Konten dari Pengguna

Tekanan Eropa terhadap Deforestasi ASEAN: Keadilan Lingkungan & Diplomasi Ekspor

RAFAEL LEONARDO
Mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia Jakarta
14 April 2025 14:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari RAFAEL LEONARDO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber : pexels.com
ADVERTISEMENT
ASEAN merupakan wilayah dengan hutan tropis yang luas, dengan kekayaan biodiversitas tertinggi di dunia seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Hutan-hutan ini tidak hanya menjadi paru-paru dunia yang menyerap karbon dalam jumlah besar, tetapi menjadi habitat bagi jutaan spesies flora dan fauna endemik yang tidak dapat ditemukan di belahan bumi manapun. Selain fungsi ekologis, kawasan hutan tropis ASEAN juga memiliki peran vital dalam menopang kehidupan jutaan penduduk lokal, terutama masyarakat adat dan komunitas pedesaan, yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan bukan kayu dan jasa ekosistem.
ADVERTISEMENT
Secara ekonomi, hutan di kawasan ASEAN berkontribusi besar terhadap sektor agrikultur dan kehutanan, dengan produk unggulannya seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao yang menjadi komoditas ekspor utama. Namun, besarnya tekanan terhadap lahan hutan akibat ekspansi industri dan pertanian turut menjadikan kawasan ini sebagai sasaran deforestasi global. Dalam beberapa tahun terakhir, perhatian dunia terhadap isu ini meningkat, terutama dari negara-negara maju seperti anggota Uni Eropa.
Dengan diberlakukannya (EUDR), setiap produk yang masuk ke pasar Eropa harus dipastikan bebas dari jejak deforestasi. Artinya, eksportir dari negara-negara ASEAN diwajibkan membuktikan bahwa produk seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tahun 2020. Kebijakan ini memunculkan tantangan besar, terkhusus bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang belum memiliki infrastruktur, dan pengetahuan yang memadai untuk sistem pelacakan asal-usul produk (traceability). Akibatnya, bukan hanya pasar yang terancam hilang, tetapi juga keberlangsungan jutaan pelaku usaha kecil yang bergantung pada sektor ini.
ADVERTISEMENT
Isu Keadilan Lingkungan
Keadilan lingkungan tidak hanya berbicara soal upaya melindungi alam, tetapi juga tentang siapa yang memikul beban paling besar dalam transisi menuju keberlanjutan, serta bagaimana beban itu didistribusikan secara adil antarnegara.
Uni Eropa, melalui EUDR, mewajibkan negara eksportir membuktikan bahwa produk pertanian tertentu seperti sawit, karet, kopi, dan kakao bebas dari deforestasi sejak akhir tahun 2020. Aturan ini memang dilandasi niat baik: mengurangi kontribusi konsumsi Eropa terhadap deforestasi global. Namun, bagi negara berkembang di ASEAN, regulasi ini terasa tidak adil dan bahkan bersifat diskriminatif secara struktural.
Pertama, negara-negara maju seperti anggota Uni Eropa telah menikmati pertumbuhan ekonomi pesat melalui eksploitasi hutan dan sumber daya alam mereka di masa lalu. Kini, saat negara berkembang sedang berada pada fase pembangunan dan industrialisasi, mereka dikenakan standar tinggi yang sama, tanpa adanya pengakuan atas ketimpangan historis tersebut. Dalam logika keadilan lingkungan, ini menciptakan ketidakseimbangan: beban besar ditempatkan pada pihak yang justru paling rentan dan paling membutuhkan pembangunan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kedua, EUDR tidak mempertimbangkan kapasitas negara berkembang untuk memenuhi persyaratan yang sangat teknis dan mahal, seperti sistem pelacakan asal-usul produk (traceability), dokumentasi geolokasi, dan pemetaan rantai pasok secara digital. Sementara korporasi besar mungkin mampu beradaptasi, jutaan petani kecil di ASEAN justru terancam tersingkir dari pasar karena keterbatasan akses, dan pengetahuan terhadap teknologi dan sumber daya.
Ketiga, ada kekhawatiran bahwa EUDR bisa berubah menjadi bentuk baru dari proteksionisme terselubung, yang justru menutup akses pasar bagi produk negara berkembang dengan alasan lingkungan. Dalam konteks ini, regulasi yang seharusnya bersifat progresif justru menciptakan ketimpangan baru dalam perdagangan global, mewujudkan apa yang disebut sebagai green colonialism atau kolonialisme hijau.
Keempat, tidak ada mekanisme jelas dalam EUDR yang menjamin adanya dukungan finansial atau teknis dari Uni Eropa kepada negara berkembang dalam proses transisi menuju rantai pasok berkelanjutan. Padahal, semangat multilateralisme dan kerja sama global seharusnya menjadi dasar dalam menangani krisis iklim dan deforestasi, bukan sekadar penetapan standar sepihak.
ADVERTISEMENT
Respons dan Strategi ASEAN
Negara-negara ASEAN, terutama Indonesia dan Malaysia, yang merupakan eksportir utama komoditas seperti kelapa sawit, karet, dan kopi, telah menanggapi keras kebijakan EU Deforestation Regulation (EUDR). Di tengah kekhawatiran bahwa EUDR akan menjadi hambatan nontarif baru bagi barang-barang ASEAN, wilayah ini mulai bekerja sama untuk mempertahankan kepentingan ekonominya sambil memperhatikan tuntutan keberlanjutan global.
ASEAN telah menyatakan secara regional bahwa penentuan kebijakan lingkungan internasional memerlukan pendekatan yang adil dan kerja sama. Para pemimpin kawasan menekankan dalam beberapa pertemuan penting, seperti ASEAN-EU Summit, bahwa regulasi seperti EUDR harus mempertimbangkan berbagai tingkat pembangunan ekonomi dan kemampuan teknis negara berkembang. ASEAN sekarang menggunakan diplomatik yang tidak konfrontatif dengan dasar keadilan dan kesetaraan dalam perdagangan internasional.
ADVERTISEMENT
Sejak 2023, Indonesia dan Malaysia telah membentuk tim kerja sama dengan Uni Eropa. Tujuan kelompok kerja ini adalah untuk membahas dampak teknis dari penerapan EUDR, mendapatkan kejelasan tentang kriteria "bebas deforestasi", dan mendiskusikan kekhawatiran tentang kemungkinan petani kecil akan dikeluarkan dari rantai pasokan global. Forum ini adalah cara bagi kedua negara untuk mendapatkan fleksibilitas kebijakan dan masa transisi yang adil dari Uni Eropa.
Sebagai tindakan strategis, ASEAN juga mulai berbicara tentang pembuatan sertifikasi regional yang dapat diandalkan dan diakui secara internasional, seperti yang dilakukan oleh program Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO). ASEAN mempertimbangkan untuk mengharmoniskan standar untuk meningkatkan sistem pelacakan dan verifikasi sambil mempertahankan konteks lokal dan memperhatikan petani kecil. Ini penting untuk memastikan bahwa transformasi menuju produksi berkelanjutan tidak terbatas pada perusahaan besar.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, tekanan Eropa terhadap deforestasi di ASEAN seperti yang tercermin dalam kebijakan EUDR harus ditelaah dengan baik, bukan hanya sebagai tantangan, tetapi juga sebagai undangan untuk bertransformasi. Regulasi lingkungan internasional akan terus berkembang seiring meningkatnya kesadaran global terhadap krisis iklim. Namun, transformasi tersebut harus dilakukan secara adil, inklusif, dan berbasis pada kerja sama, bukan pemaksaan sepihak. ASEAN memiliki kesempatan untuk memperkuat posisi tawarnya di panggung internasional dengan membangun narasi keberlanjutan yang berpihak pada petani kecil, menjaga keanekaragaman hayati, sekaligus tetap kompetitif dalam perdagangan global. Hutan tropis ASEAN bukan hanya aset ekologis kawasan, tapi juga tanggung jawab kolektif dunia dan dalam hal ini, dunia harus belajar bekerja sama, bukan hanya sekadar menerapkan peraturan yang menekan.
ADVERTISEMENT
Rafael Leonardo, Mahasiswa Hubungan Internasuonal, Universitas Kristen Indonesia (UKI)