Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sesat Nalar Pencopotan Hakim Konstitusi
2 Oktober 2022 15:32 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Rafi Darajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masalah pencopotan Hakim MK Aswano karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan DPR tidak boleh dianggap cuma angin lalu. Hukum Tata Negara Indonesia sedang berada diujung tanduk dan akan menjadi preseden yang buruk bagi masa depan hukum di Indonesia apabila hal ini dibiarkan.
ADVERTISEMENT
Keputusan DPR yang mencopot Aswanto bertentangan dengan UU Mahkamah Konstitusi dan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 23 ayat (4) UU Mahkamah Konstitusi, telah diatur bahwa Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Sehingga, apabila tidak ada surat permintaan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, maka hakim konstitusi tidak dapat diberhentikan.
Jika kita melihat lebih jauh Pasal 23 UU Mahkamah Konstitusi pun, maka pemberhentian hakim dilakukan hanya karena alasan seperti meninggal dunia, habis masa jabatan, melanggar hukum, atau kode etik. Dalam konteks ini maka DPR tak berwenang memberhentikan hakim konstitusi.
Secara prosedural dari pengangkatan hakim konstitusi, UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa hakim konstitusi hanya "diajukan oleh” DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung. Frasa tersebut mengartikan bahwa DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung hanya merekrut calon hakim konstitusi, bukan berarti hakim konstitusi representasi dari lembaga pengusul. Sehingga tidak bisa dipersepsi, orang yang dipilih oleh DPR merupakan titipan DPR seperti tercermin dalam statement dari Komisi III mengenai alasan pencopotan hakim konstitusi Aswanto.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui bersama, alasan pencopotan hakim konstitusi Aswanto oleh DPR dilatarbelakangi sikap Aswanto yang beberapa kali menganulir produk legislasi DPR, padahal Aswanto merupakan hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR.
Alasan tersebut tentu menjadi ironi, negara demokrasi yang sejati sangatlah perlu memiliki lembaga seperti Mahkamah Konstitusi guna melindungi kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuatan politik untuk membuat undang-undang. Secara teori ketatanegaraan, lembaga DPR itu majority rule, sementara Mahkamah Konstitusi minority rights, tempat untuk melindungi minoritas. Perspektif minoritas bukan hanya agama, etnis, melainkan juga minoritas kekuatan politik. Sehingga apabila dalam negara demokrasi tidak ada pengadilan yang independen, maka demokrasi akan kehilangan maknanya.
Porsi kewenangan masing-masing lembaga telah diatur agar lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan kewenangan sesuai dengan perintah UUD NRI 1945. Fungsi legislatif, eksekutif dan yudisial telah diejawantahkan dalam pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga yang kesemuanya diatur dalam UUD NRI 1945. Dengan telah dihapuskannya fungsi lembaga tertinggi negara, maka kini fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisial diberikan kepada lembaga-lembaga yang memiliki kedudukan setara. Kesetaraan kedudukan lembaga–lembaga negara yang diatur oleh UUD NRI 1945 ini adalah agar masing-masing lembaga negara mampu menjalankan kewenangannya tanpa adanya intervensi lembaga negara lain. Pentingnya independensi sebuah lembaga peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan tidak hanya tercermin dalam pencantumannya pada konstitusi sebagai hukum tertinggi pada hukum positif sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, tentu kita berharap agar Presiden Joko Widodo tidak merespon surat dari DPR mengenai pencopotan hakim konstitusi Aswanto. Arogansi sikap DPR harus distop, karena DPR bukan lembaga negara yang kedudukannya berada di atas lembaga negara lain.