Konten dari Pengguna

Refleksi Penciptaan Sekolah untuk Para Anak yang 'Belum Rajin'

Muhammad Rafie Akbar
Sarjana Hukum Internasional dari Universitas Sumatera Utara. Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas P. Panca Budi & Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka. Pernah pertukaran mahasiswa Ilmu Hukum di Universiti Teknologi MARA, Malaysia (2023).
9 Mei 2023 11:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rafie Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekolah adalah Tempat untuk Semua Anak (Gambar oleh Kris/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah adalah Tempat untuk Semua Anak (Gambar oleh Kris/Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai sebuah bentuk tempat secara fisik, sekolah dan lingkungan pendidikan di sekitarnya menjadi sebuah tempat yang sesungguhnya perlu memperhatikan aspek keramah-tamahan bagi siapapun yang ada di dalamnya. Mulai dari guru hingga peserta didik yang di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Sekolah dari berbagai tingkatan di Indonesia memiliki peserta didik yang beranekaragam sifat dan kebiasaannya. Tak jarang pula, sifat yang sebenarnya tidak pantas kadang kala dibawa ke sekolah. Tak jarang pula, sifat kekanak-kanakan mereka selalu muncul.
Hal tersebut tidaklah terjadi hanya di tingkat sekolah dasar, namun juga kepada tingkatan peserta didik di tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang mayoritas berusia remaja menuju dewasa muda.
Kita tidak akan membahas tentang aspek kekurangan atas fasilitas ataupun infrastruktur sekolah yang belum memadai, namun tulisan ini akan berfokus pada bagaimana sekolah seharusnya memberikan pengalaman yang berbeda bagi anak-anak yang tampaknya “belum rajin” alias pemalas.
Tidaklah elok apabila kita mengatakan mereka nakal, karena setiap manusia yang ada di bumi ini pun pernah melakukan dosa. Ingatlah, mereka masih manusia yang sedang tumbuh.
ADVERTISEMENT

Sekolah dan Proses Sosialisasi Keseharian

Ilustrasi anak malas belajar. Foto: Shutter Stock
Sekolah dalam definisinya, seperti yang dikutip dari beberapa sumber adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat memberi dan menerima pelajaran (Abdullah, 2011). Jika dipaparkan dengan lebih mendalam, maka sekolah dapat dimaknai sebagai lokasi yang sangat strategis bagi siapapun itu.
Terlebih lagi, sekolah menjadi tempat bertemu dengan banyak orang. Mulai dari teman sekelas dan yang bukan sekelas, hingga bertemu dengan berbagai guru hingga tenaga kependidikan. Sekolah, telah diketahui masuk sebagai tempat sosialisasi yang penting bagi tiap individu. Individu tersebut tentunya termasuk bagi anak-anak yang “belum rajin”.
Perhatian khusus bagi anak-anak yang "belum rajin” tentunya adalah mengerti perspektif mereka yang sebenarnya memiliki perbedaan sifat dan kebiasaan dari anak-anak yang tampaknya aman-aman saja dan rajin. Tidak jarang, banyak dilihat bahwa proses sosialisasi yang dijalani oleh anak-anak yang "belum rajin” tersebut lebih banyak dilakukan oleh mereka (tanpa menutupi anak-anak lainnya).
ADVERTISEMENT
Proses sosialisasi yang mereka jalani tersebut merupakan bekal yang kuat untuk melakukan pergaulan luar yang lebih bebas nantinya. Mengerti perasaan dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik, hingga mengerti bagaimana mengambil keputusan atas apa yang mereka putuskan. Sekolah harus mampu menyadari hal itu untuk mereka!

Tidak Ada Stereotip Sekolah untuk Anak Pintar

Ilustrasi anak belajar baca, tulis, dan berhitung (Calistung). Foto: Kdonmuang/Shutterstock
Dalam banyak kasus, tak jarang banyak sekali curhatan bahwa para guru yang ditemui di tiap sekolah selalu mengagung-agungkan dan memuji anak-anak yang memiliki kemampuan kognitif yang tinggi. Kualitas intelektual seseorang sesungguhnya tidak menjamin mereka memiliki emosi dan perasaan yang stabil.
Walaupun dengan tambahan catatan, ada pula juga anak yang sangat pintar memiliki kepekaan yang kuat – termasuk di sini ada pula anak-anak yang "belum rajin” yang memiliki simpati, empati, dan kecerdasan emosional yang hebat.
ADVERTISEMENT
Guru-guru yang ada di sekolah perlu memperhatikan bahwa terdapat banyak sekali anak muda yang berbakat, tidak hanya dari kepintarannya dalam memenangkan olimpiade, kompetisi, ataupun kejuaraan.
Sederhananya saja, sekolah bisa mengembangkan sikap kepedulian sosial dengan lingkungan sekitar, yang mana banyak dari anak yang "belum rajin” lebih kuat dalam hal ini.
Mereka, para anak yang "belum rajin” baik yang pada dasarnya pemalas, nakal, ataupun tidak peduli atas kehidupan akademisnya bisa diberikan solusi konkret dengan menaikkan sifat kebaikan dan sikap sosial yang bisa mereka dikembangkan.
Program-program sekolah harus pula berorientasi pada pengembangan diri dan sikap alih-alih hanya menggelontorkan dana untuk para anak-anak pintar yang mengikuti perlombaan. Keduanya harus diperhatikan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Perlu disadari bahwa eksistensi anak yang "belum rajin” tersebut juga merupakan anak-anak penerus generasi bangsa. Estafet kepemimpinan negeri tidak menjamin para anak pintar bisa meneruskannya, namun tiap anak di negeri ini memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak berbasis pada keadilan yang dijamin oleh konstitusi.
Tidak ada stereotip sama sekali bahwa sekolah itu hanya untuk anak pintar! Justru sekolah harus mampu mengembangkan diri seseorang, baik orang tersebut pada dasarnya memiliki kelebihan, apalagi untuk yang berkekurangan.

Sekolah sebagai Tempat Mengungkit Kenangan dan Pengalaman Hebat

Ilustrasi anak belajar baca, tulis, dan berhitung (Calistung). Foto: Komsan Loonprom/Shutterstock
Seorang anak di Indonesia bisa menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah daripada di rumahnya sendiri. Terhitung dari tingkatan taman kanak-anak hingga sekolah menengah atas, mereka bisa menghabiskan lebih dari 12 tahun masa hidupnya.
ADVERTISEMENT
Ditambah bagi mereka yang akhirnya memutuskan menjalani pendidikan di tingkatan yang lebih tinggi. Maka, sekolah pada dasarnya harus “memfasilitasi” seorang anak untuk mengukir kenangan dan pengalaman yang hebat.
Bagi para anak yang "belum rajin”, alih-alih mereka tidak terlalu minat untuk membangun portofolio akademisnya, bisa saja mereka lebih membangun kenangan indah bersama teman-temannya. Kenangan indah yang dijalani di sekolah tersebut bisa saja berdampak dalam bagaimana mereka akhirnya menjalani dan memandang kehidupan.
Sebagai contoh, amarah dan tamparan seorang guru bisa saja membuat seorang anak trauma sehingga mereka hidup dalam keputusasaan atas “kebodohan” yang mereka miliki. Walaupun dalam beberapa kasus, ada yang menganggapnya sebagai dorongan yang sangat kuat.
Sejumlah siswa mengikuti simulasi ujian kenaikan kelas berbasis android di Aceh, Selasa (30/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Namun, perlu diperhatikan bahwa sekolah harus mampu mentransformasikan dirinya sebagai fasilitator “kenangan-kenangan baik” di kehidupan seorang anak, ditambah oleh cinta kasih dan sayang yang mereka dapatkan dari para guru dan teman-teman mereka.
ADVERTISEMENT
Selain tempat mengukir kenangan, tentunya sekolah bagi anak-anak yang "belum rajin” harus bisa mendorong mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman yang sekiranya minimal dapat mengubah diri mereka ke arah yang lebih baik.
Terlebih lagi ternyata pengalaman itu bisa membawa mereka kepada perubahan hidup yang besar. Dari awalnya adalah anak yang "belum rajin”, ternyata mereka bisa menjadi seorang anak yang cukup rajin dan disiplin. Hingga seorang anak yang awalnya tidak berminat untuk berubah, menjadi seorang anak yang membawa perubahan.
Kita tidak tahu siapa yang akan mengubah kehidupan bangsa di masa depan, maka sebaiknya kita ciptakan agen-agen perubahan tersebut dengan membekali mereka dengan kegiatan hingga kesadaran atas pentingnya pendidikan untuk kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, sekolah untuk para anak yang "belum rajin” tersebut tentunya harus diupayakan dengan baik dengan poin-poin yang telah disampaikan sebelumnya. Sekiranya, dari kesadaran kecil yang kita refleksikan bersama, kita dapat mendapatkan generasi-generasi yang mampu bersaing.
Kita tidak dapat pungkiri, bahwa masih saja banyak anak-anak yang sulit untuk diajak berubah, namun sekiranya secara minimal telah kita upayakan untuk kebaikan masa depan mereka.