Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sejarah Jalan Surya Kencana Bogor
6 Juli 2021 11:59 WIB
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:49 WIB
Tulisan dari Raffly Azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Minggu dini hari, saat suasana sepi yang bising bekas sisa keramaian di malam minggu. Kendaraan berlalu lalang, tak ada habisnya. Tetes embun di dedaunan, mengiringi indah terbitnya matahari. Disaat semua orang pekerja kantoran berlibur, para pedagang mulai bekerja.
ADVERTISEMENT
Tepat di bawah tugu kujang yang tinggi menjulang, derap sepatu kuda sesekali terdengar, beradu dengan hiruk-pikuk kendaraan. Terpampang nyata dengan jelas sebuah semboyan “Di Nu Kiwari Ngancik Nu Bihari Seja Ayeuna Sampeureun Jaga” di kokohnya lawang salapan. Yaitu sebuah landmark baru di Kota Bogor yang berupa bangunan pilar mirip dengan pilar zaman Romawi Kuno. Yang dihiasi dua bangunan menyerupai monumen Lady Raffles di Kebun Raya Bogor.
Semboyan yang bermakna penting, menjadi panutan semua masyarakatnya yang berarti “kemajuan suatu daerah di lihat dari perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan, yang paling utama tidak merusak tatanan kehidupan masyarakat”. Sebuah kalimat sederhana yang bermakna besar dan diagungkan ini berasal dari Prasasti Lingga dan Prasasti Batutulis Kerajaan Pajajaran
ADVERTISEMENT
Jalan Surya Kencana ini dibuat oleh Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1808 terkenal dengan Post Weg atau Jalan Pos. Jalan Pos dimulai dari Anyer jaraknya 1.000 kilometer dan berakhir di Panarukan. Kemudian pada tahun 1905 Pemerintah Kota Bogor mengubah nama jalan ini menjadi Jalan Handelstraat, pada zaman kemerdekaan diubah menjadi Jalan Perniagaan. Kemudian, Jalan Suryakencana diresmikan pemerintah Bogor pada tahun 1970-an.
Pada tahun 1853, Gubernur Jenderal JC Baud mengatur zona atau wilayah permukiman yang dinamakan Wijkenstelsel berdasarkan kelompok etnis tertentu. Tujuannya untuk memudahkan pemerintah kolonial mengontrol masyarakat agar tidak bercampur dengan masyarakat lain. Kebijakan ini melarang etnis Tionghoa tinggal di tengah kota.
Traveler akan menemui rumah-rumah penduduk asli Tionghoa, kuliner asli Tionghoa dan menemui hilir mudik pengunjung yang berkaitan dengan transaksi jual beli di sana. Aktivitas ekonomi kawasan Suryakencana selalu menjadi perantara produsen pribumi dan pedagang grosir Belanda dulunya.
ADVERTISEMENT
Seperti Lawang Seketeng yang merupakan pusat perdagangan ikan asin dan hasil bumi yang besar di Kota Bogor. Handlestraat juga memiliki bangunan cagar budaya beragam. Seperti Klenteng Hok Tek Bio berfungsi sebagai tempat ibadah, perayaan hari besar keagamaan dan wisata religi. Letaknya berada di Jl Suryakencana No 1, tepatnya sebelah Pasar Bogor.
Bangunan cagar budaya lainnya terletak di belakang Pasar Bogor. Terdapat Hotel Pasar Baroe dibangun tahun 1800-an bersamaan dengan 2 hotel yang tersohor di kota ini. Bangunan-bangunan tersebut berarsitektur Indies dengan paduan Eropa dan China. Dulu bangunan ini menjadi primadona pelancong etnis China, Arab dan Pribumi pada saat itu. Namun, semua bangunan itu kini sudah berubah ke arah modernisasi. Namun, kawasan ini jauh dari penanganan dan perhatian berbagai pihak. Banyak bangunan sejarah yang dihancurkan.
ADVERTISEMENT
Road of Never Sleeping, begitulah julukan jalan Surya Kencana. Roda kehidupan seakan tak pernah berhenti berdenyut. Waktu silih berganti, kondisi Jalan Surya Kencana semakin tidak membaik. Kebisingan tiap kali menemani. Saat gelap tiba, seketika muncul pemandangan tidak enak di sepanjang jalan utama yang semakin menyempit.
(Raffly Azmi/PNJ)