Konten dari Pengguna

Kode Etik Hanya Aturan Tertulis, Profesionalisme Jurnalis Patut Dipertanyakan?

Rahmad Rafildi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS ANDALAS, Padang, Sumatera Barat, Indonesia
6 November 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmad Rafildi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Profesionalisme menjadi salah satu kunci mengatasi permasalahan kode etik. (ilustrasi dari dok. pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Profesionalisme menjadi salah satu kunci mengatasi permasalahan kode etik. (ilustrasi dari dok. pribadi)
ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat, industri jurnalisme menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Maraknya berita bohong, hoaks, dan informasi yang terpolarisasi menuntut jurnalis untuk selalu menjaga profesionalisme. Namun, apakah etika jurnalistik sebagai sebuah kode etik sudah cukup untuk menjamin kualitas dan integritas jurnalisme? Dengan kata lain, adakah faktor lain yang mempengaruhi profesionalisme jurnalis?
ADVERTISEMENT
Salah satu diantaranya merupakan perkembangan teknologi ataupun media digital serta media sosial sekalipun. Pengaruh dari pesatnya media sosial saat ini berimplikasi pada kinerja jurnalis. Di sisi lain, media sosial memungkinkan informasi menyebar lebih cepat dan menjangkau khalayak yang lebih luas. Di sisi lain, kemudahan akses ini juga bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita bohong dan laporan palsu.
Etika jurnalistik menjadi landasan bagi setiap jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Aturan yang diatur di dalamnya seperti objektivitas, akurasi, dan imparsialitas menjadi pedoman dalam menghasilkan berita yang berkualitas. Namun kode etik hanya sekedar kerangka. Implementasinya di lapangan sangat bergantung pada kesadaran dan komitmen masing-masing jurnalis.
Kode etik pada dasarnya adalah aturan dan pedoman perilaku yang bersifat restriktif yang membuat perilaku satu pihak konsisten dengan harapan pihak lain terhadap inklusi sosial. Menurut Frankl, mengembangkan kode moral memiliki beberapa tujuan. Pertama, sebagai pedoman etika yang jelas bagi anggota organisasi profesi itu sendiri. Kedua, merupakan dokumen hukum yang membatasi perilaku anggota organisasi. Ketiga, kode etik akan melindungi anggotanya dari kejahatan atau penipuan. Keempat, kode etik merupakan struktur legitimasi yang memungkinkan organisasi menunjukkan cara kerjanya dan konsistensinya dengan norma-norma sosial.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan UU Pers No 40 tahun 1999 pasal 7 (ayat 2) yaitu “wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik”. Akan tetapi, pelanggaran etika tidak seperti pelanggaran hukum, tidak membawa konsekuensi langsung berupa hukuman penjara atau denda. Namun menurut Lukas Luwarso (2001), pelanggaran etika dapat berakibat fatal karena merusak kredibilitas jurnalis dan media serta menurunkan kepercayaan publik terhadap jurnalisme. Selain itu, pelanggaran etika pada akhirnya mempunyai konsekuensi hukum.
Persepsi terhadap kebebasan pers tidaklah unik. Beberapa orang menganggapnya positif, sementara yang lain menganggapnya negatif. Kebebasan pers bersifat positif karena berarti independensi pers terjamin. Situasi ini berkorelasi dengan upaya mewujudkan fungsi ideal pers sebagai “watchdog” sehingga benar-benar mewujudkan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Sisi negatifnya adalah dengan diperkenalkannya kebebasan pers, banyak media yang berkembang. Dengan perkembangan ini, ada kecenderungan banyak media mengabaikan profesionalisme. Misalnya saja penulisan laporan yang bersifat spekulatif dan tidak mengikuti standar etika. Akibatnya, fakta-fakta tersebut menimbulkan opini inferior terhadap kebebasan pers yang dianggap “terlalu berlebihan”. Media semacam itu dinilai merugikan masyarakat karena informasi yang disampaikan tidak berdasarkan kondisi obyektif dan dapat diverifikasi.
ADVERTISEMENT
Profesionalisme jurnalistik ditopang oleh tata kelola yang baik, kualitas organisasi pemberitaan, dan tentunya jurnalis yang menjunjung etika profesi. Rosihan Anwar (1977: 4) menguraikan lebih lanjut mengenai atribut karir yaitu otonomi, komitmen, keahlian dan tanggung jawab. Profesi jurnalistik berbeda dengan profesi lain yang bisa lebih mandiri, seperti notaris, dokter, atau pengacara. Jurnalis tidak bisa bekerja sendiri seperti ketiga profesi tersebut, namun bekerja di industri media. Itu sebabnya organisasi jurnalis profesional AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menyebut pekerja jurnalis berada di bawah tekanan perusahaan. Menghadapi kenyataan ini, AJI akhirnya memelopori pembentukan serikat pekerja yang dapat mendukung jurnalis dalam memerangi praktik-praktik korporasi yang mereka anggap merugikan sebagai pekerja.
Profesionalisme menjadi salah satu kunci mengatasi permasalahan kode etik. Hanya organisasi berita profesional yang dapat menghasilkan jurnalisme yang sehat. Tujuan utama jurnalisme adalah memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat agar bebas dan memiliki pemerintahan sendiri. Untuk menyelesaikan tugas tersebut, jurnalisme menganut sembilan unsur jurnalisme (Kovach dan Rosentiel, 2001: 6), yaitu (1) komitmen pertama jurnalisme terhadap kebenaran, (2) loyalitas pertama jurnalisme kepada publik, (3) Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, (4) praktisi harus menjaga independensi sumber berita, (5) jurnalisme harus berfungsi sebagai pengawas kekuasaan, (6) jurnalisme harus mencari kritik dan (7) dukungan dari masyarakat harus menyediakan forum publik agar berita menjadi inklusif dan (8) relevan, (9) harus memastikan bahwa mereka mampu mengikuti hati nuraninya. Kesembilan unsur jurnalisme ini termasuk dalam Kode Etik Jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Organisasi berita harus berusaha untuk mematuhi Kode Etik Jurnalisme dan memastikan bahwa anggotanya mematuhi Kode Etik Jurnalisme. Organisasi jurnalis profesional dapat melakukan berbagai upaya untuk menegakkan kode etik jurnalistik:
1. Membentuk Dewan Kode Etik yang independen untuk senantiasa memantau pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Majelis juga siap memberikan sanksi kepada anggotanya yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Penerapan kode etik harus senantiasa diawasi sehingga bersifat wajib bagi para anggota organisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bertens bahwa suatu kode etik dapat berjalan jika terus diawasi. Pelanggaran terhadap Kode Etik akan dikenakan sanksi berat oleh organisasi yang bersangkutan, dengan sanksi paling berat diantaranya dikeluarkan dari keanggotaan..
2. Secara rutin mengadakan pelatihan teknis dan etika jurnalisme bagi anggota. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk terus mengembangkan keterampilan anggota kami, baik dalam teknik jurnalistik maupun aspek etika. Jurnalis harus terus-menerus menegaskan kembali keterampilan dan etika jurnalistiknya. Sebaliknya, perusahaan media mungkin tidak mempunyai waktu untuk melakukan pelatihan, terutama jika perusahaan tersebut tidak besar.
ADVERTISEMENT
3. Ikut serta dalam memperjuangkan hak-hak anggota di lingkungan perusahaan tempatnya bekerja. Hak-hak tersebut berkaitan dengan kesejahteraan dan daya tawar dalam aktivitas jurnalistik. Jurnalis adalah profesi yang rentan, baik dalam pekerjaan mereka maupun dalam negosiasi dengan media tempat mereka bekerja. Badan profesional jurnalis harus memperjuangkan hak-haknya, terutama ketika mereka berada dalam posisi rentan. Perlindungan terhadap asosiasi profesi memperkuat loyalitas anggotanya terhadap asosiasi profesi dan memelihara kesadaran senantiasa akan kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik.
4. Asosiasi profesi jurnalis harus melakukan kegiatan sosialisasi, misalnya kampanye anti amplop bagi jurnalis, sebagai bagian dari upaya penegakan kode etik jurnalistik. Publisitas ini perlu diketahui secara luas oleh masyarakat agar mereka dapat memahami apa itu kode etik jurnalistik dan apa isinya. Dengan adanya informasi tentang Kode Etik Jurnalistik, masyarakat dapat turut serta memantau jurnalis dalam penerapannya.
ADVERTISEMENT