Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Keluarga dan Krisis Komunikasi: Mengapa Remaja Lebih Nyaman Curhat ke Teman?
24 April 2025 12:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rafiqah Meidina Syakira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era serba digital seperti sekarang, pemandangan remaja yang lebih banyak menghabiskan waktu menatap layar ponsel daripada berbincang dengan keluarga menjadi pemandangan sehari-hari. Lebih memprihatinkan lagi, ketika menghadapi masalah, sosok yang pertama kali dihubungi bukanlah ayah atau ibu, melainkan teman sebaya atau bahkan "curhat" melalui media sosial.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan sekadar pergeseran perilaku biasa, melainkan mencerminkan adanya krisis komunikasi dalam institusi keluarga yang seharusnya menjadi benteng pertama dan utama bagi perkembangan sosial-emosional remaja.
Keluarga: Fungsi Ideal vs Realita
Keluarga, secara ideal, merupakan unit sosial pertama yang memperkenalkan nilai, norma, kasih sayang, dan rasa aman kepada individu. Menurut Friedman (2010) dalam bukunya "Family Nursing: Research, Theory, and Practice", keluarga memiliki lima fungsi dasar: afektif, sosialisasi, reproduksi, ekonomi, dan perawatan kesehatan.
Fungsi afektif—yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan psikologis—seharusnya menjadikan keluarga sebagai tempat paling nyaman untuk berbagi dan mencurahkan perasaan.
Namun realisasinya, penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam "Indeks Ketahanan Keluarga Indonesia" (2022) menunjukkan bahwa hanya 43% remaja Indonesia yang merasa nyaman mendiskusikan masalah pribadi dengan orang tua mereka.
ADVERTISEMENT
Sisanya lebih memilih teman sebaya (37%), media sosial (12%), atau memendam sendiri (8%). Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara fungsi ideal keluarga dengan kenyataan yang dihadapi.
Akar Masalah dalam Krisis Komunikasi Keluarga: Mengapa Remaja Menghindar?
Berdasarkan studi longitudinal yang dilakukan oleh Santrock (2019) dalam "Life-Span Development", terdapat beberapa faktor yang menyebabkan remaja enggan berkomunikasi dengan orang tua:
ADVERTISEMENT
Dampak Krisis Komunikasi Keluarga
Krisis komunikasi dalam keluarga bukanlah masalah sepele. Kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2021) menunjukkan korelasi yang signifikan antara buruknya komunikasi keluarga dengan berbagai masalah kesehatan mental pada remaja:
Dari perspektif kesejahteraan sosial, fenomena ini berpotensi menciptakan masalah sosial yang lebih luas. Ketika keluarga gagal menjadi sistem pendukung utama, remaja mencari validasi dan dukungan dari sumber lain yang tidak selalu memberikan arahan yang tepat atau bahkan destruktif. Masalah krisis komunikasi keluarga ini jika dibiarkan, dapat berdampak jangka panjang terhadap kesejahteraan sosial remaja di masa depan.
ADVERTISEMENT
Membangun Komunikasi yang Sehat: Perspektif Kesejahteraan Sosial
Sebagai mahasiswa kesejahteraan sosial, kami melihat pentingnya pendekatan sistemik dalam mengatasi krisis komunikasi keluarga. Beberapa strategi yang dapat diterapkan:
ADVERTISEMENT
Penutup: Mengembalikan Fungsi Keluarga di Era Digital
Krisis komunikasi dalam keluarga bukanlah takdir yang tidak bisa diubah. Dengan pendekatan yang tepat dan kesadaran semua pihak, keluarga dapat kembali menjadi tempat pertama dan utama bagi remaja untuk mencurahkan hati dan mencari solusi.
Sebagai calon pekerja sosial, kami melihat urgensi untuk mengembangkan program-program intervensi berbasis keluarga yang tidak hanya berfokus pada remaja sebagai "pihak yang bermasalah", tetapi melihat dinamika keluarga secara keseluruhan. Pendekatan dari hulu—memperkuat ketahanan dan komunikasi keluarga—akan jauh lebih efektif daripada menangani dampak hilir seperti kenakalan remaja atau masalah kesehatan mental.
Artikel ini bukan dimaksudkan untuk menyalahkan pihak mana pun, melainkan sebagai refleksi dan ajakan untuk bersama-sama membangun kembali komunikasi yang lebih sehat dalam keluarga. Karena ketika keluarga gagal menjadi tempat pulang yang nyaman, berbagai masalah sosial akan bermunculan sebagai konsekuensinya.
ADVERTISEMENT
Mari kita kembalikan fungsi keluarga sebagai pelabuhan yang aman bagi setiap anggotanya, terutama remaja yang sedang mencari jati diri. Keluarga bukan sekadar tempat pulang, tapi juga ruang tumbuh. Dengan komunikasi yang terbuka dan penuh pengertian, remaja dapat merasa aman menjadi diri mereka sendiri.