Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Disparitas Pendidikan di Indonesia Selama Pembelajaran Daring Akibat COVID-19
14 Juni 2022 20:36 WIB
Tulisan dari raditya agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kesenjangan merupakan salah satu permasalahan yang sering kita jumpai di Indonesia, salah satunya adalah kesenjangan dalam dunia pendidikan. Kesenjangan pendidikan terlihat sangat jelas perbedaannya di desa dan kota. Sejak bulan Maret 2020, sebagian besar sekolah dan madrasah di seluruh pelosok Indonesia telah melakukan perubahan dalam sistem pembelajaran, yaitu pembelajaran secara dalam jejaring (daring). Kesenjangan yang terjadi tersebut membuat peserta didik sukar meraih ilmu yang diajarkan dengan maksimal dibanding peserta didik lainnya. Selain itu, mereka juga akan mengalami kesukaran untuk bersaing dengan peserta didik lainnya di dunia pendidikan yang penuh akan kompetisi.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan digital pada awalnya hanya mengacu kepada kesenjangan dalam mendapatkan akses komputer. Namun, saat internet mulai berkembang dengan pesat di tengah masyarakat, istilah kesenjangan digital bukan hanya dalam hal akses ke komputer, tetapi juga dalam hal mengakses internet (Van Dijk, 2010).
Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam proses kegiatan belajar mengajar secara daring adalah yang pertama, yaitu banyaknya peserta didik yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan sarana teknologi informasi komunikasi, bahkan jaringan internet untuk mengikuti pembelajaran secara daring. Kesenjangan dalam kepemilikan TIK ini terjadi karena kesenjangan sosial-ekonomi yaitu ketidakseteraan antara miskin dan kaya. Kesenjangan digital ini memberi kesimpulan bahwa kegiatan belajar mengajar secara daring lebih menguntungkan masyarakat menengah atas (kaya) daripada masyarakat menengah ke bawah (miskin).
ADVERTISEMENT
Kemiskinan yang selalu meningkat bukanlah hal baru yang dihadapi Indonesia. Data BPS menunjukkan pada bulan Maret 2021 jumlah penduduk berstatus miskin sebesar 27,54 juta, meningkat 2,75 juta penduduk dibandingkan pada bulan September 2019.
Peningkatan angka kemiskinan di masa pandemi tentu saja memperkuat kenyataan bahwa masyarakat miskin sulit untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya ketika kegiatan belajar mengajar secara daring diterapkan pemerintah. Mereka dituntut untuk memiliki ponsel, laptop, komputer, kuota internet, dan kebutuhan lainnya. Ekonomi yang sebelumnya buruk menjadi semakin memburuk akibat kondisi dan perubahan kebijakan selama pandemi. Di sisi lainnya, masyarakat menengah ke atas tetap masih bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar secara daring dengan mudah dan mungkin tanpa hambatan karena sarana penunjangnya terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Kedua, selain menunjukkan kesenjangan akses media belajar pada peserta didik dari keluarga kaya dan miskin, kegiatan belajar mengajar secara daring pada masa pandemi Covid-19 juga menunjukkan adanya kesenjangan lainnya, yaitu kesenjangan internet yang parah. Pembelajaran daring dapat terlaksana apabila faktor pendukung seperti handphone, laptop, jaringan internet yang stabil sudah terpenuhi. “Apabila faktor-faktor pendukung tersebut tidak terpenuhi maka proses kegiatan belajar mengajar secara daring tidak dapat terlaksana dengan baik dan maksimal” (Purwanto et al, 2020:7).
Asumsi disparitas pendidikan selama kegiatan belajar mengajar secara daring menjadi semakin kuat dengan adanya data dari BPS yang mencatat adanya disparitas akses internet yang tinggi di pedesaan dan perkotaan yaitu sebesar 27% pada tahun 2018. Secara nasional, wilayah Indonesia baru 93% yang memiliki jangkauan sinyal internet dengan komposisi 59 persen untuk jaringan 4G, 26 persen untuk jaringan 3G, 8% untuk jaringan 2G, dan 7 persen sisanya untuk jaringan GSM (hanya bisa telepon dan SMS).
ADVERTISEMENT
Disparitas tersebut terlihat apabila kita melihat data lain yang membandingkan antara provinsi Jawa dan provinsi-provinsi di bagian timur. Provinsi di Pulau Jawa, yaitu Yogyakarta dan Jakarta sendiri mempunyai penetrasi internet sebesar 50%. Berbeda dengan provinsi-provinsi bagian timur yang hanya memiliki peneterasi internet di bawah 30%. (lokadata.id, 19/8.2020). Kesenjangan digital, khususnya dalam akses sinyal internet ini memperkuat kesenjangan untuk mendapatkan akses pendidikan pada pelajar Indonesia pada masa pandemi Covid-19.
Kondisi keterbatasan akses telepon seluler dan internet tersebut tentu saja permasalahan tersebut mempengaruhi segala aspek pendidikan, baik peserta didik maupun tenaga pendidik yang memberikan pengajaran di daerah tersebut. Mereka adalah civitas pendidikan, yang bahkan saat menjalankan kegiatan belajar mengajar secara normal, mereka telah memiliki hambatan untuk mendapatkan akses pendidikan.
ADVERTISEMENT
Kini, mereka harus menghadapi bertambahnya hambatan yang muncul akibat kesenjangan untuk mendapatkan akses infrastruktur teknologi. Oleh karena itu, kebijakan kegiatan belajar mengajar secara daring terasa tidak ideal bagi banyak orang di daerah pedalaman tersebut. Namun, mereka juga tidak memiliki media lain untuk menjalankan proses pembelajaran dalam kondisi seperti ini, sehingga ini menjadi dilema.
Ketiga, kapabilitas mengajar tenaga pendidik. Selama kegiatan belajar mengajar secara daring, frekuensi pembelajaran yang diberikan tenaga pendidik sangat bervariasi. Di Pulau Jawa, frekuensi tenaga pendidik yang tidak mengajar setiap hari mencapai 30%, sedangkan di luar Pulau Jawa, frekuensi mengajar sebesar 50%. Tenaga pendidik yang memilki akses internet yang lebih unggul cenderung melakukan pengajaran setiap harinya. Kesempatan peserta didik bertanya dan meminta penjelasan kepada tenaga pendidik pun berbeda polanya. Tenaga pendidik di Jawa cenderung memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya dan meminta jawaban dibandingkan dengan tenaga pengajar di luar Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Tingkat pengajaran dan komunikasi dengan orang tua peserta didik yang menggunakan aplikasi digital oleh tenaga pendidik dapat dikatakan lumayan tinggi. Akan tetapi, masih terdapat tenaga pendidik yang tidak memiliki dan menggunakan aplikasi digital dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu dengan persentase sekitar 30%.
Tenaga pendidik di Pulau Jawa menggunakan aplikasi digital seperti WhatsApp, Zoom, Google Classroom, Youtube sebagai media pembelajaran. Sementara, di daerah luar Pulau Jawa, masih terdapat tenaga pendidik yang harus melakukan pertemuan dengan murid dengan mengunjunginya karena keterbatasan akses ponsel dan internet dari orang tua peserta didik.
Terkadang, beberapa guru harus menempuh jarak yang jauh demi mengunjungi dan memberi pengajaran kepada peserta didik selama beberapa jam. Namun, ada juga tenaga pendidik yang hanya memberikan tugas kepada peserta didik tanpa memberikan materi secara langsung dengan harapan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri dengan tugas yang telah diberi. Pada akhirnya, kunjungan belajar oleh tenaga pendidik ini tidak dapat bertahan dengan lama karena sering kali terdapat kasus positif Covid-19 yang muncul di wilayah tenaga pendidik maupun peserta didik (Pariaman, 2020).
ADVERTISEMENT
Keempat, yaitu komunikasi antara anak dan orang tua. Orang tua memiliki peran penting dalam kegiatan belajar mengajar secara daring, yaitu sebagai perantara komunikasi antara tenaga pendidik dan peserta didik. Data yang didapat dari smeru.go.id menunjukkan adanya perbedaan intensitas komunikasi antara orang tua dan tenaga pendidik antardaerah. Di wilayah perkotaan Pulau Jawa, hanya terdapat kurang lebih 2% tenaga pendidik yang tidak berkomunikasi secara intensif dengan orang tua. Sedangkan di wilayah pedesaan luar Pulau Jawa terdapat sekitar 31% guru yang tidak melakukan komunikasi secara intensif. Lagi-lagi, keterjangkauan akses internet menjadi faktor kesenjangan komunikasi antara orang tua dan tenaga pendidik.
Saat berkomunikasi, orang tua dan tenaga pendidik biasanya membicarakan materi, tugas, dan perkembangan anak dalam belajar. Bentuk komunikasi yang seperti itu tidak ditemukan di orang tua yang berpendidikan rendah dan tinggal di pedesaan. Biasanya, mereka hanya melakukan komunikasi secara satu arah, yaitu dengan menerima materi dan tugas, kemudian memberikan kepada anaknya. Mereka juga enggan bertanya atau berdiskusi dengan tenaga pendidik terkait perkembangan belajar anaknya.
ADVERTISEMENT