Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Alegori Sisyphus dan Kebahagiaan Kita
31 Mei 2021 18:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Radius Setiyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi bagi saya adalah sesuatu hal yang menakutkan dan menjengkelkan. Menakutkan karena virus tersebut benar-benar dekat dan berjalan begitu lama. Menjengkelkan karena pandemi mengobrak-abrik banyak rencana dan target. Pandemi membuat diri tidak terlalu suka dengan target. Hidup dengan datar dan seadanya. Setahun lebih hidup dengan ritme yang begitu-begitu saja. Membatasi mobilitas dan pergaulan.
ADVERTISEMENT
Saya terjebak pada imajinasi hidup di perkotaan yang penuh dengan kebosanan dan teror informasi tentang Covid-19 yang menakutkan dan tak kunjung selesai. Saya membayangkan jika saya tidak mampu keluar dari hal di atas, maka saya akan terjebak pada satu kondisi monoton. Hari yang penuh dengan rasa takut. Tidak terlalu berani atas hal-hal baru. Datar dan berulang-berulang bagai mesin.
Sebuah cerita legenda Sisyphus yang datang dari mitologi Yunani Kuno bisa jadi metafora kondisi hari ini. Seorang raja Sisyphus dari kerajaan Efira yang licik dan tamak yang menerima kutukan yang luar biasa. Hal tersebut disebabkan oleh berkali-kali ia membangkang terhadap dewa, berbuat hal-hal mengerikan kepada rakyatnya, serta yang paling besar dosanya adalah membocorkan rahasia Dewa.
ADVERTISEMENT
Sisyphus dilempar ke dalam neraka. Dalam kutukan tersebut dia terus-menerus mendorong sebuah bongkahan batu besar ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan sedikit saat di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke kaki bukit. Karena dikutuk oleh obsesinya untuk mendorong batu, ia lakukan pekerjaan tersebut terus-menerus berkali-kali tanpa boleh berhenti. Sisyphus lebih menganggap hukumannya adalah kesenangan. Sesuatu hal yang aneh, tetapi itulah Camus dengan segala absurditasnya.
Bosan dan Bahagia
Berbulan-bulan saya membatasi lingkar pergaulan. Banyak melakukan pekerjaan di rumah. Inikah yang disebut banyak orang new normal. Normal baru yang tidak benar-benar bagi banyak orang. Sebuah kondisi dengan pola interaksi baru di mana masyarakat diminta agar bisa berdamai dengan virus. Berbagai aturan sedang disiapkan, dari aturan kantor hingga fasilitas publik.
ADVERTISEMENT
Sejak awal pandemi, saya termasuk orang yang berupaya keras mematuhi aturan pemerintah di tengah ketidakpastian. Banyak orang menunjukkan berbagai warnanya untuk merespons pandemi, dari membangkang, tidak percaya sampai patuh untuk tetap tinggal di rumah untuk mengurangi risiko terkait pandemi Covid-19.
Alegori kutukan Sisyphus yang menjalani hidup baru yang mungkin membosankan bagi banyak orang memang harus dijalani. Usaha untuk sampai ke puncak bukit adalah metafora tentang usaha banyak orang untuk memutus rantai penyebaran virus. Bagaimanapun kondisinya, kita harus tetap bergerak. Selalu begitu dan pastinya membosankan.
Novelis Prancis, Victor Hugo, dalam bukunya, Les Misérables, yang terbit pada 1862 menyebutkan, "Ada sesuatu yang lebih buruk dari neraka penderitaan, yaitu neraka kebosanan."
Pernyataan ini benar adanya. Dalam kondisi pandemi, kebosanan adalah sesuatu yang harus dienyahkan, apa pun caranya. Baik lewat permainan Mobile Legend atau dengan melihat-lihat story-story orang lain di media sosial Anda.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan selanjutnya, akankah kita tetap bisa bahagia seperti Sisyphus menjalani ini semua? Sebuah kondisi yang kita semua tidak tahu bagaimana akhirnya. Kita bukan Sisyphus yang digambarkan Camus. Tetapi dalam beberapa hal apa yang dilakukannya menjadi menjadi relevan. Berusaha untuk tetap berbahagia atas kondisi yang ada.
Kita memang bukan Sisyphus yang asli, namun kita adalah personifikasi kondisi hari ini. Di mana kita akan menjalani kutukan new normal dengan aturan-aturan yang baru setiap harinya. Kita berusaha menjalankan hal tersebut siang dan malam tanpa lelah, tanpa tahu apakah hal tersebut ada hasilnya.
Dalam kondisi tersebut apakah kita masih bisa bahagia? Camus menutup kisah Sisyphus dengan senyuman yang barangkali sedikit angkuh. Orang harus membayangkan Sisyphus bahagia. Kita tercengang memandang senyum seperti itu: bahagia untuk apa?
ADVERTISEMENT
Di tengah masyarakat yang berjibaku dengan tekanan teror menyeramkan dari covid-19 agaknya kita perlu menengok Sisyphus yang sedang mendorong batu karangnya. Dan kita percaya Camus bahwa “dia bahagia”. Pada akhirnya, Sisyphus mengajarkan kita, seburuk apa pun situasinya, kita tidak akan pernah patah dan menyerah. Kita semua harus membayangkan Sisyphus, bahagia.
Akankah nasib kita seperti Sysiphus? Kita semua tidak tahu.