Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Konten dari Pengguna
Bagaimana Regulasi Penyiaran Terhadap layanan Konten OTT (Over the top)?
3 Desember 2024 17:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rahmad Rafildi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era diigital saat ini, konten over the top (OTT) seperti Netflix, Disney+, dan platform streaming lokal semakin mendominasi cara masyarakat mengonsumsi media. Meskipun pesatnya pertumbuhan konten OTT menawarkan beragam pilihan yang menarik dan fleksibel kepada konsumen, hal ini juga membawa tantangan baru dari perspektif peraturan penyiaran. Peraturan yang tepat sangat penting untuk memastikan bahwa konten yang disediakan tidak hanya berkualitas tinggi tetapi juga bertanggung jawab secara sosial.
ADVERTISEMENT
Media penyiaran online yang belakangan ini berkembang pesat di Indonesia antara lain YouTube, Netflix, Disney+, dll. Meskipun YouTube adalah situs berbagi video yang terbuka untuk semua orang, YouTube adalah komunitas penerbitan video yang terbuka untuk semua orang dan memberikan peluang untuk memonetisasi unggahan video Anda. Artinya, di platform YouTube, orang-orang yang ingin membuat dan mengunggah video, yang disebut sebagai pembuat konten, bisa mendapatkan uang dari video yang mereka unggah dari platform tersebut.
Banyak influencer memanfaatkan orang untuk membuat konten dan mengabaikan empati. Konten tersebut tentu saja memuat materi yang mengangkat isu SARA dan beredar di internet, seperti kejadian di Yogyakarta baru-baru ini yang memaksa orang untuk mengenakan jilbab. Konten tanpa pengawasan ini kerap menimbulkan kontroversi publik. Bahkan tidak jarang barang-barang populer ditiru oleh masyarakat awam yang literasi digitalnya rendah.
ADVERTISEMENT
Pengelolaan KPI dilakukan untuk menghindari konflik yang dapat merugikan masyarakat, konsumen, perusahaan media, dan pemerintah akibat tayangan yang melanggar aturan atau tidak mengikuti etika penyiaran atau undang-undang KPI. Dalam menjalankan tugas, KPI tidak bisa diatur secara sembarangan. Ada pedoman yang mengaturnya. Semua program siaran yang tidak patuh dan berpotensi membahayakan diatur oleh Undang-Undang Penyiaran dan Etika Penyiaran, yang harus dipatuhi oleh perusahaan media.
Sementara itu, KPI untuk memantau media baru yang menggunakan layanan OTT atau over the top didukung oleh salah satu media arus utama tanah air. Pada tahun 2020, media multinasional mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. PT Visi Citra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) meminta agar KPI mengawasi layanan OTT atau layanan over-the-top seperti YouTube dan Netflix.
ADVERTISEMENT
Pada Agustus 2020, pemerintah menolak permohonan uji material oleh RCTI dan i-News. Penolakan ini didasari karena layanan OTT atau over the top belum tentu berasal dari lembaga penyiar. Berdasarkan hal tersebut, pengujian substantif terhadap UU Penyiaran tahun 2002 tidak dapat dilanjutkan. Beberapa pertimbangan uji materi tidak bisa dilanjutkan, poin pertamanya adalah OTT atau over the top bukan merupakan bagian penyiaran, karena pada dasarnya OTT bersifat Private dan ekslusif tidak sama dengan dengan penyiaran yang disiarkan pada umumnya. Kedua, penyiaran pada umumnya disiarkan secara serentak dan bersamaan kepada masyarakat, sedangkan OTT konten yang ditayangkan dan dikonsumsi sesuai dengan keinginan masyarakat. Dan terakhir, OTT sudah diatur oleh UU ITE atau undang-undang informasi dan transaksi elektronik, dalam UU ITE tersebut sudah jelas bahwa Kominfo yang berwewenang dalam mengatur dan mengawasi bahkan juga dapat memblokir undang-undang Telekomunikasi jika terkait dengan penyedia jaringan. Terkait hal itu maka tidak perlu adanya revisi dari undang-undang penyiaran nomor 32 tahun 2002.
ADVERTISEMENT
Dengan realitanya tidak dapat dipungkiri bahwa rata-rata setiap individu mempunyai ponsel atau HP (handphone), mereka dapat mengakses dan mencari bahkan mengunggah konten apapun, dimanapun tanpa ada regulasi yang jelas dalam layanan OTT. Siapapun yang terjaring kedalam internet dapat mengakses layanan OTT tanpa batasan yang jelas. Apalagi masyarakat Indonesia dalam keadaan rendahnya literasi digital, segala hal yang mereka dapat dari media rawan disebarkan dan dipercayai tanpa melihat kejelasan dari informasi yang jauh dari fakta. Fenomena-fenomena di media sosial tidak jauh mengerikan pada real life, mengakses konten-konten tidak sehat dan mendidik pun cukup massif dalam berbagai bentuk sajian pornografi atau porno aksi, baik yang datang dari luat negeri ataupun dalam negeri. Realitas tersebut didorong dengan makin membudayanya hobi mentwit, meng-share, mem-broadcast, meng-upload, meng-stalking dan lain-lain pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
KPI berencana memasuki bidang media baru dengan tujuan memenuhi kewajiban pengawasan penyiaran yang tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Sudah selayaknya frekuensi publik yang digunakan untuk penyiaran tetap dipertahankan, dilindungi negara, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat (KPI, 2017). Namun dalam Undang-Undang KPI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa KPI tidak mempunyai kewenangan atau wewenang untuk mengatur media baru. Oleh karena itu, ada kekosongan dalam memantau konten yang didistribusikan di media baru.
Penafsiran Pasal 1 Ayat 2 UU Penyiaran mengundang berbagai pendapat, dengan beberapa pendapat yang didukung oleh pejabat KPI. Terkait media, ekosistem media penyiaran tentu memerlukan regulasi dan pengawasan untuk memastikan tidak ada yang dirugikan, namun regulasi ini harus proporsional dalam artian kebebasan berekspresi tidak boleh dibatasi.
ADVERTISEMENT
Tanpa memperhatikan regulasi hukum, akan sulit bagi KPI untuk memantau dan membatasi media online dan streaming seperti YouTube dan Netflix. Selain itu, KPI juga dapat menata kembali Pedoman Praktik Penyiaran dan Standar Pemrograman Penyiaran (P3SPS), khususnya untuk memantau media baru. KPI terus beroperasi melalui jalur lain seperti edukasi dan siaran publik penuh, serta melaporkan konten digital apa pun yang dianggap melanggar kepada Kementerian Perhubungan dan Informasi Republik Indonesia (Kemkominfo RI). Namun, jika kita mengikuti jalan ini, pemerintah akan menjauhkan diri dari kita, sehingga menimbulkan citra negatif terhadap pemerintah.
Solusi terbaik untuk menyelesaikan polemik ini adalah dengan melakukan perubahan terhadap undang-undang terkait, karena seiring berjalannya waktu, dalam hal ini, di era globalisasi, lingkungan sosial masyarakat berubah semakin cepat. Namun perlu ditekankan bahwa pembatasan tersebut harus proporsional dan kebebasan berekspresi tidak boleh dibatasi.
ADVERTISEMENT