Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menag Yang Tak Mengerti Umat
26 Mei 2018 11:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Rafyq Panjaitan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita harus sepakat bahwa republik ini didirikan berkat jasa besar umat Islam. Terkhusus para ulama, kiyai dan ustaz yang dengan hati yang tulus mengomandoi para santri untuk berjuang melawan penjajah.
ADVERTISEMENT
Sebut saja dari sekian banyak itu ‘resolusi jihad’ Pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari. Peran nahdatul ulama begitu ketara dalam memerdekakan republik ini.
Tak hanya nahdatul ulama, begitu banyak ormas-ormas Islam dengan para kiyainya yang turut menumpahkan darah untuk melahirkan Indonesia. KH Hasyim Asyari tak sendiri, ada banyak Kiyai, ulama di penjuru nusantara yang bersatu padu membakar semangat umat Islam untuk bangkit dari ketertindasan.
Sebut saja di penghujung barat Indonesia, nama Teungku Daud Beureueh, ulama kharismatik Aceh yang dimintai pertolongannya oleh Soekarno untuk turut berjuang melawan penjajah. Tak bisa dimungkiri peran Daud Beureuh dan masyarakat muslim Aceh juga sangat besar.
Ah, sudahlah, ulama di Indonesia punya benang kesejarahan yang generasi saat ini mesti memahami itu. Pendek kata, tanpa persatuan ulama, kiyai, ustaz mungkin nama Indonesia tak pernah ada.
ADVERTISEMENT
Rilis 200 mubalig versi Kementerian Agama yang direkomendasikan pemerintah tak mencerminkan pemahaman sejarah yang utuh dari seorang Lukman Hakim Saifudin.
Ia beralasan 200 nama yang terbit tersebut telah memenuhi tiga kriteria, antara lain: memiliki kompetensi tinggi kepada ajaran agama Islam. Selain kompetensi, terdapat dua indikator lain yang digunakan Kemenag dalam menentukan rekomendasi mubalig, dua indikator itu adalah pengalaman dan juga komitmen kebangsaan.
Pertanyaan pertama, siapa yang berwenang menentukan ukuran-ukuran tersebut? Lukman Hakim Saifudin?. Indonesia negara muslim terbesar di dunia, pembatasan ulama menjadi hanya 200 kebijakan yang tidak arif dan terkesan politis.
Harus dicabut
Berbagai tokoh nasional terang-terangan mengkritik kebijakan blunder Kemenag tersebut. Utusan Presiden untuk Urusan Dialog antar Agama dan Peradaban Prof Din Syamsudin menyebut rekomendasi tersebut diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Pimpinan Pusat Syarikat Islam (SI) Hamdan Zoelva juga dengan tegas meminta rekomendasi 200 mubalig itu dicabut. Ketua Umum PP Muhmammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak bahkan menyebut rekomendasi 200 ulama tersebut berpotensi memecah belah umat.
Petinggi Partai Politik juga turut angkat bicara, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan meminta rekomendasi tersebut dicabut, Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono bahkan mendesak Lukman mundur dari kursi Menteri Agama.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga tak sependapat, ia mempertanyakan mengapa Kemenag mengatur-atur ulama, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsudin juga menilai rekomendasi tersebut membuat orang-orang merasa terusik.
Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid juga memiliki pandangan yang sama, menurutnya, mestinya rekomendasi tersebut lahir dari MUI. Bahkan bos Lukman di partainya, (mengutip KumparanNews, Selasa, 22/05/18) Sekjen PPP Arsul Sani menyayangkan sikap Lukman yang tidak teliti dalam menelurkan kebijakan, ia kecewa, seharusnya Lukman mengkonsultasikan ke publik perihal rekomendasi mubaligh tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan rekomendasi ulama atau mubaligh tersebut saya melihat substansinya lebih jauh, bukan hanya memecah belah umat, namun rentan publik menduga ada motif politik di sana. Seperti diungkapkan di atas, peran ulama begitu kuat dalam kehidupan sosial budaya bahkan politik masyarakat Indonesia.
Kita tak boleh lupa aksi menyusup Christian Snouck Hurgonje yang menyebut hanya Aceh yang sulit ditaklukkan penjajah Belanda kala masa-masa perjuangan kemerdekaan dulu. Sebab, rakyat Aceh begitu patuh pada ulama yang lurus di jalan Islam dan memahami syariat.
Hurgonje sampai memahami Al-quran Hadist dan adat istiadat Aceh, bahkan ia sudah menjadi hafidz, untuk bisa mengetahui kelemahan rakyat Aceh.
Walhasil, ia menemukan titik kelemahannya, yaitu: ada di komando ulama.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, ia berupaya keras menjadi ulama di sana. Ia bahkan telah memimpin sholat di masjid Baiturrahman Banda Aceh. Namun akal busuk Hurgonje akhirnya terbongkar dan ulama Aceh meminta masyarakat Aceh yang sholatnya diimami Hurgonje untuk diqada (diganti).
Apakah rekomendasi ulama itu mencerminkan ulama pro pemerintah? Yang tidak terekomendasi adalah pihak yang kontra terhadap pemerintah?
Memecah belah umat dengan cara mengotak-kotakan para ulama tentu cara-cara feodal.
Di era keterbukaan saat ini, rakyat sudah cukup cerdas untuk memilih ulama yang pantas diikuti dan mana yang tidak. Itu hak otonom dari rakyat, dan negara tak memiliki kewenangan mengintervensi atau mengatur ‘nurani publik’.
Publik telah memiliki preferensi tersendiri untuk memilih ulama rujukannya. Menag seharusnya paham, bahwa ini bukan zaman batu.
ADVERTISEMENT
Rezim Jokowi-JK tercatat rezim yang renggang hubungannya dengan umat Islam, baru pada rezim inilah aksi berjuta-juta umat Islam membanjiri ibu kota bahkan juga di beberapa daerah di Indonesia.
Kementerian Agama mestinya tak terikut dalam ‘arus politik’ yang melukai hati umat Islam. Singkatnya, jika ingin merebut hati umat Islam tak perlu represif, cukup hadirkan keadilan di ruang publik, tak hanya untuk umat Islam, tetapi untuk semua umat, tak pandang bulu.
Momentum Tak Tepat
Rentetan aksi teror yang melanda Indonesia turut mengoyak jahitan kemanusiaan kita yang telah sedari dulu didesain dalam pakaian kebangsaan kita. Tak ada agama apapapun yang mengamini aksi teror. Semua agama sudah sepakat menolak apapun aksi terornya.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, insiden Mako Brimob, bom gereja di Surabaya, Bom Mapolresta Surabaya dan Insiden penyerangan Mapolda Riau tak bisa juga kita mungkiri telah menyulut aksi ‘islamophobia’.
Kita lihat beredar di media sosial seorang santri yang ditodong senjata oleh Polisi dan dipaksa membongkar isu kardus yang dibawanya, serta perempuan bercadar yang dipaksa turun dari angkot.
Pembelahan ulama yang dilakukan Lukman Hakim ini semakin memperkeruh suasana, ia tak meneduhkan, justru menimbulkan perpecahan.
Bagaimana perasaan ormas Islam, umat Islam, kelompok Islam, yang ulamanya tak masuk rilis rekomendasi ulama versi Kemenag, sementara mereka tak terkait dengan aksi teror dan juga tak pernah memiliki masalah dengan negara? Bahkan mereka aktif menjaga ruhiyah umat Islam untuk menebarkan kedamaian?
ADVERTISEMENT
Ulama dan umaro (pemimpin) itu tak bisa dipisahkan dalam konteks Indonesia. Ulama itu punya massa, punya pengikut. Layak kah mereka marah kepada Kemenag karena pemimpinnya tak dimasukkan dalam rilis tersebut? Bisa dimaklumikah anggapan mereka yang menganggap bahwa ulamanya, mubalighnya, tidak diakui negara? Pantas kah mereka mempertanyakan motif dari Kemenag dengan kebijakan tersebut? Tentu sah, pantas dan layak.
Di bulan penuh berkah momentum ramadhan kali ini sejatinya Kemenag tak menuai kegaduhan, ia seharusnya paham psikologi umat Islam. Rilis 200 ulama tersebut mesti dicabut dan Kementerian Agama meminta maaf kepada umat Islam.
Adalah kejahatan jika generalisasi dan simplifikasi dilakukan terhadap ulama yang tak dirilis kemenag tersebut sebagai ulama yang tak cinta NKRI, tak berkomitmen kebangsaan, penentang pemerintah dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Tahun politik ini ujian kebangsaan kita, negara seharusnya hadir menentramkan emosi rakyat guna mengantisipasi perpecahan dan konflik sosial. Umat Islam sebagai mayoritas di republik ini tak pantas diobok-obok emosinya. Langkah blunder Kemenag ini sangat disayangkan, mesti dicabut, kalau tidak, apologi apapun terlanjur ditelan oleh masyarakat bahwa Kemenag sudah tidak adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.