Mengingat Kembali Konsep Kebebasan Berpendapat

Muhammad Rafi Darajati
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Konten dari Pengguna
5 November 2020 14:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rafi Darajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hak asasi manusia (HAM) merupakan kristalisasi berbagai sistem nilai dan filsafat tentang manusia dan seluruh aspek kehidupannya. Fokus utama dari HAM adalah kehidupan dan martabat manusia. HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
ADVERTISEMENT
Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Sebagai salah satu wujud dari HAM, hak kebebasan berpendapat diakui dalam dunia internasional. Hal tersebut terlihat di dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pengakuan tersebut juga diperkuat di dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR).
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu elemen penting dalam demokrasi. Implikasi dari pengakuan internasional tersebut berdampak bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mendasar dalam kehidupan yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Kebebasan berpendapat dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan, buku, diskusi, atau dalam kegiatan pers. Setiap warga negara secara sah dapat mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya, baik berupa kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, apakah hak kebebasan berpendapat itu dapat dilakukan tanpa pembatasan?
Hal ini menjadi menarik untuk kembali kita kaji bersama, oleh karena beberapa waktu lalu, dengan atas nama kebebasan berpendapat, dunia kembali dihebohkan dengan beredarnya pemuatan kartun karikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW oleh salah satu media massa di Perancis. Buntut dari peristiwa tersebut adalah aksi pembunuhan terhadap guru sekolah yang telah menunjukkan kepada muridnya tentang karikatur Nabi Muhammad SAW sebagai materi kebebasan berpendapat di kelasnya.
Tentu peristiwa penghinaan yang berbalut kebebasan berpendapat patut disesali bersama, dikarenakan hal ini bukan kali pertama terjadi, dan dampak dari hal tersebut juga bisa meluas ke berbagai sektor. Di media sosial misalkan, sudah beredar berbagai tagar seperti boikot produk yang berasal dari Perancis. Tentu saja kebebasan berpendapat bukanlah tidak memiliki batas. Harus ada langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan agar kebebasan menyampaikan pendapat tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain. Hukum HAM internasional dalam ICPPR menegaskan bahwa, meskipun kebebasan berpendapat itu diakui, akan tetapi juga ada kewajiban dan tanggung jawab yang melekat kepadanya. Pasal 19 ayat (3) ICCPR memberikan alasan pembatasan yang diperkenankan dalam hak kebebasan berpendapat, yakni terkait dalam rangka menghormati hak atau nama baik orang lain; serta dalam rangka atas nama melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum.
ADVERTISEMENT
Penegasan pembatasan kebebasan berpendapat kembali terlihat di dalam Pasal 20 ayat (2) ICCPR bahwa segala tindakan yang mengandung kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
Sebuah media massa seharusnya dapat memahami konsep kebebasan berpendapat, dalam hal ini kebebasan pers. Kebebasan pers bukan berarti bebas tanpa batasan. Akan tetapi bebas yang bertanggung jawab di dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga toleransi dan keutuhan bangsa secara global sebagai dampak dari era globalisasi ini.
Kebebasan media massa harus dapat mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul dari berita yang dimuatnya. Oleh sebab itu, pemuatan kartun karikatur Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk kebebasan berpendapat seharusnya tidak terjadi dikarenakan hal tersebut telah melewati batas dalam hal ini adalah penghotmatan kepercayaan umat Islam. Dalam ajaran Islam, sosok Nabi Muhammad SAW memang tidak boleh digambarkan menyerupai apa pun dan bagaimana pun bentuknya. Siapa pun yang melakukannya berarti telah melakukan penistaan luar biasa.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia perlu lebih serius dalam menyikapi kasus ini. Kecaman kepada Presiden Macron dan pernyataan sikap memang perlu untuk dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bentuk penyesalan atas terjadinya kasus ini. Melalui pernyataan resmi, Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa kebebasan berekspresi jangan sampai mencederai kehormatan, kesucian, serta kesakralan nilai-nilai dan simbol agama.
Oleh karena itu, kita sebagai bagian masyarakat internasional juga harus bijak di dalam merespon kasus ini. Sebab, aksi pembunuhan sebagai bentuk kemarahan atas penistaan tersebut juga tidak dapat dibenarkan, dan kasus ini lebih baik diselesaikan melalui jalur hukum atapun diplomatik. Kita semua harus lebih mengedepankan persatuan dan toleransi untuk membangun kehidupan bernegara yang lebih baik.
Sekali lagi bahwa HAM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia. HAM mengandung unsur perlindungan, kepentingan, dan kehendak. Akan tetapi konsep “hak” selalu berkolerasi dengan “kewajiban” sebagai bentuk keseimbangan dalam hidup bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan adanya suatu tanggungjawab atas setiap perbuatan akan memberikan dampak pada anggota masyarakat harus terus ditanamkan. Kekuatan akan rasa tanggungjawab memberikan implikasi atas kehati-hatian dalam melakukan suatu perbuatan.
Kasus penghinaan dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, terlebih saat ini masyarakat internasional sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang membutuhkan kerja sama seluruh umat manusia. Jangan sampai kebebasan berpendapat yang dilakukan tanpa pembatasan dapat menyebabkan perpecahan.