Konten dari Pengguna

Media Sosial: Sumber Polarisasi?

Rahiel Mikyal Orensky Tomo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya.
9 Oktober 2024 14:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahiel Mikyal Orensky Tomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source : Canva Rahiel Mikyal Orensky
zoom-in-whitePerbesar
Source : Canva Rahiel Mikyal Orensky
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Polarisasi merupakan fenomena sosial yang tak terelakkan. Maraknya terjadi fenomena polarisasi dapat memperburuk hubungan antarmasyarakat karena adanya pandangan yang berbeda dalam berbagai hal, mencakup perbedaan ideologi dan paradigma. Pada saat-saat inilah media sosial memiliki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi, membentuk persepsi, dan menentukan kebijakan di ranah politik. Kini media sosial tidak hanya dapat dijadikan sebagai sarana untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan, tetapi juga digunakan sebagai strategi politik untuk mempengaruhi pandangan masyarakat, menyampaikan ideologi-ideologi baru, hingga pada akhirnya memperparah perpecahan yang ada di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks sosial dan politik, polarisasi merupakan fenomena pembelahan dahsyat suatu kelompok atau kubu yang menyebabkan berbagai dampak buruk, seperti berkurangnya toleransi dan sulit tercapainya kesepakatan bersama. Polarisasi kerap terjadi ketika masyarakat berbondong-bondong memusatkan seluruh perhatian mereka pada masalah atau isu politik yang rasanya bagaikan luka basah ditaburi garam. Fenomena sosial ini umumnya terjadi saat berlangsungnya pemilihan umum ataupun pasca-pemilihan umum, begitu pula di Indonesia, yang sering kali dengan jelas menunjukkan banyaknya perbedaan keyakinan dan ketidaksukaan di kalangan masyarakat. Media sosial, sebagai salah satu sumber utama penyaluran informasi, mengambil peran krusial dalam konteks ini. Selama polarisasi ini berlangsung, media sosial dapat berperan sebagai wadah untuk menyebarluaskan informasi guna memberikan edukasi ke khalayak publik mengenai isu-isu politik yang sedang terjadi. Lalu, apakah media sosial benar-benar terbukti sebagai sumber utama terjadinya fenomena polarisasi? Dan bagaimana cara merubah hal tersebut agar menjadi konstruktif?
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, media sosial diperkirakan mampu meningkatkan rasa ketertarikan masyarakat dalam demokrasi dengan memfasilitasi penggunanya dalam kegiatan politik. Namun, media sosial juga dapat mengakibatkan dampak negatif karena di dalam media sosial terdapat sistem algoritma, di mana media sosial kemungkinan besar hanya akan menampilkan informasi yang sesuai dengan preferensi dan keyakinan para penggunanya. Hal tersebut dinamakan dengan filter bubble, peristiwa di mana pengguna media sosial hanya menerima informasi yang telah disaring oleh sistem sesuai dengan preferensi mereka. Mereka menjadi tidak tahu-menahu akan informasi lain yang bertolak belakang dengan keyakinan mereka. Sering dijumpai bahwa dua kubu atau kelompok yang memiliki pandangan berbeda biasanya memilih untuk saling mengabaikan informasi dan fakta-fakta dari kelompok lain dan bahkan berakhir mendewakan keyakinan mereka sendiri. Peristiwa ini diperkuat dengan adanya penelitian mengenai peristiwa tersebut. Eli Pariser (2011) dalam bukunya yang berjudul The Filter Bubble, menjelaskan strategi algoritma aplikasi Instagram dan beberapa media sosial lain selalu menyaring informasi yang akan ditampilkan di laman kepada pengguna media sosial berdasarkan preferensi mereka yang telah diteliti oleh sistem. Strategi algoritma ini dapat menjebak pengguna media sosial terus berada di dalam “gelembung” yang selalu mendukung keyakinan mereka. Terjebak dalam “gelembung” ini pun dapat mengantarkan Indonesia menuju fenomena polarisasi yang semakin ekstrem karena masyarakat akan semakin berpegang teguh dengan pandangan mereka dan tidak ada sedikitpun niat untuk memahami perspektif yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Fenomena filter bubble ini terbukti berhasil dalam membuat polarisasi di berbagai media sosial. Hal itu dapat dilihat dari beberapa peristiwa polarisasi dalam satu dekade terakhir, di mana kehebatan sistem algoritma media sosial berhasil memecah belah masyarakat. Contoh pertama peristiwa polarisasi terbesar di Indonesia melalui media sosial adalah pemilu presiden 2014. Pemilu 2014 menghadirkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai tokoh utama yang memiliki pendukung fanatik masing-masing. Mulai banyak perdebatan dan perbedaan pendapat yang terjadi di antara masyarakat melalui media sosial yang berakhir menjadi tempat polarisasi itu berlangsung. Fenomena polarisasi inipun terus berlanjut hingga pemilu presiden 2019. Pemilu presiden 2019 merupakan peristiwa lanjutan dari hawa panas lima tahun silam. Polarisasi pada pemilu 2019 terasa lebih menegangkan dikarenakan adanya penyebaran hoaks melalui berbagai platform media sosial yang banyak menyertai isu SARA. Kubu atau kelompok yang telah terbentuk di kalangan masyarakat pun semakin terpolarisasi. Contoh peristiwa polarisasi lainnya ialah pandemi COVID-19. Peristiwa ini merupakan awalan polarisasi yang terjadi di media sosial. Berbagai perbedaan pendapat terjadi mengenai kebijakan lockdown hingga penggunaan vaksin. Media sosial menjadi tempat penyebaran hoaks dan teori-teori konspirasi yang tidak masuk akal. Fenomena polarisasi itu memperparah perpecahan di kalangan masyarakat karena banyak sekali yang meragukan kebeneran dari pandemi tersebut. Hoaks dan teori konspirasi tak berdasar yang tersebar melalui media sosial pun menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa media sosial yang diharapkan dapat menjadi wadah pemersatu bangsa justru menjadi salah satu sumber utama terjadinya polarisasi? Ini semua disebabkan oleh sistem algoritma yang dimiliki platform-platform media sosial. Algoritma media sosial diciptakan untuk menghasilkan ketertarikan pengguna secara lebih mendalam. Konten-konten yang memicu perdebatan dan pertengkaran sudah lebih diminati dan “menjual” dibandingkan dengan konten yang bersifat informatif. Dampak yang dihasilkan ialah para pengguna media sosial akan lebih sering menjumpai konten-konten yang sesuai dengan pandangan mereka, mengakibatkan hilangnya niat untuk mendengar perspektif lain. Fenomena polarisasi juga semakin ekstrem dengan adanya penyebaran berita hoaks di media sosial, di mana segala informasi dapat tersebar dengan sangat cepat yang mengakibatkan misinformasi tak lagi bisa dihindari secara mudah. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa tokoh-tokoh politik juga sering kali sengaja memanfaatkan media sosial sebagai strategi untuk memanipulasi pandangan masyarakat demi kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Fenomena polarisasi yang disebabkan oleh media sosial bukanlah masalah yang sulit untuk diatasi karena terdapat banyak sekali cara yang dapat dilakukan untuk bisa mengubahnya menjadi lebih kondusif sebagai wadah masyarakat dalam berdiskusi kedepannya. Cara pertama yang bisa dilakukan adalah dengan memunculkan kesadaran dalam bermedia sosial. Setiap pengguna media sosial perlu lebih bertanggung jawab dalam membuat konten dan menyebarkan informasi guna menghindari adanya pertengkaran antar-kelompok. Jika pengguna media sosial banyak yang menerapkan hal ini, maka fenomena polarisasi di media sosial akan berkurang secara signifikan. Cara terakhir yang dapat saya usulkan adalah dengan merubah sistem algoritma di berbagai platform media sosial untuk memprioritaskan munculnya informasi-informasi yang mendukung adanya diskusi sehat.
Meskipun media sosial tidak bisa dikatakan sebagai satu-satunya penyebab fenomena polarisasi, media sosial pun telah berhasil menunjukkan betapa cepatnya informasi tersebar dan diterima oleh masyarakat dalam kegiatan politik yang pada akhirnya menyebabkan fenomena-fenomena polarisasi besar terjadi. Untuk memanfaatkan potensi positif yang dimilki media sosial, kita perlu membuat ulang rencana mengenai cara penggunaan media sosial yang benar, serta mendorong para pengguna untuk lebih kritis dan menjaga etika dalam bermedia sosial.
ADVERTISEMENT