodorkan untuk menandatangani Kuasa Menjual atas agunan rumah sebagai objek pembiayaan yang di dalamnya terdapat Kuasa Mutlak sebagaimana dilarang oleh Pasal 39 ayat (1) huruf d PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah namun penyelahgunaan keadaan juga terjadi dalam layanan penerbangan.
Adanya Cidera Janji Meskipun dalam ketentuan Pasal 147 ayat (1) UU Penerbangan telah menyatakan bahwa Perusahaan Maskapai Penerbangan memiliki tanggung jawab atas tidak terangkutnya Penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan disepakti dengan alasan kapasitas pesawat udara, saya berpandangan hal tersebut tidak serta merta dapat digunakan sebagai alasan logis oleh pihak maskapai dan melalui ketentuan tersebut pihak maskapai menjadikan tameng pembenaran. Selain itu, Bentuk tanggung jawab tersebut berupa mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan (vide Pasal 147 ayat (2) UU Penerbangan).
ADVERTISEMENT
Melalui ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan (2) UU Penerbangan, menyatakan bahwa, Pertama, Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan. Kedua, Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.
Jika diperhatikan pada frasa “....pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati” dalam ketentuan Pasal 140 ayat (2) UU Penerbangan, menurut saya yang dimaksud pelayanan yang layak oleh maskapai penerbangan seharusnya juga dimaknai termasuk menepati janji sebagaimana telah disepakati dalam Tiket dan Boarding Pass yang telah disetujui oleh Penumpang sebelumnya melainkan bukan tiba-tiba mengalihkan atau merubah jadwal penerbangan secara sepihak.
ADVERTISEMENT
Perlu dipahami Tiket dan Boarding Pass merupakan Perjanjian Pengangkutan Udara yang telah disepakati antara Penumpang dengan Perusahaan Maskapai Penerbangan sehingga di dalamnya terdapat uraian janji-janji yang secara tidak langsung, sederhananya seperti tanggal dan waktu penerbangan menjadi bagian di dalamnya yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, secara nyata kali ini Perusahaan sekalas Batik Air lalai untuk melaksanakan pretasinya kepada customer-nya sehingga cidera janji dengan bentuk melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan secara tidak sadar dilakukan oleh Batik Air.