Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
TNI Kok Takut Lagu
16 Februari 2025 11:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rahadian Haryo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Konflik Aceh & Represi Militer (1976-2005)
ADVERTISEMENT
Konflik bersenjata di Aceh dari tahun 1976 hingga 2005 antara TNI dan GAM menciptakan situasi represif, termasuk sensor budaya. Setelah Darurat Operasi Militer (DOM) diberlakukan pada 19 Mei 2003, TNI melakukan pemberangusan ekspresi seni yang dianggap "Propaganda Gerakan Aceh Merdeka (GAM)".
ADVERTISEMENT
Yusbi Yusuf, seniman Aceh, menyatakan bahwa “Lagu kami dipelintir maksudnya... mereka tidak paham bahasa seni.” ujarnya.
Lirik "Haro Hara" & Tragedi Kemanusiaan
Lagu "Haro Hara" dalam Nyawöung menyoroti empat tragedi berdarah: Arakundoe ( 3 Februari 1999, 28 korban), Simpang KKA (Mei 1999, puluhan tewas), Tengku Bantaqiah (Juli 1999, 54 korban), dan Rumoh Geudong.
Cut Aja Rizka, vokalis lagu ini, mengungkapkan “Kalau diingat saja rasanya berat… syairnya menyentuh langsung peristiwa yang terjadi.” Lirik ini dianggap membongkar kekejaman militer.
Setelah Darurat Operasi Militer pada tahun 2003, TNI melancarkan razia kaset Nyawöung. Sebanyak kurang Lebih 5.000 kaset edisi pertama disita dari toko di Pidie, Bireuen, dan Langsa.
Yusbi Yusuf, seniman lain mengatakan “Lagu saya dituduh propaganda GAM, padahal maksudnya kritik sosial.” Otoritas militer mewajibkan sensor lagu sebelum diedarkan.
ADVERTISEMENT
Dampak & Resistensi Masyarakat
Meski banyak dilarang beredar, Kaset Nyawöung banyak yang ludes terjual. Masyarakat Aceh mendengarkan secara sembunyi-sembunyi. Cut Aja Rizka bercerita bahwa “Ada yang mengubur kaset di tanah agar tak disita TNI”. TNI juga melakukan razia dan menghukum warga yang ketahuan. Joe Samalanga menambahkan bahwa “GAM pun mengapresiasi album ini... Panglima Ayah Muni mengirim ucapan terima kasih via email”.
"hanya karena sebuah lagu, mereka harus mengalami kekerasan fisik dan mental, padahal mereka bukan orang-orang politik" Ucap Cut Aja Rizka.
Ungkapan ini menekankan bahwa pelarangan tersebut bukan hanya soal kontrol seni, melainkan juga tentang penindasan terhadap identitas dan perasaan kolektif masyarakat Aceh.
Sensor Politik dalam Sejarah Indonesia
Di masa Pemerintahan Ir. Sukarno, dia melarang lagu “The Beatles” yang katanya lagu semestinya harus menggambarkan “Fighting Nation” dan bukan lagu “Ngak Ngik Ngok”. Pada masa Pemerintahan Soeharto, dia melarang lagu “Genjer-Genjer” Karena lagu tersebut bekas dari Propaganda PKI meskipun secara muasal bukan dari ciptaan PKI.
ADVERTISEMENT
Pengamat budaya Putra Hidayatullah menjelaskan,“Sensor politik terjadi ketika lagu dianggap mengganggu kekuasaan dominan.” ujarnya.
Sumber:
BBC News Indonesia. (2023) Musisi Aceh yang karyanya dibredel militer di tengah konflik bersenjata - ‘Disangkakan kita jadi propaganda GAM’. https://www.bbc.com/indonesia/articles/ckrp150lne9o. Dikutip pada tanggal 12 Februari 2025
Narasi Newsroom. (2025). Negara Takut Karya Seni: Kala Lagu Aceh Dibredel Militer saat Konflik Bersenjata. YouTube. https://youtu.be/5jcIl1SPtIg?si=BIzkoFcoPJjs-449
BBC News Indonesia. (2024). Tarian Genjer-Genjer kembali ditampilkan ‘Saya mengenalkan Genjer-Genjer bukan pada politik, tapi seni yang sebenarnya’. https://www.bbc.com/ indonesia/articles/c3gz2l8gpd8o
National Geographic Indonesia. (2021). Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?. https://national geographic.grid.id/read/132718521/apa-salah-musik-musik-barat-seperti-the-beatles-di-telinga-sukarno