Konten dari Pengguna

Populisme dan Demokrasi Digital

Radius Setiyawan
Peneliti Pusad Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UMSurabaya
30 Agustus 2020 11:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Radius Setiyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Online University of the Left
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Online University of the Left
ADVERTISEMENT
Peristiwa politik dan terma teaterikal adalah dua hal yang berkaitan dan mempunyai praktik kerja yang sama. Keduanya memerlukan aktor, setting, sutradara dan menyimpan pesan yang ingin disampaikan. Hal tersebut terbukti dengan munculnya frase “Aktor politik, siapa dalangnya dan sutradara di balik kejadian” yang sudah lama bertebaran dalam wacana politik Indonesia. Malah kerapkali dikatakan bahwa banyak peristiwa politik yang didesain layaknya sandiwara yang naskahnya tidak tertulis.
ADVERTISEMENT
Erving Goffman (1959) secara menarik membaca realitas keseharian dalam politik dengan menggunakan kacamata pagelaran. Dalam konteks politik apa yang diperankan atau ditampilkan di atas panggung oleh seorang aktor selalu syarat motif tertentu. Hal tersebut terkait erat dengan perilaku simbolik yang perwujudannya bisa berupa ekspresi diri (marah, menangis, simpati, kelucuan dll), orasi politik atau perilaku lainnya. Tentunya kesemuanya diarahkan pada keinginan untuk meyakinkan khalayak.
Usaha-usaha untuk menampilkan pagelaran politik untuk mendapatkan simpati rakyat dengan gaya komunikasi dan varian perangkat lainnya sudah jamak dilakukan dalam wajah demokrasi hari ini. Hal tersebut kita sebut sebagai populisme, yakni gaya komunikasi di mana sekelompok politisi menganggap diri mereka mewakili kepentingan rakyat, yang kemudian dikontraskan dengan kepentingan elite. Urbinati (2019, 20) “Populisme terdiri dari penghancuran prinsip-prinsip demokrasi, mayoritas rakyat, dengan cara yang ditujukan untuk mengelu-elukan sebagian rakyat melalui pemimpinnya, yang menggunakan dukungan penonton untuk memurnikan pemilihan karakter prosedural dan formalistik mereka”.
ADVERTISEMENT
Fenomena populisme menemukan momentumnya seiring dengan era demokratisasi internet. Sebuah era di mana banyak realitas termediasi melalui layar. Era tersebut seolah memberikan kebebasan banyak orang untuk bersuara dan merayakan pendapatnya secara terbuka. Demokrasi seolah menemukan alat yang strategis untuk membantu proses partisipasi warganya. Hal tersebut yang saya sebut demokrasi digital.
Ilustrasi Medsos Foto: Thinkstock

Demokrasi Digital

Dunia digital yang dulu dieluh-eluhkan dapat mendatarkan dunia dengan egaliter dan demokratis seperti dalam catatan Friedman (2005) dalam perjalanan demokrasi ternyata banyak menghasilkan anarkisme, kemelut politik dan kebisingan publik. Dalam konteks demokrasi, kehadiran media digital secara signifikan banyak mengubah perilaku aktor politik. Di satu sisi, demokrasi digital membantu proses transformasi demokrasi berjalan egaliter dan partisipatif tetapi disisi lain kehadirannya banyak merusak tatanan nilai demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut bisa kita jumpai dengan kemunculan para pemimpin daerah maupun negara yang kehadirannya ditopang oleh kekuatan digital media tetapi dalam praktiknya seringkali memunggungi spirit dari demokrasi itu sendiri. Para pemimpin yang lahir dari rahim populisme tidak jarang menggunakan berbagai cara mendapat apa yang disebut sebagai citra diri. Hal tersebut tidak jarang dibangun dengan membunuh karakter lawan maupun memanipulasi citra.
Disinformasi dan malinformasi adalah jalan yang dipilih. Disinformasi adalah informasi palsu yang disebarkan dengan niat untuk menipu, menghasut, dan memecah belah. Biasanya dalam bentuk konten buatan, manipulatif, atau dibuat-buat. Sedangkan malinformasi; informasi pribadi yang disebarluaskan ke publik dengan motif menjatuhkan individu atau sekelompok orang (Ireton & Posetti, 2018).
ADVERTISEMENT
Gambaran di atas menegaskan bahwa demokrasi di era digital juga menghadapi tantangan dan jalan terjal baru. Selain kebisingan di ruang digital, demokrasi yang dibangun melalui cara disinformasi dan malinformasi akan menghasilkan pemimpin yang cenderung manipulatif.
Kita bisa membayangkan ketika demokrasi digital menjadi alat aktor politik untuk membangun citranya. Populisme memanfaatkan ruang digital untuk hal tersebut. Hubungan populisme dan demokrasi akan sarat dengan berbagai kepentingan. Dalam ruang digital kepentingan dan wacana yang menguntungkan kelompok tertentu akan disuarakan. Ruang-ruang digital akan berisi racun-racun yang membahayakan demokrasi.
Selain itu, populisme juga bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memobilisasi massa dan menggalang dukungan. Dari ruang digital polarisasi akan bergerak menjadi kekuatan yang saling bertentangan. Pertentangan tidak lagi terjadi secara vertikal antara elite yang korup yang berkuasa dan rakyat, tetapi secara horizontal sesama masyarakat yang berbeda para cara pandang atau pilihan politik.
ADVERTISEMENT
Pertentangan tersebut akan menghasilkan masyarakat yang hanya sibuk melegitimasi golongannya sendiri dan cenderung tertutup kepada golongan lain yang berbeda dengan kelompoknya. Kalau sudah demikian, maka demokrasi kita sedang berada dalam kondisi berbahaya dan kita perlu waspada.