Konten dari Pengguna

Layar Bermoral, Tantangan dan Etika Penyiaran di Era Digital

Rafli Herdian Prabowo
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila
22 November 2024 17:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafli Herdian Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penyiaran digital membentuk moral masyarakat. Tantangannya: menjaga nilai di era informasi instan ( sumber foto : freepik )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penyiaran digital membentuk moral masyarakat. Tantangannya: menjaga nilai di era informasi instan ( sumber foto : freepik )
ADVERTISEMENT
Moralitas di layar adalah topik yang semakin kritis di era informasi instan. Dalam lanskap media saat ini, penyiaran bukan lagi sekadar medium komunikasi, melainkan sebuah kekuatan besar yang mampu membentuk opini publik, membangun persepsi kolektif, hingga memengaruhi tatanan moral masyarakat. Penyiaran tidak lagi terbatas pada televisi atau radio tradisional kini, platform digital seperti YouTube, Netflix, TikTok, hingga berbagai layanan streaming dan media sosial lainnya telah menjadi bagian integral dari ekosistem penyiaran modern. Dengan segala kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan, muncul pertanyaan besar: bagaimana kita menjaga moralitas di tengah derasnya arus informasi ini? Apakah hukum penyiaran mampu bertahan menghadapi tantangan baru, ataukah kita justru berisiko kehilangan kendali terhadap nilai-nilai moral yang mendasari keberadaan media itu sendiri?
ADVERTISEMENT
Era informasi instan telah membawa transformasi luar biasa pada cara kita mengonsumsi, memproduksi, dan mendistribusikan informasi. Dalam hitungan detik, sebuah berita, video, atau opini dapat menjangkau jutaan orang di seluruh dunia. Tetapi kecepatan ini membawa konsekuensi yang tidak bisa diabaikan. Pertama, ia sering kali mengorbankan akurasi dan etika demi sensasi. Kedua, ia menciptakan ruang bagi konten yang bersifat provokatif, sensasional, atau bahkan manipulatif untuk berkembang. Ketiga, ia membuka peluang bagi siapa saja, tanpa keahlian atau tanggung jawab jurnalistik, untuk menjadi penyiar informasi. Dalam kondisi ini, hukum penyiaran menghadapi ujian berat, karena peraturan yang ada kerap kali tidak mampu mengimbangi perkembangan teknologi dan pola konsumsi masyarakat.
Moralitas menjadi isu sentral karena apa yang ditampilkan di layar tidak pernah berdiri sendiri. Setiap konten yang disiarkan memiliki kekuatan untuk membentuk nilai-nilai masyarakat, memengaruhi cara berpikir, dan bahkan menentukan bagaimana individu berperilaku. Di sinilah letak tanggung jawab besar dari media penyiaran: memastikan bahwa apa yang mereka sajikan tidak hanya menghibur atau menarik perhatian, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung oleh masyarakat. Namun, tanggung jawab ini sering kali tergerus oleh tekanan untuk mendapatkan keuntungan finansial, meningkatkan rating, atau menarik lebih banyak penonton.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyata adalah fenomena clickbait. Di era digital, konten yang sensasional dan sering kali tidak bermutu justru mendapatkan perhatian lebih besar karena algoritma platform cenderung memprioritaskan engagement daripada kualitas. Konten semacam ini tidak hanya merusak moralitas publik, tetapi juga menciptakan standar baru yang berbahaya: bahwa untuk menarik perhatian, media harus selalu lebih berani, lebih kontroversial, atau bahkan lebih vulgar. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi oleh industri penyiaran.
Hukum penyiaran sebenarnya dirancang untuk melindungi masyarakat dari konten semacam ini. Namun, di era digital, hukum ini sering kali terasa usang dan tidak relevan. Banyak regulasi penyiaran yang masih berbasis pada paradigma media tradisional, sehingga tidak mampu mengantisipasi tantangan yang muncul dari platform digital. Misalnya, regulasi tentang sensor atau klasifikasi usia sering kali tidak berlaku di platform seperti YouTube atau TikTok, di mana konten yang ditujukan untuk orang dewasa bisa dengan mudah diakses oleh anak-anak. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyebarkan konten yang tidak sesuai dengan norma atau bahkan berpotensi merusak moralitas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, moralitas di layar tidak hanya menjadi tanggung jawab hukum. Ia juga bergantung pada kesadaran kolektif dari semua pihak yang terlibat dalam ekosistem penyiaran: pemerintah, pelaku industri, masyarakat, dan bahkan teknologi itu sendiri. Pemerintah, misalnya, harus mampu menciptakan regulasi yang adaptif dan relevan dengan perkembangan zaman. Tidak hanya sekadar memperketat aturan, tetapi juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya konsumsi konten yang bermoral. Pelaku industri harus menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Penyiaran bukan sekadar bisnis, ia adalah instrumen yang memiliki dampak jangka panjang terhadap peradaban manusia.
Ilustrasi peran masyarakat di era digital memiliki akses untuk menjadi produsen maupun konsumen dari sebuah konten ( sumber foto : freepik )
Masyarakat juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Di era digital, di mana semua orang memiliki akses untuk menjadi produsen maupun konsumen konten, kesadaran moral harus datang dari dalam diri. Masyarakat harus lebih selektif dalam memilih konten, lebih kritis terhadap informasi yang diterima, dan lebih berani untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap konten yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi benteng terakhir dalam menjaga moralitas di layar.
ADVERTISEMENT
Teknologi, yang sering kali dianggap sebagai penyebab masalah ini, sebenarnya juga bisa menjadi solusi. Dengan memanfaatkan algoritma yang cerdas, kita dapat menciptakan sistem yang mampu mendeteksi dan menghapus konten yang tidak sesuai dengan standar moral. Big data dapat digunakan untuk memahami pola konsumsi masyarakat dan menciptakan regulasi yang lebih efektif. Kecerdasan buatan dapat membantu regulator dalam memantau jutaan konten yang diunggah setiap hari. Namun, teknologi ini harus digunakan dengan bijak dan transparan, agar tidak menimbulkan masalah baru seperti penyensoran berlebihan atau pelanggaran privasi.
Di tengah semua tantangan ini, kolaborasi menjadi kunci. Tidak ada satu pihak pun yang bisa mengatasi masalah ini sendirian. Pemerintah, pelaku industri, masyarakat, akademisi, dan bahkan pengembang teknologi harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem penyiaran yang sehat. Regulasi harus dirancang secara inklusif, melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa ia tidak hanya relevan tetapi juga dapat diterapkan secara efektif. Pelaku industri harus dilibatkan dalam proses ini, sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap konten yang mereka hasilkan.
ADVERTISEMENT
Penting juga untuk diingat bahwa moralitas di layar bukan hanya tentang mencegah konten yang buruk. Ia juga tentang mendorong konten yang baik. Konten yang mendidik, menginspirasi, dan mempromosikan nilai-nilai positif harus mendapatkan tempat yang lebih besar di media penyiaran. Dengan demikian, layar tidak hanya menjadi medium informasi, tetapi juga alat untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
Pada akhirnya, menjaga moralitas di layar adalah tugas yang kompleks dan penuh tantangan. Namun, ini adalah tugas yang tidak bisa kita abaikan. Di era informasi instan ini, di mana layar telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, moralitas harus menjadi fondasi yang kokoh. Dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, kita bisa menciptakan ekosistem penyiaran yang tidak hanya informatif dan menghibur, tetapi juga bermoral dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat
ADVERTISEMENT