Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Uniknya Budaya Empat Musim di Jepang
17 Oktober 2024 6:10 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Raditya Cahya Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kisetsu (季節) adalah Bahasa Jepang dari konsep perubahan 4 musim yang terjadi setiap tahunnya di Jepang, konsep 4 musim sangatlah penting dalam konteks budaya Jepang. Perubahan musim ini tidak hanya dianggap sebagai fenomena alam yang terjadi setiap tahun, tetapi hal ini merupakan salah satu bagian dari identitas budaya Jepang. Musim semi (春 “Haru”), musim panas (夏 “Natsu”), musim gugur (秋 “Aki”), dan musim dingin (冬 “Fuyu”), keempat musim ini membawa perubahan yang signifikan tidak terbatas pada lingkungan sekitar saja, namun juga dalam aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, mulai dari makanan, pakaian, hingga perayaan dan festival atau dalam Bahasa Jepang 祭り(Matsuri).
ADVERTISEMENT
Di Jepang, musim tidak dianggap sebagai sekedar pergantian suasana atau bagian dari siklus tahunan, tetapi sebagai momen untuk refleksi diri sejenak dan juga mengapresiasi keindahan alam yang ada di depan mata. Misalnya, pada musim semi di Jepang sering kali di kaitkan dengan mekarnya bunga sakura, mekarnya bunga sakura dianggap sebagai permulaan hal yang baru karena bertepatan dengan awal masuknya sekolah. Tak hanya itu, bunga sakura melambangkan kehidupan dan kefanaan, keindahan dan kekerasan. Sementara itu, musim gugur sering dikaitkan dengan warna-warni yang dipancar daun Momiji yang indah, daun-daun Momiji ini menggambarkan keindahan dari perubahan dan transisi dari kehidupan. Budaya Jepang telah lama menghargai pergantian musim atau Kisetsu ini sebagai cara untuk senantiasa memiliki hubungan yang harmonis dengan alam dan siklus kehidupan.
ADVERTISEMENT
Kisetsu atau perubahan musim di Jepang telah menjadi tema yang penting dalam karya-karya sastra klasik Jepang. Salah satu karya sastra yang paling terkenal dalam mencerminkan perubahan musim adalah puisi Haiku. Haiku sendiri adalah sebuah puisi pendek yang telah ada sejak zaman Edo Jepang. Haiku umumnya terdiri dari 3 baris dan memiliki 17 suku kata. Dalam Haiku hampir selalu mengandung referensi terhadap musim tertentu dalam bentuk Kigo (季語). Kigo adalah sebuah kata atau frasa yang ada di dalam haiku yang mewakili musim atau waktu tertentu dalam setahun dan merupakan bagian yang penting dalam puisi Haiku. Kigo sendiri dapat berupa jenis makanan, tanaman, ikan, serangga, pakaian, festival, atau peristiwa tertentu yang berkaitan dengan musim tertentu dalam setahun. Salah satu penyair yang paling terkenal di Jepang adalah Matsuo Basho, ia menggunakan haiku untuk menangkap momen sederhana yang mencerminkan keindahan di alam dan kehidupan yang cepat berlalu.
Salah satu Haiku Matsuo Basho, “行春や 鳥啼き魚の 目は泪 (musim semi berlalu, burung-burung berkicau dan air mata berlinang di mata para ikan.)”, dalam Haiku ini menceritakan tentang ucapan selamat tinggal sesorang terhadap sebuah perjalanan panjang yang akhirnya selesai setelah musim semi berlalu. Selain Haiku, kisetsu juga muncul pada karya-karya sastra klasik seperti Genji Monogatari yang dianggap sebagai salah satu novel tertua di dunia. Dalam novel ini, setiap musim digunakan untuk mengatur suasana hati dan memperkuat emosi karakter, seperti musim semi yang melambangkan harapan dan kelahiran baru, serta musim dingin yang mencerminkan kesedihan dan kesunyian.
ADVERTISEMENT
Budaya Jepang tidak hanya mengungkapkan apresiasi terhadap keempat musim melalui karya-karya sastra, tetapi juga dalam seni dan estetika di Jepang, contohnya seperti konsep Wabi-Sabi. Konsep Wabi-Sabi berasal dari 2 kata Bahasa Jepang, Wabishii (侘しい) yang memiliki arti mencari ketidaksempurnaan dalam sesuatu untuk diperbaiki. Dan Sabishii (寂しい) yang berarti ketenangan dan kesepian yang diungkapkan dalam bidang kesenian. Konsep Wabi-Sabi menekankan keindahan dalam ketidaksempurnaan dan kefanaan, hal ini berhubungan dengan sangat erat dengan pergantian musim. Wabi-Sabi sering terlihat dalam kerajinan tangan seperti keramik, dimana retakan atau ketidaksempurnaan dianggap indah karena mencerminkan proses waktu, sama seperti pergantian musim yang datang dan pergi.
Selain dalam kerajinan keramik, Wabi-Sabi juga tercerminkan dalam seni Ikebana (生け花) atau seni merangkai bunga. Kesenian ini tidak hanya tentang mengatur bunga agar terlihat estetik, tetapi juga tentang menangkap esensi dari musim tertentu dalam rangkaian bunga tersebut. Misalnya, rangkaian bunga musim semi akan menampilkan bunga sakura atau bunga plum, sementara rangkaian bunga yang mencerminkan musim gugur akan menggunakan daun-daun Momiji yang berwarna merah dan kuning. Budaya Kisetsu juga tercerminkan dalam tradisi upacara minum teh Jepang (茶の湯), dimana suasana ruangan, teh yang disajikan, dan bahkan peralatan yang digunakan dipilih berdasarkan musim tertentu. Perubahan musim memengaruhi susasana hati dan juga pengalaman dalam upacara minum the, diaman suasana tenang dan sunyi menjadi cara untuk terhubung dengan alam dan siklus musim tertentu.
Selain dalam seni tradisional, Kisetsu juga menjadi bagian penting dalam budaya populer Jepang seperti anime dan film. Banyak anime yang menggunakan perubahan musim untuk menggambarkan perubahan emosi, situasi, atau bahkan tema-tema kehidupan yang lebih dalam. Salah satu contoh yang menonjol adalah beberapa anime karya Makoto Shinkai yang berjudul “Your Name” (君の名は) dan juga “Weathering With You” (天気の子). Pada anime Kimi no Na Wa, Makoto Shinkai menggunakan perubahan musim sebagai latar yang mendukung perkembangan kisah cinta yang rumit diantara dua karakter utama anime tersebut. Di sepanjang anime ini, kita melihat perubahan dari musim panas ke musim dingin yang mencerminkan perjalan emosional para karakter. Di sisi lain, anime Tenki no Ko mengeksplorasi hubungan antara manusia dan cuaca sebagai bagian yang penting dalam kehidupan. Dalam anime ini, hujan yang terus menerus menggambarkan perasaan kesepian. Makoto Shinkai menggunakan perubahan musim dan cuaca untuk memperkuat perjalanan emosional karakter utama nya. Konsep Kisetsu yang ada dalam kedua anime tersebut tidak hanya menjadi dekorasi latar namun menjadi elemen penting yang mempengaruhi alur cerita dan suasananya.
ADVERTISEMENT
Anime yang lebih santai seperti “The Daily Lives of High School Boys” (男子高校生の日常) juga menunjukkan bagaimana perubahan musim mempengaruhi kehidupan sehari-hari di Jepang. Meskipun anime ini bergenre komedi dan cenderung lebih ringan daripada karya-karya Makoto Shinkai sebelumnya, pengaturan musim tetap memainkan peran yang penting dalam mengatur alur dan suasana cerita. Pada episode musim panas, karakter utama terlibat dalam aktivitas musim panas seperti bermain di pantai, sedangkan pada musim dingin menampilkan meriahnya perayaan natal di Jepang. Perubahan musim ini memperkaya narasi dan memberikan nuansa yang lebih mendalam pada alur cerita.
Diluar karya sastra dan anime, perubahan musim juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Setiap musim memiliki festival dan tradisi yang berbeda. Musim semi adalah waktu untuk Hanami, yakni tradisi dimana orang-orang berkumpul di bawah pohon sakura untuk menikmati keindahan bunga yang bermekaran. Ini adalah tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad dan masih sangat populer hingga hari ini. Musim panas diisi dengan berbagai macam festival musim panas dimana kembang api dan parade menjadi daya tarik utama. Musim gugur adalah waktu untuk Tsukimi, yakni tradisi menikmati pemandangan bulan purnama. Dan musim dingin adalah waktu perayaan natal dan juga Tahun Baru (お正月) yang merupakan salah satu perayaan paling penting di Jepang. Selain festival, makanan di Jepang juga sangat terkait dengan musim, dimana setiap musim memiliki makanan khas yang hanya tersedia pada musim tertentu, seperti buah kesemek di musim gugur dan sakura mochi di musim semi.
ADVERTISEMENT
Perubahan musim adalah bagian yang penting dari budaya dan kehidupan sehari-hari di Jepang. Dari tradisi kuno seperti Haiku dan Chanoyu, hingga representasi modern dalam anime, Kisetsu tetap menjadi konsep yang menciptakan keharmonisan dari kehidupan. Dengan menghargai Kisetsu, orang Jepang belajar untuk menerima siklus kehidupan dan tetap terhubung dengan alam, baik melalui seni, budaya populer, dan kehidupan sehari-hari.
Penulis:
Mahasiswa Universitas Airlangga - Fakultas Ilmu Budaya
Raditya Cahya Putra