Masuknya Sastra Balai Pustaka di Indonesia

Rahmadayani
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Konten dari Pengguna
19 Mei 2022 19:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmadayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Foto Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Foto Pribadi
ADVERTISEMENT
Bagi seorang penulis dalam membuat suatu karya, perlu ide yang kreatif dan menarik sehingga dapat memikat pelanggan untuk dapat membaca buku yang mereka ciptakan. Namun, selain ide yang kreatif perlu juga memikirkan tentang penerbit buku yang mereka ciptakan. Balai Pustaka merupakan salah satu penerbit yang cukup terkenal pada masa tahun 20-an. Kesusastraan Indonesia yang modern terdiri dari berbagai angkatan seperti pada angkatan 20 disebut dengan angkatan Balai Pustaka, angkatan 33 disebut dengan Pujangga Baru, angkatan 45 dan angkatan 66. Kala itu Nugroho Notosusanto membagi periode sastra Indonesia menjadi dua yaitu bagian Sastra Melayu lama dan Sastra Indonesia Modern. Sastra Indonesia Modern yang terdiri dari masa kebangkitan yang terjadi dari tahun 1920-1945 yaitu pada periode angkatan 20, 30, dan 42, sedangkan pada Masa Perkembangan yang terjadi dari tahun 1945-sekarang.
ADVERTISEMENT
Maka Kesusastraan Indonesia Modern dapat dilihat pada tahun 1920 yaitu ditandai dengan berdirinya Balai Pustaka dan hadirnya karya sastra angkatan Balai Pustaka. Karya terbitan dari Balai Pustaka didominasi dengan pertentangan adat istiadat di Indonesia. Pada masa tersebut banyak sekali keresahan yang dialami pemerintah pada era Hindia Belanda karena banyak bermunculan koran-koran dan bacaan yang berkembang di masyarakat luas. Bacaan bacaan tersebut muncul karena banyaknya kritikan dan protes dari pihak bumiputra yang menentang kekuasaan Belanda pada era tersebut. Oleh sebab itu, kemudian didirikanlah "Commissie voor de Volkslectuur" (Komisi Bacaan Rakyat, KBR) yang dibentuk pada tahun 1908 yang kemudian berubah menjadi Balai Pustaka. Semenjak komisi bacaan rakyat didirikan mulai bermunculannya buku asing yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Munculnya buku asing tersebut ke Indonesia membuat pikiran rakyat Indonesia kala itu menjadi lebih terbuka.
ADVERTISEMENT
Pada tahun sekitar 1920-an, pengarang yang aktif dalam menerbitkan karyanya di Balai Pustaka akan disebut sebagai angkatan Balai Pustaka. Salah satu penerbit yang disebut sebagai angkatan Balai Pustaka adalah Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Marah Rusli, Muhammad Kasim, dan Merari Siregar. Angkatan tersebut biasanya juga disebut dengan angkatan Siti Nurbaya karena pada masa itu Marah Rusli yang merupakan karya sastra dari Siti Nurbaya merupakan karya sastra yang berada pada puncak pada masa tersebut. Novel karya Siti Nurbaya memiliki ciri khas yang berisi tentang kiritikan mengenai adat istiadat dan tradisi kaku yang terjadi pada masa tersebut.
Penulis yang masuk ke dalam angkatan Balai Pustaka didominasi oleh orang dari suku Minangkabau. Oleh sebab itu, karya-karya buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka sangat kental dengan budaya lokal dari Minangkabau. Angkatan Balai Pustaka pada umumnya juga bisa disebut sebagai angkatan 20-an. Pada masa tersebut karya novel angkatan 20-an didominasi tentang persoalan adat istiadat kaku, kebebasan individu yang terbelenggu, penindasan hak perempuan serta kesewenangan kaum tua (adat) terhadap kaum muda. Hal tersebut dapat terjadi karena pada masa tersebut persoalan itu sedang menjadi pembicaraan banyak orang.
ADVERTISEMENT
Walaupun saat itu Balai Pustaka cukup terkenal dikalangan masyarakat luas. Namun, Balai Pustaka merupakan lembaga kebudayaan milik Belanda yang saat itu sedang menjajah Indonesia. Oleh sebab itu, Belanda dapat memonopoli penyediaan bahan bacaan untuk masyarakat Indonesia kala itu melalui Balai Pustaka. Monopoli pada masa tersebut merupakan sesuatu yang penting karena pada masa tersebut banyaknya bermunculan buku bacaan terbitan swasta yang dikhawatirkan dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Strategi tersebut berhasil untuk memonopoli masyarakat Indonesia, terbukti dengan ketenaran penerbit Balai Pustaka pada masa penjajahan Belanda. Dampaknya banyak sastra yang diterbitkan di luar Balai Pustaka justru dicap buruk oleh masyarakat Indonesia.
Pada masa Angkatan Balai Pustaka sangat sulit mendapatkan buku bacaan bertemakan religius. Tema mengenai religius masih sangat kurang peminat bagi masyarakat Indonesia karena kalah saing dengan tema perselisihan adat istiadat kala itu. Padahal buku bacaan dengan tema religius sangat penting untuk pertumbuhan pola pikir masyarakat agar tetap setia berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwasanya begitu besarnya peran sastra dalam merubah pola pikir manusia zaman dahulu yang sudah dimonopoli bacaannya oleh pemerintahan Belanda.
ADVERTISEMENT