'Robohnya' Sekolah PAUD Kami

Ragil Satriyo Gumilang
Penyuka kopi gelas kecil, es teh manis, dan indomi goreng telur mata sapi.
Konten dari Pengguna
23 September 2021 13:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ragil Satriyo Gumilang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Melihat situasi sekolah Pendidikan Anak Usia Dini saat ini, tiba-tiba saya teringat cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Dalam cerpen legendaris itu diceritakan tentang surau yang terlantar sepeninggal tokoh ‘Kakek’. Setelah membaktikan dirinya untuk beribadah dan merawat surau sedari muda, nahas, Kakek itu membunuh dirinya sendiri. Ia termakan bualan ‘Ajo Sidi’ yang menceritakan kutukan Tuhan atas pekerjaan seperti yang dilakukan Si Kakek. Ajo Sidi membuat Kakek merasa begitu terpukul hatinya. Kegalauan setelah mendengar cerita Ajo Sidi itu diungkapkan Kakek kepada tokoh ‘aku’, sudut pandang orang pertama yang memiliki rasa ingin tahu cukup besar dan masih cenderung mengikuti emosinya.
ADVERTISEMENT
Melalui tokoh ‘aku’, A.A. Navis merefleksikan kisah itu dengan menulis, “Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.”
Seperti itulah kondisi PAUD hari-hari ini, tidak sedikit yang tak mampu beroperasi lagi di masa pandemi ini. Kian hari, pelbagai hal membuat sekolah PAUD seakan bakal roboh. Jumlah peserta didik jenjang PAUD menurun cukup signifikan. Hal ini memiliki konsekuensi di banyak sekolah, terutama menurunnya pemasukan karena penurunan jumlah peserta didiknya. Pemerintah mengakui itu. Namun, bisa jadi ada sebagian dari kita yang termakan bualan, belum mengerti, atau bahkan masa bodoh, atas kondisi yang dihadapi sekolah PAUD sekarang ini.
Kondisi Sekolah PAUD di Bogor yang tidak gunakan belajar-mengajar selama masa pandemi (dukumentasi pribadi)

Jumlah Siswa dan Anggaran Menurun

Sebagai suami seorang Kepala Sekolah PAUD nonformal di Bogor, saya tahu bahwa pemasukan sekolah utamanya melalui Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) dan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). BOP untuk PAUD diberikan oleh pemerintah sebesar 600.000 rupiah tergantung dengan jumlah peserta didik setiap tahunnya. Sedangkan SPP, didapat sekolah dari iuran orang tua siswa.
ADVERTISEMENT
Baik BOP maupun SPP, akan menurunkan pemasukan sekolah bila jumlah siswa semakin menurun. Belum lagi bila ada orang tua siswa yang terdampak ekonominya karena pandemi, juga sangat mungkin didapati penundaan pembayaran SPP kepada sekolah. Dampak selanjutnya, tidak sedikit pengelola PAUD yang memotong gaji para tenaga pengajarnya atau bahkan merumahkannya.
Sebenarnya, masalah kecukupan anggaran PAUD tidak hanya terjadi di masa pandemi ini. Sebagai contoh di sekolah PAUD istri saya mengepalai, gaji tiap guru hanya 600-700 ribu per bulan. Itu masih sangat jauh di bawah standar UMK. Namun, itulah nilai yang mampu diberikan dan paling masuk akal agar PAUD dapat terus berjalan. Bayangkan saja, bila pemasukan sekolah melalui SPP dan BOP dari 37 siswa dirata-ratakan, nilai totalnya kurang dari 4 juta rupiah per bulan. Nilai itu harus ‘dicukup-cukupkan’ untuk 4 guru dan 7 tenaga kependidikan. Mereka bekerja ‘nyaris’ sukarela, seperti halnya Si Kakek penjaga surau yang rela membaktikan dirinya. Mereka bisa saja menaikkan iuran SPP yang saat ini hanya 50 ribu rupiah, tapi akan berapa banyak lagi anak-anak yang tidak memiliki kesempatan sekolah?
ADVERTISEMENT

Termakan Bualan

Istri saya juga pernah menceritakan tentang orang tua yang ingin memindahkan anaknya dari PAUD ke suatu Bimba. Orang tua yang cukup berada tersebut termakan iming-iming ‘keinstanan’, fasilitas, dan mekanisme pengajaran lembaga berbasis bisnis franchise itu. Awalnya saya mengira itu fenomena perpindahan biasa saja, semacam kompetisi antar lembaga dalam mendapatkan peserta didik yang telah berlangsung dengan fairplay. Setelah menyelisik lebih jauh, ternyata tidak sesederhana itu. Ibarat orang-orang yang termakan bualan Ajo Sidi dalam cerita ‘Robohnya Surau Kami’.
Eksistensi Bimba waralaba tersebut, yang mengklaim bukan lembaga kursus maupun lembaga formal dan nonformal yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan, masih menjadi perdebatan di kalangan praktisi pendidikan anak usia dini. Pasalnya, Bimba ini juga mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Istri saya sebagai praktisi pendidikan pernah mengutarakan ketidaksepakatannya. Menurutnya, proses pembelajaran PAUD utamanya harus dikembangkan melalui bermain dan pembiasaan karakter yang baik, bukan dengan calistung. Calistung baru wajib diajarkan setelah anak masuk jenjang SD, yaitu saat yang sesuai dengan masa tumbuh kembangnya. Rasanya pantas bila hal ini dikhawatirkan oleh para praktisi pendidikan anak usia dini. Apalagi, Dinas Pendidikan seakan tak berwenang mengawasi dan saat pandemi ini eksodus itu semakin sering dijumpai.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya khawatir atas menjamurnya Bimba, ada kekhawatiran atas obsesi orang tua yang menggegas anak pada sesuatu yang belum saatnya. Kekhawatiran orang tua atas anak bila belum bisa calistung ketika akan masuk SD cukup dapat dipahami. Tapi sebenarnya, itu mubazir saja bila dituruti. Apalagi saat ini, penerimaan peserta didik baru SD negeri berdasarkan zonasi. Aturan seleksi penerimaan tidak boleh dilakukan melalui tes, baik tes kemampuan calistung maupun bentuk tes lainnya.
Eksodus dari PAUD ke Bimba mungkin ibarat persaingan antar penjual hape baru orisinil dengan KW. Perbandingan ini bukan menyoroti tentang harga ekonomis, tapi lebih pada kualitas jangka panjang yang akan didapat oleh pengguna serta kepatuhan atas suatu prinsip yang dianut dan diakui. Pengajaran yang hanya menekankan kemampuan kognitif matematika dan logika saja, dikhawatirkan para ahli akan menghambat kebutuhan kemampuan kognitif lainnya, seperti linguistik, interpersonal, kinetik, dan kemampuan serta pembiasaan baik lainnya.
ADVERTISEMENT

Wajib PAUD?

Ada juga orang tua pragmatis yang mengambil sikap untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya dulu di PAUD. Apalagi di masa pandemi, ada kekhawatiran orang tua atas keselamatan anak serta kebijakan pembatasan yang jamak menjadi pembenaran mereka. Kemudian ada juga orang tua yang mengupayakan homeschooling. Sebagian orang tua kenalan saya cukup mampu menerapkannya. Namun, bila orang tua tak memiliki cukup kemampuan serta waktu untuk homeschooling, alih-alih yang terjadi seperti membiarkan masa emas anaknya habis tak tentu arah di rumah.
Penundaan sekolah PAUD kadang cukup dapat dimaklumi. Istri saya pernah menjumpai pandangan itu ketika ada orang tua siswa menyampaikan keinginannya. ‘Ngapain saya maksa sekolah sekarang? Mosok ngeluarin biaya sekolah tapi orang tua yang repot mendampingi pembelajaran daring di rumah? Toh, sekolah PAUD tidak wajib diikuti oleh anak’, kira-kira seperti itu unek-uneknya. Kondisi pandemi ini serasa makin ‘menghalalkan’ anggapan tidak wajibnya anak mengenyam pendidikan di sekolah PAUD.
ADVERTISEMENT
Dari sisi kebijakan, UUD 1945 memang menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah juga wajib menyediakan pelayanan dasar pendidikan anak usia dini. Sayangnya, wajib belajar 9 tahun ini memang dimulai dari jenjang pendidikan SD dan belum wajib diikuti sejak jenjang anak usia dini (usia kurang dari 6 tahun). Pemerintah pun sebenarnya sudah menyadari hal itu dan menyiasati untuk mewajibkannya.
Melalui peraturan setingkat kepala daerah, pemerintah gencar mendorong kebijakan wajib mengikuti jenjang PAUD selama satu tahun sebagai prasyarat seorang anak masuk ke SD. Sayangnya, hal ini belum cukup dikuatkan dengan perubahan ‘perundang-undangan yang lebih tinggi’ dan masih ‘Wajar 9 Tahun’. Wajar saja juga bila masih ada orang tua yang menganggap bahwa pendidikan jenjang anak usia dini tidak wajib diikuti oleh anaknya.
ADVERTISEMENT
***
Pendidikan PAUD tetap diakui penting sebagai madrasah awal anak di usia emasnya. Pada usia itu, sangat penting menanamkan anak-anak tentang karakter, agama, nasionalisme, serta berbagai pemahaman mendasar sesuai dengan tingkat perkembangannya. Tentunya pendidikan mendasar sebelum melangkah ke jenjang selanjutnya akan berbuah baik bila didukung oleh ketersediaan sumber daya yang memadai.
Alih-alih dukungan sumber daya yang memadai, kondisi saat ini seperti menunggu satu persatu sekolah PAUD ‘roboh’, tak mampu beroperasi lagi. Atau jangan-jangan benar kata A.A. Navis dalam “Robohnya Surau Kami”, kita masih memelihara sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi?
Ragil Satriyo Gumilang (Suami Kepala Sekolah dan orang tua siswa PAUD di Bogor, bekerja di bidang kajian kebijakan publik di suatu lembaga nonpemerintah)
ADVERTISEMENT