Konten dari Pengguna

GELIAT BURUNG AIR DAN EKOSISTEMNYA DALAM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG KONSERVASI

Ragil Satriyo Gumilang
Penyuka kopi gelas kecil, es teh manis, dan indomi goreng telur mata sapi.
30 April 2018 23:32 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ragil Satriyo Gumilang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Ragil Satriyo Gumilang dan Yus Rusila Noor - Wetlands International Indonesia
ADVERTISEMENT
BURUNG AIR SEBAGAI DUTA LAHAN BASAH
Menilik sejarah Konvensi Ramsar (yaitu perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan dan pertama kali disepakati oleh negara-negara peserta konvensi di Ramsar tahun 1971 ), mulanya lebih berfokus pada perlindungan burung air, baik penetap maupun migran . Selanjutnya fokus berkembang pada perlindungan lahan basah sebagai suatu ekosistem, dikarenakan peran dan fungsi yang dimiliki lahan basah sangat penting, yaitu sebagai pengatur tata air dan habitat bagi beraneka ragam spesies di antaranya burung-burung air.
Pembahasan tentang burung air memang sulit dipisahkan dari permasalahan ekosistemnya, yaitu lahan basah . Lahan basah merupakan habitat yang mendukung kehidupan burung air, baik sebagai tempat mencari makan, berbiak, persinggahan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Setelah fokus pada perlindungan spesies, selanjutnya berkembang pada perlindungan habitat dan kesadaran keutuhan lingkungan termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Saat ini ranah Konvensi Ramsar berfokus pada seluruh aspek konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijak (wise use) .
Keberadaan burung air sebagai kriteria penentuan Situs Ramsar menjadi kriteria yang cukup istimewa. Kriteria khusus burung air mengatur bahwa untuk ditetapkan sebagai Situs Ramsar lokasi lahan basah secara teratur mendukung/dihuni oleh 20.000 atau lebih populasi burung air (Kriteria 5), dan/atau terdapat individu-individu dari satu spesies burung air hingga 1% dari total populasi spesies burung air tersebut (Kriteria 6). Tanpa mengesampingkan kriteria lainnya, yaitu keterwakilan, langka atau unik, status konservasi keanekaragaman hayati, serta kriteria khusus ikan dan jenis-jenis lain, kriteria khusus burung air ini pun semacam menegaskan bahwa mereka merupakan ‘duta lahan basah’ yang sangat penting.
ADVERTISEMENT
KOMITMEN INDONESIA
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ramsar sejak tahun 1991 . Hal ini menjadi landasan kebijakan sekaligus wujud komitmen Indonesia dalam mendukung konservasi ekosistem lahan basah global. Indonesia pun menjadi terikat pada prinsip pacta sunt servanda, yaitu suatu prinsip fundamental bahwa para pihak harus melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik (good faith) .
Dalam perkembangannya, telah ditetapkan 7 Situs Ramsar di Indonesia . Selain sebagai wujud itikad baik, penetapan situs-situs tersebut penting dan menguntungkan bagi Indonesia, yaitu sarana mempromosikan warisan alam nasional ke dunia internasional sehingga di antaranya dapat menarik kunjungan internasional untuk wisata, riset, budaya, dan pendidikan. Penetapan situs ini pun menjadi sarana diplomasi internasional untuk memperkenalkan dan meningkatkan kredibilitas Indonesia kepada dunia dari sisi pengelolaan kawasan konservasi lahan basah.
ADVERTISEMENT
Substansi dan nilai-nilai dari Konvensi Ramsar telah dimuat di dalam beberapa peraturan yang terkait dengan konservasi ekosistem alami dan lahan basah. Salah satu kebijakan yang sangat lekat dengan konservasi lahan basah adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Di dalamnya, substansi konservasi lahan basah telah dimasukkan ke dalam norma mengenai perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Demikian juga dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, telah dimasukkan beberapa jenis lahan basah sebagai bagian dari kawasan yang dilindungi.
Pemerintah dapat mengusulkan suatu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) sebagai warisan alam dunia (world heritage site), cagar biosfer, atau sebagai perlindungan tempat migrasi satwa internasional (ramsar site) kepada lembaga internasional yang berwenang untuk ditetapkan . Namun sayangnya hal ini belum dibarengi dengan ketentuan yang memadai mengenai dukungan pendanaan khusus bagi situs-situs tersebut.
ADVERTISEMENT
Kebijakan saat ini seakan ‘belum mampu’ menegaskan pengaturan mengenai konservasi sumber daya alam hayati lahan basah di luar KSA dan KPA. Padahal dalam perkembangannya, hasil riset menyebutkan bahwa sekitar 80% satwa liar yang bernilai penting berada di luar kawasan konservasi pada wilayah dataran rendah dan belum dilindungi. Diperkirakan Indonesia memiliki sekitar 105 juta hektar ekosistem penting dan ekosistem penyangga/penghubung teresterial yang berada di luar KSA dan KPA .
Sebagai contoh norma dalam penjelasan PP 28/2011 telah memuat definisi kawasan ekosistem esensial, yaitu ekosistem karst, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau, dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari 6 meter), mangrove dan gambut yang berada di luar KSA dan KPA. Definisi ini sangat lekat dan sejalan dengan pengertian lahan basah dalam Konvensi Ramsar. Namun sayangnya, aturan tersebut tidak memberi mandat untuk menyusun aturan pelaksanaan mengenai kawasan ekosistem esensial. Oleh karena itu, hal ini dapat dipahami karena aturan induknya pun belum cukup mengakomodasi perlindungan di luar kawasan konservasi yang bernilai penting.
ADVERTISEMENT
PERUBAHAN UU KONSERVASI: DIBUTUHKAN ATAU TIDAK?
Dalam perkembangannya, sejak 10 tahun lalu UU KSDAHE dinilai perlu disempurnakan. UU KSDAHE dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan permasalahan dan kebutuhan hukum di dalam penyelenggaraannya. Norma yang tertuang juga masih banyak yang bersifat umum dan terlalu banyak didelegasikan pada peraturan pelaksanaannya. Penyempurnaan ini tentunya juga akan berpengaruh pada upaya konservasi burung air dan ekosistemnya.
Namun, sudut pandang pemerintah berbeda. Seusai rapat terbatas awal April 2018 lalu mengenai rancangan perubahan UU KSDAHE yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Hukum dan HAM mengatakan kepada media massa bahwa perundangan saat ini sudah cukup untuk mendukung upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Artinya bahwa perubahan atas UU KSDAHE, yang telah masuk Prolegnas sebagai usulan DPR, dianggap Pemerintah belum dibutuhkan saat ini .
ADVERTISEMENT
Padahal, salah satu semangat perubahan fundamental yang tertuang dalam Rancangan UU KSDAHE adalah mengisi kekosongan hukum dan kelembagaan dalam berbagai konteks konservasi kekinian. Seperti mengatur perlindungan dan pemanfaatan terhadap sumber daya genetika yang sampai saat ini belum ada payung hukumnya. Selain lebih menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi di darat dan seakan mengesampingkan konservasi di wilayah perairan atau laut, UU KSDAHE juga belum cukup mengakomodasi perlindungan di luar kawasan konservasi yang bernilai penting (ekosistem esensial). Norma yang ada lebih fokus di dalam KSA dan KPA, sehingga pelaksanaan upaya-upaya konservasi di luar Kawasan konservasi tersebut tidak dapat berjalan secara maksimal. Kawasan bernilai penting yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi ini seharusnya juga mencakup kawasan penyangga, koridor, dan areal persinggahan satwa migran di luar kawasan konservasi.
ADVERTISEMENT
Dari sisi perlindungan spesies, UU KSDAHE dan aturan pelaksanaannya belum secara tegas melindungi jenis-jenis burung migran, meskipun sebagian kecil jenis burung migran telah masuk daftar jenis yang dilindungi . Rancangan UU KSDAHE telah cukup baik mengakomodasi hal tersebut, antara lain mengatur ketentuan mengenai penetapan status perlindungan spesies berdasarkan kriteria tingkat ancaman kepunahan. Burung migran yang memiliki perilaku dan sifat biologis unik dianggap rentan terhadap bahaya kepunahan. Sehingga, dipertimbangkan sifatnya sebagai kriteria spesies dilindungi.
Dalam RUU yang telah disusun , telah tertuang ketentuan yang mengakomodasi kelemahan ini, termasuk mengatur norma mengenai ekosistem lahan basah dan keanekaragaman hayati di dalamnya, termasuk burung air sebagai ikon lahan basah. Tentunya banyak pihak mengharapkan pihak pemerintah meninjau ulang keputusannya dan kemudian bersama DPR RI melanjutkan proses pembahasan dan penetapannya. Semoga dalam kelanjutannya, tidak menafikan masukan dari para penggiat konservasi mulai dari proses kajian, konsultasi publik, dan pembahasan cukup panjang, yang pernah dilaksanakan selama 10 tahun terakhir ini.
ADVERTISEMENT
Diterbitkan dalam Warta Konservasi Lahan Basah Vol 26 dan dokumen elektronik (PDF) dapat diakses pada tautan berikut ini: https://indonesia.wetlands.org/id/publikasi/wklb-vol-26-no-12-maret-2018/
(Foto Burung Air Migran di Pantai Cemara Jambi oleh Yus Rusila Noor)