Aksi Kartu Kuning BEM UI: Apresiasi Sekaligus Ironi

Rafyq Panjaitan
Wajar Tak Sempurna Hanya Manusia Biasa. User story pikiran pribadi. Genggam Dunia Teman!
Konten dari Pengguna
4 Februari 2018 11:11 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafyq Panjaitan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kartu Kuning Dies Natalis UI (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
zoom-in-whitePerbesar
Kartu Kuning Dies Natalis UI (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siapa yang pernah berada di gerakan mahasiswa, saya rasa maklum dengan tindakan Ketua BEM UI Zaadit Taqwa yang memberi kartu kuning pada presiden Jokowi di acara Dies Natalis UI Jumat (2/1).
ADVERTISEMENT
Namun bagi mereka yang di kampus hanya kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) tentu mereka gerah dengan tindakan anak muda yang berani itu. Jika ada yang gerah, maka itu mengkonfirmasi bahwa ada yang anti-kritik.
Saya masih ingat, pertama sekali saya masuk kampus tahun 2012, kampus begitu riuh, kampus saya kebetulan di USU (Universitas Sumatera Utara), enggak ada yang segarang USU di Medan dan Sumut itu kecuali USU. Saya ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik) 2014-2015.
Menjadi ketua di jurusan ilmu politik lebih berat ketimbang menjadi Gubernur Fakultas. Pasalnya, menyatukan mahasiswa politik sangat berat, bahkan kondisi politik di FISIP dan USU kala itu dikendalikan oleh anak-anak jurusan politik. Pendek kata, merekalah kreator isu di kampusku.
ADVERTISEMENT
Namun itu bisa dipatahkan dengan perang pemikiran, adu konsep dan gagasan. Itulah final dari pertarungan dengan para pemikir politik kampus. Begitu juga dengan pertarungan di luar kampus, yakinlah, "argumentasi yang ilmiah" lebih ampuh dari sekedar gerakan reaksioner.
Melihat klarifikasi BEM UI soal kartu kuning Jokowi, apresiasi tersebut luntur seketika, saat mencermati argumentasi mereka. Pertama, soal dwifungsi jenderal, kedua kasus Asmat, dan ketiga terkait peraturan organisasi mahasiswa kampus.
Baiklah, mari kita telanjangi satu per satu. Soal dwifungsi jenderal, benar, ini keputusan berada di tangan Jokowi, tetapi ini berasal dari pikiran Mendagri. Jadi, wacana tersebut bukan lahir dari diri seorang Joko Widodo, itu lahir dari Kemendagri. Seharusnya BEM UI mendemo kantor Kemendagri, pukul Mendagri atas kebijakan kelirunya itu. Setelah kebijakan tersebut diresmikan oleh Jokowi, maka kartu kuning memang pantas diberikan.
ADVERTISEMENT
Kedua, soal kasus Asmat. Ini polemik. Bahwa benar memang semua permasalahan negeri harus ditamparkan pada presiden. Kenapa ia harus dikritik, karena kekuasaannya bersifat 'take all' (menyeluruh), kuasanya menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara. Oleh sebab itu juga, orang berebut menjadi presiden.
Tetapi, dalam kasus Asmat, justru presiden yang membunyikannya ke ruang publik. Ini kenyataan bahwa dana otonomi khusus (Otsus) yang besar itu tidak berdampak. Kasus gizi buruk sejatinya bukan hanya terjadi di Distrik Agast Kabupaten Asmat, bahkan di Merauke pun masih terdapat kasus serupa. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi meminta Pemda untuk memberi perhatian penuh pada kasus tersebut. Artinya, ini ada alur kebijakan yang tidak berjalan sampai ke hilir.
Ketiga, soal peraturan organisasi kampus. BEM UI menilai kebijakan Menristekdikti dalam aturan baru organisasi kemahasiswaan tersebut 'berpotensi' mengancam kebebasan berorganisasi serta mengkerdilkan gerakan kritis mahasiswa. Dimana salah Jokowi di situ? Itu murni buah pikir dari seorang M. Nasir.
Aksi Aliansi BEM se Indonesia di Depan Gedung KPK (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan )
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Aliansi BEM se Indonesia di Depan Gedung KPK (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan )
Dalam cara pandang yang radikal, kalau gerakan mahasiswa di Indonesia saat ini besar, menyeramkan, dan menakutkan, wajarlah Presiden mengalihkan pandangannya untuk mengunci gerakan tersebut. Pertanyaannya, apakah gerakan mahasiswa saat ini terkonsolidasi? Masif? Atau justru terfragmentasi akibat kepentingan parpol yang telah menyusup?
ADVERTISEMENT
Izin dengan hormat wahai ketua BEM kampus yang beralmamater kuning. Masih ingatkah kau tahun 2016 sewaktu Presiden Jokowi berbicara soal Trans Pacific Partnership (TPP), ia berencana akan membawa Indonesia dalam skema dagang internasional tersebut.
Ironinya, Amerika sendiri dilarang oleh parlemennya untuk bergabung dalam TPP, nah Jokowi dengan santainya bilang Indonesia akan bergabung. Apakah mahasiswa meributkan ini?. Dengan tanda tangan dari seorang Jokowi, nasib 250 juta lebih rakyat akan tergadai. Dalam pasar bebas ASEAN saja kita belum beringas, konon di dalam TPP.
Itu perumpamaan, seharusnya BEM UI bergerak dalam isu yang lebih berdampak pada rakyat Indonesia, bukan isu yang boleh jadi 'mainan' si penguasa juga. Dalam hal ini, seharusnya, BEM UI berani berbicara terkait pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat yang lemah, atau yang lebih ringan, bicaralah soal rezimnya yang tidak mampu menjaga suhu keharmonisan antar umat beragama. Sebab, baru pada rezim inilah hubungan umaro dan ulama renggang. Ada apa, umat Islam 85 persen di republik in adalah soal yang harus dimunculkan dalam percakapan publik.
ADVERTISEMENT
Izin sekali lagi ketua BEM UI yang terhormat. Tak bermaksud mengajari, aksimu tetap kuapresiasi, tetapi ini juga ironi. Bahwa teriakan kita lebih keras dari mulut ketimbang dari pikiran. Aku masih ingat di kampusku mahasiswa baru diajari sebuah lagu, aku enggak tau bagaimana di kampusmu. Liriknya kira-kira begini: 'mahasiswa harus kritis, militan dan radikal, baca buku dan diskusi, dan juga demonstrasi.'
Aku bukan Jokower, kita juga pernah di jalanan. Nah, dalam pandanganku, kita seringnya demonstrasi saja. Sementara daya kritis dan membaca kurang. Reaksioner boleh, bahkan sangat dianjurkan, tapi jangan lupa lakukan kajian mendalam. Salam perjuangan kawan!