Konten dari Pengguna

#IndonesiaNotForSale

Muhammad Rafi Darajati
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
18 November 2024 15:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rafi Darajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pribadi
ADVERTISEMENT
Pemerintah dalam mengambil kebijakan idealnya tetap mengutamakan kepentingan nasional. Beberapa waktu yang lalu, penulis dalam forum yang lain telah menyuarakan kegelisahan terkait bermasalahnya kebijakan ekspor pasir laut. Akhir-akhir ini, kegelisahan terkait permasalahan “kebijakan” kembali muncul pasca lawatan kenegaraan Presiden Prabowo Subiantio. Kegelisahan dari akademisi dan masyarakat pada umumnya muncul dari “Pernyataan Bersama” antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Tiongkok mengenai “Joint Statement between the People’s Republic of China and the Republic of Indonesia on Advancing the Comprehensive Strategic Partnership and the China-Indonesia Community with a Shared Future”, di kawasan Laut China Selatan (LCS). Pada butir 9 di Joint Statement tersebut, diuraikan bahwa “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims and agreed to establish an Inter-Governmental Joint Steering Committee to explore and advance relevant cooperation based on the principles of "mutual respect, equality, mutual benefit, flexibility, pragmatism, and consensus-building," pursuant to their respective prevailing laws and regulations”.
ADVERTISEMENT
Butir tersebut menjadi permasalahan karena secara konsisten dari awal, Pemerintah Indonesia tidak pernah mengakui bahwa memiliki perbatasan laut dengan Pemerintah Tiongkok, terlebih terdapat tumpang tindih wilayah lautan. Kawasan LCS memang bisa dikatakan sebagai kawasan yang selalu “panas”. Secara hukum internasional, sejatinya saling klaim di LCS telah terselesaikan pasca dikeluarkannya putusan PCA 2016 lalu. Pada intinya, isi putusan yang terbit dikarenakan sengketa antara Tiongkok dan FIlipina tersebut menyatakan bahwa PCA mengklarifikasi klaim Tiongkok mengenai historic rights sehubungan dengan wilayah maritim di LCS yang diklaim dengan menggunakan nine-dash line merupakan hal yang bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Hukum internasional pun telah menormakan bahwa putusan dari PCA bersifat final and binding, dan dapat dianggap sebagai sebuah sumber hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Meskipun putusan badan-badan peradilan itu hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang berperkara, namun seringkali nilai hukum yang dikandung di dalamnya dapat berlaku menjadi hukum yang berlaku umum.
Putusan badan peradilan internasional juga ada yang merupakan pengukuhan atas norma hukum internasional baru. Isi, jiwa, dan semangat yang terkadung di dalam putusan itu kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktik dan ada pula yang diundangkan di dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Sehingga putusan badan peradilan internasional yang semula hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja, seiring dengan perkembangan zaman menjadi norma hukum internasional yang berlaku umum. Suatu negara baik yang sedang bersengketa ataukah tidak memiliki kewajiban untuk taat kepada hukum internasional. Untuk menumbuhkan ketaatan negara pada hukum internasional, terdapat dua alternatif yang diberikan oleh Chayes. Pertama melalui enforcement mechanism yang menerapkan banyak sanksi seperti sanksi ekonomi, sanksi keanggotaan sampai ke sanksi unilateral.
ADVERTISEMENT
Terhadap mekanisme pertama ini Chayes berhasil menyimpulkan bahwa penerapan mekanisme ini tidak efektif, membutuhkan biaya tinggi, dapat menimbulkan masalah legitimasi dan justru banyak menemui kegagalan.
Alternatif kedua yang ditawarkan Chayes adalah management model, dimana ketaatan tidak dipacu oleh berbagai kekerasan atau sanksi tetapi melalui model kerjasama dalam ketaatan, yaitu melalui proses interaksi dalam justification, discourse and persuasion. Kedaulatan tidak lagi bisa ditafsirkan bebas dari intervensi eksternal, akan tetapi menjadi sebuah kebebasan untuk melakukan hubungan internasional sebagai masyarakat internasional. Dengan demikian kedaulatan yang baru ini tidak hanya terdiri dari kontrol wilayah atau otonomi pemerintah tetapi juga pengakuan status sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa. Ketaatan pada hukum internaisonal tidak lagi semata karena takut akan sanksi tetapi lebih pada kekhawatiran pengurangan status melalui hilangnya reputasi sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa yang baik.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran suatu negara terhadap hukum internasional ini merupakan suatu kelalaian suatu negara yang sangat serius. Perbuatan tersebut mengurangi kepercayaan negara-negara terhadap negara tersebut, terutama dalam hal mengadakan perjanjian dengannya di kemudian hari. Pelanggaran seperti ini dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pacta sunt servanda dalam hukum internasional.
Oleh karena itu terkait putusan PCA dalam sengketa LCS, maka Tiongkok harus menghormati putusan tersebut karena sudah menjadi sumber hukum internasional. Apabila suatu negara menaati hukum internasional maka masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian. Sebaliknya apabila Tiongkok tetap konsisten untuk menolak mematuhi putusan PCA dan terus melakukan agresivitas di kawasan LCS maka akan terjadi instabilitas kawasan yang bisa saja berujung pada konflik terbuka.
ADVERTISEMENT
Terhadap implikasinya dengan negara-negara yang berkepentingan di sekitar kawasan LCS, putusan PCA terkait sengketa LCS merupakan klarifikasi atau interpretasi PCA terhadap Konvensi Hukum Laut 1982 sehingga dapat menjadi sumber hukum yang berlaku umum atau mengikat semua negara.
Intrepetasi ini sebenarnya dapat memudahkan para pihak yang bersengketa di LCS untuk merundingkan klaim mereka masing-masing. Interpretasi PCA mengenai nine dash line yang tidak memiliki dasar dan bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut 1982 bisa digunakan oleh negara- negara di sekitar kawasan LCS apabila Tiongkok kembali melanggar kedaulatan negara lain. Putusan PCA tersebut dapat dijadikan sarana untuk memperlemah argumen Tiongkok.
PCA juga menemukan fakta bahwa tidak ada fitur laut yang diklaim oleh Tiongkok yang mampu menghasilkan apa yang disebut ZEE yang memberikan negara hak berdaulat untuk sumber daya, seperti perikanan, minyak, dan gas dalam 200 mil laut. Dampaknya, negara-negara di kawasan LCS dapat mengetahui seberapa besar klaim wilayah mereka di kawasan tersebut. Putusan ini juga akan berguna dan dirujuk oleh negara-negara dalam praktiknya maupun oleh putusan lembaga ajudikasi di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Secara perkembangannya memang Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan pernyataan pers bahwa rencana kerja sama dengan Tiongkok tidak dimaknai sebagai pengakuan nine dash line, serta kerja sama ini harus dilandaskan dengan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Akan tetapi Pemerintah Indonesia perlu kembali harus mengeluarkan pernyataan secara tegas terkait bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih dengan Tiongkok terutama di wilayah Laut Natuna dan LCS.
Negara-negara di sekitar kawasan LCS harus bisa secara konsisten mendukung pentingnya penegakan hukum dan penggunaan cara damai, bukan kekerasan, dalam mencari penyelesaian perselisihan maritim. Karena sifat putusan yang final dan mengikat, masyarakat interansional dapat mendorong Filipina dan Tiongkok untuk mematuhi putusan PCA itu. Pemerintah RI harus menahan diri untuk membuka akses terhadap sumber daya ikan Indonesia kepada pihak asing dan melaksanakan ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional untuk kepentingan nasional. Kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia tidak untuk dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Isu LCS tidak hanya ekslusif milik akademisi hukum internasional, perlu kita menggaungkan bersama bahwa #IndonesiaNotForSale