Konten dari Pengguna

Manusia dan Rumahnya (Alam)

Radinal Muhdar
Master of Human Resources Management - Pemerhati Pengembangan Manusia Indonesia
8 Juli 2024 12:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Radinal Muhdar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Manusia dan alam, Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto Manusia dan alam, Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Manusia selalu merasakan kedamaian, kenyamanan, dan ketenangan saat berada di tengah-tengah alam. Fenomena ini sering dianggap sebagai bukti bahwa tempat kembali manusia yang sejati adalah alam. Namun, ironisnya, manusia terus menerus merusak lingkungan alam mereka demi membangun struktur yang disebut "rumah."
ADVERTISEMENT
Berbagai studi ilmiah telah membuktikan bahwa berada di alam dapat meningkatkan kesehatan mental dan fisik manusia. Penelitian dari Stanford University menemukan bahwa berjalan kaki di alam dapat mengurangi gejala depresi dan meningkatkan kesejahteraan emosional. Efek restoratif alam ini dikenal dengan istilah “biophilia,” yang diusulkan oleh ahli biologi Edward O. Wilson, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk berhubungan dengan alam.
Meskipun manfaat alam sangat jelas, manusia terus merusak lingkungan demi sesuatu ide atau gagasan utama yang disebut pembangunan. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara tahun 2001 dan 2020, dunia kehilangan sekitar 10% dari tutupan hutan primernya, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penebangan hutan dan urbanisasi.
ADVERTISEMENT
Pembangunan infrastruktur, pemukiman, dan industri sering kali mengorbankan lingkungan alami. Kerusakan alam tidak hanya mengancam flora dan fauna, tetapi juga kesehatan dan keberlanjutan hidup manusia sendiri. Pemanasan global yang dipicu oleh deforestasi dan emisi karbon telah menyebabkan peningkatan suhu global, perubahan pola cuaca, dan peningkatan frekuensi bencana alam.
Menurut laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) 2021, tanpa tindakan signifikan, suhu global dapat meningkat lebih dari 1,5°C di atas level pra-industri pada tahun 2040, yang akan memiliki konsekuensi bencana bagi planet ini. Jika tren saat ini terus berlanjut, manusia akan menghadapi krisis lingkungan yang semakin parah.
Namun, ada harapan dengan adanya peningkatan kesadaran dan gerakan global untuk keberlanjutan. Pada tahun 2024, banyak negara telah mulai mengimplementasikan kebijakan hijau, seperti target emisi nol bersih, pelestarian hutan, dan investasi dalam energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
PBB juga telah menetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang salah satunya bertujuan untuk melestarikan ekosistem daratan. Untuk mengatasi paradoks ini, manusia harus mengubah cara mereka memandang dan berinteraksi dengan alam. Pembangunan berkelanjutan harus menjadi prioritas, dengan memadukan kebutuhan pembangunan dan pelestarian alam. Desain arsitektur hijau, praktik pertanian berkelanjutan, dan konservasi hutan adalah langkah-langkah penting menuju keseimbangan ini.
Gambar manusia hewan dan alam, Sumber: Pixabay.con
Selain itu, pendidikan dan kesadaran lingkungan harus ditingkatkan agar generasi mendatang dapat memahami pentingnya menjaga "rumah" sejati mereka. Manusia merasakan kedamaian dan kenyamanan di alam karena itulah rumah sejati mereka. Namun, paradoks menghancurkan alam untuk membangun rumah telah membawa dampak negatif yang signifikan.
Dengan memahami dan mengatasi masalah ini melalui tindakan yang berkelanjutan dan terkoordinasi, manusia dapat berharap untuk masa depan di mana pembangunan dan alam dapat hidup berdampingan harmoni. Karena sejatinya manusia dan alam adalah saudara kandung yang dilahirkan dari rahim yang sama yaitu(Bumi).
ADVERTISEMENT