Konten dari Pengguna

Fetism, Cyber Sex, dan Ancaman Pelecehan

Radius Setiyawan
Peneliti Pusad Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UMSurabaya
10 Agustus 2020 11:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Radius Setiyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi, journal.sociolla.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, journal.sociolla.com
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu ini sosial media kita dikejutkan dengan dua kejadian yang cukup membuat dahi berkerut. Kejadian pertama adalah sebuah praktik tidak wajar yang dilakukan oleh seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Seorang mahasiswa yang telah melakukan pelecehan seksual berkedok riset. Pelaku yang meminta korbannya untuk mengirim foto dan video diri sedang dibungkus kain jarik. Warganet menyimpulkan bahwa pelaku memiliki fetish terhadap kain jarik.
Sementara kejadian yang kedua dilakukan oleh seorang dosen di Yogyakarta. Pelaku yang mempunyai fetish dan fantasi swinger (bertukar pasangan) dengan modus yang sama, yakni riset. Berdasarkan pengakuannya, penyimpangan seksual tersebut akibat dari kecanduan menonton tontonan porno di Youtube.
Aktivitas sang dosen tersebut dilakukannya sejak tahun 2014. Menurutnya, dia terobsesi dengan perempuan berjilbab. Modus yang digunakan untuk menjerat korban antara lain dengan alasan mau curhat tentang istrinya yang suka menyiksa, cerita krisis orang tuanya, pernikahannya tak punya anak, dan dalih-dalih lain yang dilakukan via chatting.
ADVERTISEMENT
Kesamaan dari kejadian di atas adalah sama-sama tindakan pelecehan sexual dan memanfaatkan teknologi online atau virtual untuk menjalankan aksinya. Keduanya bisa dikatakan kecanduan sex melalui fetish tertentu untuk membangun fantasi seksualnya.
Sex dan Teknologi
Dua kejadian di atas juga menegaskan bahwa praktik pemuasan hasrat seksual dan teknologi media menjadi sesuatu hal yang tidak terpisahkan. Pemuasan hasrat sex hari ini bukan lagi bertemunya tubuh dengan tubuh secara langsung.
Tetapi kejadian di atas menegaskan bahwa sex bergerak dengan aneka fantasi yang beragam dan terkadang berada di luar batas logika pada umumnya.
Fantasi seksual lebih sensual dibanding sex itu sendiri. Frase tersebut mengingatkan saya pada nukilan Jean Baudrillard, seorang pemikir post-modern Prancis. "Pornografi lebih sensual ketimbang seks itu sendiri".
ADVERTISEMENT
Meskipun secara sekilas apa yang dilakukan kedua pelaku bukan pornografi tetapi kesamaannya terletak pada fantasinya. Baik pornografi maupun praktik fetish sama-sama meletakkan fantasi sex sebagai pendorong untuk memuaskan hasrat sexual.
Hal tersebut bisa menjadi candu, dan bagi pecandunya akan sangat mengasyikkan ketimbang aktivitas seks itu sendiri. Tentunya hal tersebut terjadi dalam situasi di mana batas antara realitas dan bukan-realitas sudah benar-benar kabur. Yang nyata adalah fantasi itu sendiri.
Kalau sudah begitu maka pemuasan sex telah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman di mana representasi atas suatu objek justru menggantikan kedudukan objeknya itu sendiri. Sex bertranformasi menjadi simulasi-simulasi yang beragam dan menemukan para pecandu-pecandunya.
Fantasi dalam Cyber Sex
Ruang siber (cyber-space) menyediakan berbagai layanan sexual yang beragam. Piliang (2007) mengulas aktivitas sexual yang kerap dilakukan di ruang cyber. Dalam ruang tersebut terdapat berbagai pintu masuk ke dalam berbagai bentuk simulacrum seks dan seksualitas.
ADVERTISEMENT
Berbagai tindak dan adegan seksual (berupa foto, video, dan filem), yang ‘menawarkan’ berbagai aktivitas seksual: ‘melihat’ (voyeurism); ‘role playing’ atau memainkan peran seksual tertentu; ‘permainan seksual’ (adult sexual gaming); kegiatan seksual ‘terhadap’ internet (cyber-fetishism), dan; kegiatan seksual jarak jauh melalui internet (teledildonic).
Apa yang dilakukan oleh kedua pelaku di atas bisa jadi merupakan bagian dari cyber-sex. Demi membangun fantasi seksual aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan. Keduanya tidak peduli bahwa yang dilakukan adalah tindakan pelecehan yang merugikan orang lain. Fantasi adalah dunia baru para pecandu dalam ruang siber.
Sehingga tidak berlebihan ketika dikatakan bahwa salah satu anasir dari sex di dunia siber adalah fantasi seks yang dilakukan oleh pecandunya dengan melukiskan tindakannya dan menanggapi lawan berbincang yang kebanyakan dalam bentuk tertulis dan dirancang untuk stimulasi seks maupun fantasi (Harley, 1996).
ADVERTISEMENT
Fantasi adalah sebuah ruang privat dalam diri dan itu merupakan tempat yang paling jujur. Dalam ruang fantasi tersebut, kita bisa membayangkan apa saja yang kita sukai dan nikmati, namanya saja fantasi.
Representasi seksual dalam ruang siber justru telah melampaui seks itu sendiri. Inilah situasi ketika adegan dalam cyber sex lebih sensual ketimbang seks. Aktivitas tersebut bisa jadi menyediakan ruang untuk mengaktualisasikan fantasi. Berbagai aktivitas sexual bisa dilakukan.
Kondisi di atas tentunya menjadi tantangan baru bagi kehidupan. Sebuah kondisi yang barangkali mengubah banyak hal terkait apa itu sex dan seksualitas. Kondisi tersebut akan menjadi ancaman serius ketika tidak terkendali dan memakan korban.
Ketika ruang tersebut mendorong terciptanya predator-predator sex baru dengan kebiasaan baru di luar batas kewajaran. Hal tersebut semakin parah ketika tatanan hukum, agama dan sosial tidak siap mengantisipasi hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalih tidak cukup bukti dan tidak ada saksi akan menjadi frase yang menjengkelkan ketika pelaku pelecehan sexual tersebut bisa bebas tanpa hukuman. Semoga saja institusi hukum, agama, dan budaya siap atas kondisi tersebut. Semoga saja !