Konten dari Pengguna

Perkara Umur Kerap Jadi Acuan, Padahal Tak Semua Sama. Sial

Rafika Ilma Rizkyana
Mahasiswa Ilmu Komuniaksi UPN Veteran Yogyakarta
12 Juli 2021 15:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafika Ilma Rizkyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: unsplash
zoom-in-whitePerbesar
sumber: unsplash
ADVERTISEMENT
“Tak ada yang tahu kapan kau mencapai tuju”
“Dan percayalah bukan urusanmu untuk menjawab itu”
ADVERTISEMENT
“Bersender pada waktu”
Begitulah sepenggal petikan lagu Hindia ‘Besok Mungkin Kita Sampai’ yang dirilis dua tahun lalu. Meski bukan lagu yang tergolong baru-baru amat namun pesannya akan selalu saya ingat. Sebagai gadis yang tahun ini beranjak 22 tahun, membuat saya semakin relate dengan setiap lirik yang dilantunkan Baskara Putra. Mungkin juga hal itu dirasakan sebagian remaja di luaran sana.
Terkadang pencapaian seseorang bisa membuat kamu sedih dan merasa tertinggal beberapa langkah di belakang. Apalagi mendengar beberapa tuntutan dari lingkungan terdekat kita yang tak jarang justru semakin membuat tertekan. Pelik memang, di umur yang tak lagi muda ini, kita harus siap sedia mendengar beberapa pertanyaan yang kadang menyesakkan dada. Celotehan “kapan lulus?” atau level yang lebih tinggi seperti  “Udah lulus sarjana nggak mau lanjut S2?”
ADVERTISEMENT
Itu pun masih di lingkup keluarga besar, belum ke lingkaran yang lebih luas seperti pertemanan. Overthinking pun semakin menjadi-jadi tatkala mendengar kabar burung, teman lama mendapat beasiswa di luar negeri. Ataupun tak sengaja membaca cuitan teman di lini masa twitter yang berhasil mendirikan kedai kopi. Perasaan pesimis dan ketakutan besar akan kegagalan atas impian yang sebenarnya belum sepenuhnya diupayakan itu semakin bertumbuh besar.
Tenang, sangat bisa dimaklumi perasaan itu tumbuh di antara mereka para remaja berkepala dua. Rasa sedih, cemas, kebingungan, kurangnya percaya diri serta ketakutan dan kegagalan bercampur aduk tak karuan.  Namun, itu semua adalah hal wajar sebagai proses menginjak fase baru dalam kehidupan.
Tahapan dalam kehidupan itulah yang kerap disebut sebagai Quarter Life Crisis (QLC). Gerhana Nurhayati Putri dalam bukunya ‘Quarter Life Krisis-Ketika Hidupmu Berada di Persimpangan’ menjelaskan pada masa ini seseorang berada dalam keadaan belum siap, tetapi disuguhi banyak tuntutan dan pilihan yang memunculkan rasa bingung, cemas terhadap masa depan. Ia juga menambahkan jika mereka yang mengalami QLC merasa takut akan kegagalan yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Jika saat ini dunia terlihat tak adil bagimu, maka jangan buru-buru bersedih. Jika kamu sudah telanjur menjatuhkan harapmu pada dunia dan realitanya jauh dari yang kau impikan, tak apa. Dunia kadang memberi apa yang kita butuhkan, bukan hanya sekadar angan. Lagi-lagi tak apa, selama kamu tahu apa yang terbaik untukmu, ke mana arah tujuan kakimu melangkah. Maka sebetulnya kamu tidak pernah tertinggal oleh siapa pun, kamu hanya belum sampai saja.
Jadi, semua stigma mengenai keterbatasan waktu sebenarnya lahir dari pola yang ada dalam masyarakat. Tidak perlu khawatir jika merasa perubahan yang terjadi pada diri kita terlambat. Toh kesempatan untuk memperbaiki diri senantiasa terbuka lebar. Hanya saja ada yang bersegera, menunda-nunda, bahkan lari darinya. Tidak ada kata terlambat untuk menempuh hidup utuh seperti yang kita impikan, asalkan ada kemauan yang juga disertai keyakinan.
ADVERTISEMENT