Kesiapan Monitoring dan Pemetaan Risiko Land Subsidence di Indonesia

Ragil Satriyo Gumilang
Penyuka kopi gelas kecil, es teh manis, dan indomi goreng telur mata sapi.
Konten dari Pengguna
2 November 2020 9:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ragil Satriyo Gumilang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Monitoring dan pemetaan risiko merupakan faktor kunci dalam upaya pengelolaan risiko bencana yang terstruktur dan terintegrasi. Dalam kaitannya dengan land subsidence atau penurunan muka tanah, aksi-aksi pencegahan, penurunan laju dan penanganan dampak bisa dilakukan secara efektif apabila sistem monitoring dan pemetaan risiko telah dibangun. Hal ini dibahas dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Pelaksanaan Mitigasi dan Adaptasi Amblesan Tanah di dataran Rendah Pesisir* atas kerja sama Kemenkomarves, BIG, Badan Geologi Kementerian ESDM, BNPB, Yayasan Lahan Basah / Wetlands International Indonesia, dan Pusat Studi Bencana IPB, pada Kamis, 8 Oktober 2020.
Webinar Kesiapan Infrastruktur Monitoring dan Pemetaan Risiko Bencana Land Subsidence (Amblesan Tanah) di Indonesia pada Kamis, 8 Oktober 2020.
Nani Hendiarti, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi mengungkapkan bahwa upaya monitoring dan pemetaan risiko diperlukan guna mengidentifikasi lebih detail upaya pengendalian laju subsiden. Pada sesi pengantar webinar, Ia menegaskan bahwa seluruh pihak harus bekerja sama untuk pengendalian yang tidak bersifat sementara semata. Dalam kaitannya dengan monitoring dan pemetaan land subsidence Nani berharap bahwa ada mekanisme yang bisa disepakati supaya data-data dari Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan hasil analisa dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk bisa dianalisis dan digunakan sebagai referensi untuk pengendalian land subsidence yang lebih terintegrasi dan holistik.
ADVERTISEMENT
Dalam sesi pidato kunci, Mohamad Arief Syafi’i, Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar, BIG, menyampaikan bahwa monitoring land subsidence bisa dilakukan dengan beberapa metode, yang bisa dikombinasikan satu dengan lainnya. Pada prinsipnya, monitoring dilakukan dengan pengukuran perubahan ketinggian suatu titik atau permukaan yang sama, secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Global Navigation Satelite System (GNSS) yang dipadukan dengan Extensometer, merupakan teknologi terkini untuk monitoring land subsidence. Metode ini mampu mengukur perubahan posisi permukaan secara 3 dimensi sekaligus menunjukkan laju, luas dan pada kedalaman berapa penurunan muka tanah terjadi. Saat ini BIG akan mengimplementasikan program percepatan data dasar, dan telah memiliki 280 stasiun pengukuran GNSS yang tersebar di seluruh Indonesia, di mana di tahun 2021 akan dibangun sekitar 72 unit lagi. Terkait pengolahan data land subsidence menggunakan data GNSS, BIG telah melakukan perhitungan di 4 lokasi meliputi Cirebon, Tegal, Pekalongan dan Semarang selama kurun waktu 9 tahun dari 2011-2020. Hasilnya menunjukkan bahwa Pekalongan memiliki angka tertinggi, mencapai 11,4 cm/tahun. Lebih lanjut, saat ini BIG sedang bersiap melakukan GNSS Campaign Survey di Pekalongan, Semarang dan Demak.
ADVERTISEMENT
Menutup pidato kuncinya, Mohamad Arief menegaskan pentingnya penggunaan data dan informasi ini dalam pengambilan keputusan, khususnya terkait investasi. Ia menekankan perlunya analisa yang komprehensif, holistik dan menyeluruh sebelum investasi dilakukan, sehingga investasi tersebut tidak berdampak buruk pada lingkungan dimasa yang akan datang. “Dalam jangka panjang, kalau kita tidak memperhatikan lingkungan, (maka) kerugian yang diakibatkan akan jauh lebih besar, terutama untuk pemulihannya”, pungkasnya.
Dalam sesi selanjutnya, M. Rokhis Khomarudin, Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN membahas lebih jauh terkait monitoring land subsidence berbasis teknologi Interferometric Synthetic Aperture RADAR (INSAR). Berbeda dengan GNSS yang memberikan data per titik, metode ini memberikan gambaran penurunan muka tanah pada luasan tertentu (spasial) . Rokhis menyampaikan hasil pemantauan land subsidence di 6 lokasi yang dianalisis berdasarkan data selama 5 tahun (2015-2020) yaitu di Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Pekalongan dan Surabaya. Hasilnya menunjukkan adanya variasi penurunan muka tanah yang berbeda-beda, di mana Pekalongan memiliki laju land Subsidence paling tinggi berkisar antara 2,1 hingga 11 cm/tahun. Sementara itu untuk Jakarta, laju land Subsidence berkisar antara 0,1-8 cm/tahun, Semarang berkisar antara 0,9-6 cm/tahun, Surabaya berkisar antara 0,3-4,3 cm/tahun, Bandung berkisar antara 0,1-4,3 cm/tahun dan Cirebon antara 0,28-4 cm/tahun. Hasil ini diperoleh dari perhitungan data satelit, masih diperlukan verifikasi dan validasi lapangan. Sebagai perbandingan, hasil validasi di China dengan menggunakan model yang sama memiliki akurasi 92%.
ADVERTISEMENT
Penyelidikan geologi menjadi salah satu metode dalam monitoring land subsidence. Andiani, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi ESDM, menyampaikan bahwa potensi land subsidence pada bagian utara umumnya lebih besar karena faktor konsolidasi dari tanah yang tersusun oleh endapan rawa yang cukup tebal dan bersifat sangat lunak serta belum kompak. Kendati demikian, ia menyebutkan bahwa lembaganya saat ini masih mengkaji secara detail penyebab land subsidence di wilayah Pantura Jawa Tengah dari beberapa aspek baik geologi, geologi teknik, geofisika maupun air tanahnya.
Pada 2019 Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan telah meluncurkan atlas sebaran tanah lunak di Indonesia. Hal ini dilakukan mengingat penurunan tanah di Indonesia pada umumnya terjadi di area sebaran tanah lunak, sehingga atlas ini bisa menjadi referensi lokasi pengkajian land subsiden secara mendalam. Beberapa kajian geologi rinci juga sedang dilakukan di beberapa lokasi meliputi Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang dan Demak untuk mengetahui beberapa informasi geologi diantaranya seperti kondisi geologi yang mempengaruhi land subsidence, mengetahui laju dan sebaran land subsidence, dan kondisi air tanahnya. Untuk kajian zona land subsidence, saat ini dilakukan di 2 lokasi yakni Pekalongan dan Semarang. Penyelidikan ini dilakukan melalui pemetaan geologi teknik, pemasangan bor teknik dan patok pengamatan, pemetaan kuantitas dan kualitas air tanah, analisa geofisika dan wawancara dengan masyarakat. Dari patok yang sudah dipasang pada tahun 2020 menujukan bahwa di Pekalongan, subsiden dari bulan Maret hingga Oktober 2020 mencapai 3,2 cm. Hasil kajian sementara menunjukkan bahwa lokasi ini memiliki indeks kompresi yang sangat tinggi, sehingga potensi land subsidence juga tinggi. Rencananya, hasil kajian geologi terpadu di Pantura Jateng ini akan disosialisasikan pada akhir November 2020.
ADVERTISEMENT
Sedikit berbeda dari para pembicara sebelumnya yang membahas aspek teknis dalam monitoring dan pemetaan, pembicara terakhir, Abdul Muhari, sebagai Plt. Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB membahas terkait tantangan dalam Pemetaan Risiko Bencana land subsidence, khususnya dari sisi kebijakan/regulasi. Menurut Abdul, hingga saat ini masih belum ada upaya monitoring land subsidence secara terpadu, dan berskala nasional. Hal ini menyebabkan belum adanya peta bahaya dan Kajian Risiko Bencana (KRB) land subsidence. Sehingga upaya mitigasi belum bisa dilakukan secara komprehensif, dan belum terprogram dengan baik ke dalam tata ruang. Kajian Risiko Bencana merupakan amanat dari UU Penanggulangan Bencana (UU PB) yang harus dilakukan guna menentukan aksi mitigasi dan tanggap darurat dari suatu bencana. Terkait pemetaan risiko land subsidence, Abdul menyampaikan bahwa saat ini setidaknya ada dua tantangan dalam upaya tersebut. Pertama, belum masuknya nomenklatur land subsidence ke dalam UU PB dan Perka BNPB 2/2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Kedua, persoalan kewalidataan ancaman/bahaya land subsidence yang nantinya akan digunakan oleh BNPB untuk dipetakan risikonya. Dari sisi teknis, kesesuaian skala peta yang digunakan perlu disepakati bersama, mengingat KRB yang dilakukan oleh BNPB memiliki skala peta 250 ribu (provinsi) dan 25-50 ribu (kabupaten/kota). Di akhir paparan Abdul Muhari menyampaikan 3 prioritas yang perlu ditindaklanjuti bersama untuk memastikan keberlanjutan dan ketersediaan sumber daya dalam monitoring land subsidence. Pertama, memasukkan nomenklatur land subsidence ke dalam revisi UU Kebencanaan. Saat ini BNPB berupaya memasukkan land subsidence sebagai salah satu jenis bahaya kegagalan teknologi dan ulah manusia, sesuai dengan amanat dari Rakernas BNPN 2020. Kedua, mendorong peta tematik land subsidence beserta penentuan walidata sebagai prioritas tindak lanjut, diintegrasikan ke dalam Perpres 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Ketiga, memasukan land subsidence ke dalam revisi Perka BNPB 2/2012 sebagai salah satu jenis ancaman yang perlu dilakukan Kajian Risiko Bencana.
ADVERTISEMENT
Dari hasil diskusi Perdinan, dari Pusat Studi Bencana IPB, selaku moderator kegiatan menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat 7 hal yang bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut dalam penyusunan Renaksi untuk strategi 2 dan ke 3 sebagai pendetailan dari roadmap yang sudah disusun, antara lain:
ADVERTISEMENT