Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Dilan dan Perang Pemikiran
31 Januari 2018 9:58 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Rafyq Panjaitan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Alasan saya menyebut 'perang pemikiran' dalam mencerna makna dari film Dilan, karena dalam film tersebut banyak sekali agitasi yang di dalam kehidupan nyata bisa jadi kita haramkan, namun di film tersebut dihalalkan.
ADVERTISEMENT
Sebut saja yang pertama tidak adanya rasa segan dan menghormati dari seorang Dilan pada peraturan dan otoritas Guru. Apakah peran Dilan di film tersebut dalam ruang sekolah semuanya dibenarkan?
Tentu tidak bisa. Dilan masuk ke ruangan yang bukan ruangannya, dengan tanpa rasa bersalah, bukankah dalam kultur 1990 murid sangat takut pada Guru? Dalam pikiranku, begitu lonceng berbunyi, anak-anak pasti akan kembali ke kelas masing masing menunggu sangat takut jika guru duluan memasuki kelas.
Kemudian, ketika Dilan ditampar guru karena meninggalkan barisannya. Ia melawan dan akhirnya terjadi perkelahian. Lucunya, gurunya mundur ketika Dilan melawan. Saya kebetulan dari Sumatera Utara, masa sekolahku di Tarutung Tapanuli Utara. Buat saya saat itu, ditampari adalah hal yang biasa, dan itu membuat kami menjadi patuh dan terdidik.
ADVERTISEMENT
Tak pernah ada perangai seperti Dilan yang berani melawan Guru ketika ia salah, dan tak ada pula perangai seperti guru di film tersebut yang mundur dalam menegakkan disiplin siswanya. Menurutku, harusnya, kalaupun Dilan melawan, Gurunya tidak boleh mundur, kalaupun gurunya babak belur dipukuli, Dilan juga harus babak belur.
Memang kembali lagi ini soal fiksi, bukan kisah nyata. Ini menjadi dalih pembenaran untuk mempertahankan nilai intrinsiknya. Dalam konteks dunia sekolahnya, perangai Dilan tak bisa dibenarkan. Semoga anak sekolah di Indonesia tidak sepatutnya mengikut tingkahnya.
Walaupun, masalahnya, film ini ditonton oleh anak SMA dalam jumlah yang masif. Bukankah ini perang pemikiran? Atas nama pendidikan di Indonesia, perangai Dilan tak bisa dibenarkan. Bukan berarti tak bisa melawan dengan kekerasan yang dilakukan oleh guru, tetapi lawanlah itu dengan perlawanan intelektual (tunjukkan prestasi, lawan diksi yang digunakan dalam bahasanya, bukan dengan otot).
ADVERTISEMENT
Terlepas dari segala kontroversinya, tetap ada hal yang paling saya suka dari Dilan. Walaupun dia preman (di seumurannya), walaupun ia berandal, suka berkelahi, namun ia tak pernah 'kasar' dengan perempuan. Bahkan sekalipun Milea berbohong karena sudah jalan dengan Kang Ali, Dilan tidak mengatakan kata kata kasar padanya seperti mantannya.
Inilah nilai yang patut dicontoh bagi seluruh lelaki yang punya kuasa di masyarakat, sekalipun memiliki kuasa, jangan kasar terhadap perempuan. Dilan mengajarkan kelembutan dalam menghadapi perempuan, bahwa kekasaran tak tepat dialamatkan pada perempuan, kekasaran hanya bisa dialamatkan pada lelaki. Perempuan itu dilindungi, bukan disakiti.
Dilan bukan sekedar infiltrasi keliaran pikiran penulisnya dalam bentuk film, ia juga propaganda kritik sosial, yang pada sisi tertentu tak tepat, di sisi lain memukul kita dengan keteladanan.
ADVERTISEMENT