Konten dari Pengguna

Bosan dengan Virus Corona di Indonesia? Simak Tips Jitu Sosiologis Berikut ini!

Raditia Yoke
Student at Department of Sociology, Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University
28 Desember 2020 9:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raditia Yoke tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bentuk collective-consciousness atau kesadaran kolektif. (Foto: Dokumentasi kegiatan Sarasehan Nasional YBM BRI di Bogor 2019 sebelum pandemi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bentuk collective-consciousness atau kesadaran kolektif. (Foto: Dokumentasi kegiatan Sarasehan Nasional YBM BRI di Bogor 2019 sebelum pandemi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hingga kini, penanganan virus corona di Indonesia dalam kasus harian masih mencemaskan. Menginjak bulan yang kesebelas sejak diumumkannya kasus pertama covid-19 pada 2 Maret 2020, tingkat pertambahan kasus orang terinfenksi covid-19 masih di angka 22,19% per tanggal 27 Desember 2020. Ini adalah angka yang sangat tinggi mengingat rekomendasi WHO untuk pandemi covid-19 yang aman harus maksimal 5 persen positivity rate. Di Indonesia, sempat terjadi penurunan di Oktober hingga November di angkat 13,55 persen, namun meningkat hampir dua kali lipat di bulan Desember. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah, bukan hanya di Indonesia bahkan di seluruh dunia di negaranya masing-masing. Namun, tingkat risiko untuk tiap pilihan kebijakan masih tinggi. Harus ada yang dikorbankan untuk menanggung risiko lebih, entah pada perekonomian, kesehatan, pariwisata, atau bahkan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana solusi terbaik di masa yang serba salah ini? Disebut serba salah karena setiap kebijakan yang diambil ketika pandemi akan memakan risiko yang besar. Simalakama orang sering menyebut, semua serba salah. Misalnya, terkait lockdown, banyak riset dan penyataan muncul bahwa ini salah, namun jika dibiarkan tanpa lockdown, justru bertambah parah. Jika lockdown diterapkan, perekonomian terhambat dan kemiskinan semakin meluas. Jika dibiarkan, kesehatan dan nyawa menjadi taruhan.
Lalu, sosiologi sebagai salah satu disiplin ilmu hadir memberikan solusi:
1. Collective-consciousness
Konsep collective-consciousness ini adalah bahasan yang tak asing di ranah keilmuan Sosiologi. Collective-consciousness atau biasa disebut kesadaran kolektif adalah solusi paling tepat di saat sekarang ini. Kenapa bisa tepat? Karena tidak akan bisa jika kita hanya bergerak sendiri-sendiri, perlu satu nafas pergerakan yang didahului dengan kesadaran serta keyakinan untuk melawan satu musuh. Tentu juga harus diikuti dengan collective-action. Collective-action ini adalah gerak responsif secara kolektif yang mana menjadi bagian mutlak dari keberlanjutan collective-consciousness ketika sudah terbentuk.
ADVERTISEMENT
Konsep ini tidak akan asing bagi orang yang belajar tentang Sosiologi dan tokoh fenomenalnya, Emile Durkheim. Bukunya di tahun 1893 berjudul The Division of Labour Society telah membedah tuntas tentang konsep tersebut. Mari kita lihat definisi langsung yang diberikan langsung oleh tokoh Sosiologi tersebut:
Emile Durkheim dengan jelas menunjukkan bahwa kesadaran kolektif berwujud keyakinan secara total di rata-rata anggota dari masyarakat. Jika ini terbentuk, maka sistem kehidupan akan terbentuk menyesuaikan kesadaran kolektif tersebut. Bahkan lebih lanjut, Durkheim dalam bukunya berjudul 'Suicide' memberikan contoh konkrit dalam hubungannya konsep ini terhadap tingkat kasus bunuh diri. Ia membuktikan jika kesadaran kolektif semakin rendah maka akan berefek terhadap solidaritas yang semakin rendah pula, kemudian berujung kepada tingkat bunuh diri yang meningkat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat harus memiliki kesadaran situasi kedaruratan. Jika dalam konteks pandemi covid-19, masyarakat harus sama-sama paham jika dampak pandemi ini adalah jutaan orang kehilangan pekerjaan, perusahaan banyak bangkrut, UMKM apalagi. Tidak sampai di situ, jika ada pasien covid-19 masuk ICU, biaya per pasien bisa mencapai 15 juta per hari, bayangkan jika total pasien ratusan bahkan ribuan per hari, berapa biaya yang harus dikelurakan negara untuk menanggungnya.
Di sisi pendidikan, jutaan siswa semakin tidak bisa belajar dengan efektif karena learn from home tanpa teknologi memadai, sehingga menjadi semakin tidak bisa mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan. Kesadaran ini harus kolektif dan berkelanjutan, tidak bisa jika sporadis. Setelah terbentuk kesadaran kolektif terkait situasi kedaruratan tersebut, baru beranjak kepada kolektif aksi. Kolektif aksi akan otomatis terwujud jika ada kesadaran situasi kedaruratan, seperti kemauan penuh masyarakat donor plasma darah bagi penyintas covid-19, menjaga 3M (menjaga jarak, mencuci tangan, memakai masker), dan perilaku yang menunjang keberhasilan mengatasi pandemi.
ADVERTISEMENT
2. Kepemimpinan Kharismatik
Menteri Kesehatan RI baru, Budi Gunadi Sadikin, sedang berdiskusi bersama dr. Tirta dan beberapa relawan corona lainnya. (Sumber: instagram @dr.tirta)
Selain itu, kesadaran kolektif akan bisa efektif disampaikan kepada seluruh elemen masyarakat jika terdapat perangkat. Perangkat terbaik untuk penyampai informasi itu yaitu dengan kepemimpinan kharismatik. Gaya kepemimpinan ini menonjolkan karisma sebagai bentuk menarik dan menginspirasi pengabdian dari orang lain. Sehingga peran pemerintah atau tokoh masyarakat di sini menjadi krusial. Ambil salah satu contoh yaitu langkah Menteri Kesehatan terbaru Indonesia yang menggantikan dr. Terawan, Budi Gunadi Sadikin, ketika di hari pertamanya bekerja. Beliau langsung mengumpulkan para relawan seperti dr. Tirta, tenaga medis, pendidik, influencer, dan berbagai unsur penting masyarakat terkait covid-19 untuk bersama-sama merumuskan solusi terbaik bagi penanganan pandemi di Indonesia. Ini adalah langkah yang tepat dalam proses membentuk kesadaran situasi darurat secara kolektif dengan melibatkan pemimpin, tokoh, dan berbagai unsur penting masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, tantangannya adalah menciptkan kesadaran di masyarakat secara keseluruhan tentang situasi darurat ini. Jadi, bukan negara saja yang sadar dan menanggung seperti biaya di ICU mencapai 15 juta per hari seperti yang dikatakan Prof. Hasbullah, Guru Besar FKM UI dalam diskusi Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (26/11/2020). Namun, meski ditanggung negara, masyarakat harus dapat memahami dan berempat dengan mengikuti prokokol kesehatan. Sehingga setelah terbentuk kesadaran kolektif tentang situasi kedaruratan, muncul kolektif aksi dari seluruh masyarakat berbentuk perilaku yang menunjang keberhasilan suatu negara menangani pandemi virus corona di Indonesia.