Sekeping Catatan 2017: Islam Indonesia Semakin Agresif

Rafyq Panjaitan
Wajar Tak Sempurna Hanya Manusia Biasa. User story pikiran pribadi. Genggam Dunia Teman!
Konten dari Pengguna
5 Januari 2018 7:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafyq Panjaitan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: kumparan
Sejak kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menggema, umat Islam Indonesia berubah menjadi Islam yang pemarah. Marahnya menurut saya, masih dalam konteks konstitusional.
ADVERTISEMENT
Seperti kasus Ahok yang menelurkan aksi jutaan umat di beberapa tempat di Indonesia, unjuk rasa tersebut sama sekali tidak berujung pada tindak kekerasan, walaupun sebenarnya, jumlah mereka lebih besar dari massa reformasi 1998, 'jika' ingin melakukan kudeta.
Seperti aksi 212 tahun 2016 misalnya, pentolan GNPF MUI menyebut aksi tersebut sebagai 'aksi super damai'. Seruan pimpinan aksi selalu melarang peserta aksi untuk menginjak rumput monas dan tertib selama aksi damai berlangsung.
Setelah Ahok akhirnya dihukum karena ucapannya. Kita mengira aksi umat Islam akan berakhir, ternyata di tahun 2017 masih menunjukkan tajinya.
Seperti dalam kasus ucapan Viktor Laiskodat soal khilafah, yang menuduh beberapa partai politik sebagai pendukung khilafah dan mengancam akan membunuh sebelum dibunuh bagi mereka para 'pendukung khilafah'.
ADVERTISEMENT
Ucapan Viktor ini tak pelak langsung menimbulkan reaksi kemarahan umat, aksi umat Islam kembali terjadi menyikapi kasus ini. Umat Islam merasa tersinggung akibat ucapan Viktor. Dipelopori FPI, LPI, aksi berlangsung menuntut Polri untuk menindak ketua Fraksi Nasdem tersebut. Sayangnya, sampai saat ini kasusnya tidak menemui titik terang.
Hingga klimaksnya tahun 2017 solidnya konsolidasi umat Islam secara eksplisit bisa kita lihat kembali saat reuni 212 dan pada saat aksi bela Palestina.
Dari aksi yang terorganisir ini, kita melihat 'tensi kepatuhan umat' Islam kepada ulama sedang tinggi tingginya. Komando dari para ulama begitu mudah menghadirkan jutaan massa di Monas. Apakah ini tergerak dari hati jemaah bukan karena komando ulama?
Yang jelas, kesatuan hati umat Islam tergerak dari rasa 'saling memiliki' soal Islam, dan itu linier dengan ulama yang juga turut menyuarakan isi hati umat tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus Yerusalem misalnya, ulama bersatu padu menolak kebijakan sepihak Trump, tentu saja, ummat merasa terwakili aspirasinya. Ketika hal ini sudah konsisten, maka soliditas umat Islam tidak akan tertandingi dalam hal apapun.
Contohnya saja, walau sedikit, tak terlalu berdampak luas. 212 mart, yang mengusung mini market syariah, dan mengkampanyekan umat agar berbelanja pada gerai gerai muslim, serta mudahnya umat mengumpulkan donasi untuk aksi sosial. Tanpa disadari, ini adalah salah satu sinyal, bangkitnya soliditas umat Islam Indonesia.
Sisi lain dari kebangkitan soliditas ini adalah kekeliruan memaknai perintah ulama dalam konteks ruang bernegara. Memang ini belum terjadi, tetapi ini potensial muncul di dalam tahun tahun politik ke depan.
Sebelum ke sana. Tentu asumsi asumsi di atas tidak bisa digeneralisir menjadi sebuah pemikiran karena antitesisnya masih ada, yaitu: pemikiran Clifford Geertz soal klasifikasi islam di masyarakat Jawa.
ADVERTISEMENT
Menurut Geertz, diferensiasi sosial masyarakat Islam Jawa, terbagi tiga: pertama, Kaum Islam Priyai. Kedua, kaum Islam Abangan, dan ketiga, kaum Islam Santri.
Berdasarkan pemikiran Geertz, Islam Priyai merujuk kepada kelompok islam bangsawan, yang cenderung memiliki harta berlimpah, bisa dikatakan keturunan ningrat, darah biru, yang memiliki kasta sosial tinggi di masyarakat.
Islam Abangan, dalam pikiran Geertz dalam risetnya ia menemui umat Islam di Jawa yang secara identitas seorang muslim tetapi dalam praktiknya sama sekali tidak mengikuti ritual peribadatan Islam ataupun aturan aturan mutlak dalam Islam. Sebut saja soal sholat yang merupakan tiang agama dalam Islam, kaum Abangan tidak terlalu menghayati ibadah semacam itu. Pendek kata, mereka mengabaikan.
Terakhir, Islam santri, Geertz menemukan bahwa kelompok ini merupakan masyrakat Jawa yang taat beribadah dan taat pada seluruh ketentuan di dalam Islam. Mereka (islam santri) justru sangat shalih dalam berislam.
ADVERTISEMENT
Dalam pemikiran lain, pemikir Islam lainnya Mihammad Natsir, Nircholis Madjid, Harin Nasution masing masing mencatat bahwa kategorisasi muslim cenderung ada tiga: pertama, islam fundamentalis, kedua Islam moderat, ketiga islam liberal.
Islam fundamentalis dalam pandangan Mohammad Natsir dianggap sebagai kaum yang sangat kaku dalam memandang perintah agama. Kaum islam fundamentalis lebih mengutamakan urusan ruhiyah Islam ketimbang urusan di luar itu. Singkatnya, akhirat lebih penting ketimbang duniawi, oleh sebab itu Natsir memandang perlu mendirikan negara Islam, dan Islam harus dipatuhi secara absolut tanpa menambahi dan mengurangi.
Sementara Islam moderat, Nurcholis Madjid beranggapan bahwa kaum ini memiliki posisi tegas di dalam hubungan transendental (sang khalik) namun juga bukan berarti melupakan hubungan horizontalnya kepada sesama manusia (termasuk non muslim). Kaum ini berpolitik, kaum ini beribadah secara taat dan tidak terlalu fanatik dengan Islam. Jargon yang sangat terkenal dari Cak Nur adalah 'Islam yes, partai islam no'.
ADVERTISEMENT
Esensinya adalah Islam tidak diposisikan dalam hitam sejarah. Islam mampu ikut berperan mendorong perubahan. Dalam pemikiran Cak Nur, modernitas bukan proyek barat tapi memang ada di dalam entitas nasional. Cak Nur melihat pentingnya kemajemukan pemikiran dan kemajemukan politik.
Dan Islam liberal, dalam analisa Harun Nasution membawa aliran pemikiran yang cenderung diinfiltrasi oleh pemikiran barat. Sehingga, Islam lebih sering 'dikuliti' dengan mencampuradukkan khazanah barat kepada prinsip prinsip Islam. Hal ini secara kontekstual sebenarnya bagus, tetapi menjadi masalah, ketika dipakai untuk menelanjangi apa yang diyakini oleh kaum fundamentalis sebagai kebenaran absolut, sehingga seringkali menimbulkan perpecahan umat.
Pertanyaannya, apakah aksi aksi agresif umat Islam dalam beberapa waktu lalu di tahun 2017 mewakili semua umat Islam Indonesia? Ternyata tidak.
ADVERTISEMENT
Islam tradisional yang mengusung slogan 'islam sejuk' seperti jamaah KH Mustafa Bisri atau yang akrab disapa GusMus sering kali justru meredam amarah umat ketika agama Islam diusik.
Kemudian Din Syamsudin, pernah mengkritik Aksi reuni 212 yang menurutnya, Islam itu sebaiknya kualitas bukan kuantitas. Ini bukti bahwa Islam Indonesia tidak semuanya memiliki kesamaan pemikiran dalam menyikapi persoalan di tahun 2017.
Apakah argumentasi Geertz dan tokoh tokoh Islam lainnya serta Gusmus maupun Din Syamsudin bisa mencerminkan watak Islam Indonesia? Benarkah Islam Indonesia menyukai kemarahan?
Yang pasti, ini sebuah gerakan civil society yang baik, akan tetapi kekhawatiran muncul jika politik praktis ikut menyertainya di belakang. Lagi lagi politisi tak boleh menjadi parasit dalam era kebangkitan jiwa Islam Indonesia ini, walaupun 'belum' keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana Bung Karno dalam tulisannya menukilkan istilah: Api Islam. Islam yang bukan hanya di sorban, jubah, jenggot dan lain sebagainya, akan tetapi membara di dada dan ditunjukkan lewat tindakan.
Sebentar lagi kita akan memasuki ujian kebangsaan Pergantian tongkat komando Presiden di 2019. Pemanasannya di Pilkada serentak 2018 ini. Jabar, Jateng, Jatim memanas, partai begitu hati hati untuk merebut hati daerah penentu Pilpres tersebut. Jabar dan Jatim, itu basis Islam fundamentalis dan Islam moderat. Tidak bisa dimungkiri, 'jualan Islam' akan sangat masif di tahun tahun politik ini. Kita harapkan para ulama 'adil sejak dalam pikiran' agar umat Islam tidak terpecah belah.