news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ulama, Tradisi Ilmu, dan Kita

Rahmad Kurniawansyah
Alumni Pondok Pesantren Modern Daar El Istiqomah Banten
Konten dari Pengguna
30 April 2023 15:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmad Kurniawansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Membaca dan menulis termasuk ajaran pokok Islam. Rasulullah telah memberikan uswah tentang urgensi tersebut. Ulama sebagai pewaris para nabi pun sudah memberikan teladan cemerlang terkait dengan esensi dari tradisi ilmu.
ADVERTISEMENT
Islam sangatlah kuat untuk terus memotivasi kita agar selalu mencari ilmu di manapun dan kapanpun. Penguasaan ilmu berperan sangatlah besar sebagai penentu kebahagian di dunia dan akhirat.
Sejarah adalah salah satu guru terbaik. Bukalah sekilas sejarah perang salib. Dimulai pada tahun 1905 dan pada tahun 1099, Yerusalem jatuh ke tangan pasukan salib karena pada saat itu umat Islam sedang dalam kondisi terpuruk di segala bidang aspek.
Sekitar 88 tahun kemudian pada tahun 1187 muncullah sosok seorang dengan jiwa keberanian yang tangguh serta kepemimpinannya yang dianggap dapat membebaskan Al-Aqsha dia bernama Shalahuddin Al-Ayub. Siapa Shalahuddin Al-Ayyubi? Dia adalah generasi baru, produk yang telah disiapkan oleh para ulama hebat seperti Imam Al-Ghazali.
ADVERTISEMENT
Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kita kepada keimanan dan amal yang benar, sedangkan ilmu yang salah akan menggelincirkan kita kepada kesesatan dan berujung kepada amal yang salah.
Ilmu yang rusak dan "ulama yang jahat" adalah sumber kerusakan bagi umat Islam. Mengapa demikian? Karena ulama sebagai cerminan umat Islam untuk dapat memberikan suatu kejelasan terhadap apa yang kita pelajari agar tidak terjadi penyimpangan di dalamnya.
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
Maka ingatlah ajaran Nabi Muhammad SAW. Bahwa Allah tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus terhadap manusia. Namun, Allah menghilangkan ilmu dengan mematikan para ulama.
Apabila para ulama sudah tiada, orang akan memilih orang "bodoh" sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, maka mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Sungguh mereka adalah orang-orang yang sesat dan menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Atas kewajiban kita untuk mencari ilmu agar kita tidak bodoh dalam bidang apapun itu dan dapat mengetahuinya, kita harus bisa memanfaatkan setiap waktu yang kita punya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya.
Selain pahala yang akan kita dapatkan dari mencari ilmu, ilmu yang telah kita dapatkan pun dapat menjadi landasan yang kokoh terhadap iman dan amal kita. Di titik inilah, nasib kebahagian kita dunia dan akhirat sangat ditentukan.
Dunia Islam tercatat banyak melahirkan cendekiawan hebat yang berkiprah di bidang tertentu yang diakui secara akademis di kalangan internasional. Misalnya Ibnu Rusyd di bidang filsafat, Ibnu Sina di bidang kedokteran, Ibnu Khaldun di bidang sosiologi, dan sebagainya.
Semua ini terjadi bukan lain karena beliau rajin dalam membaca dan lihai dalam menulis serta tidak pernah berhenti bahkan bosan sekalipun untuk selalu mencari ilmu pengetahuan yang belum mereka ketahui.
Ilustrasi seseorang yang sedang menulis. (Sumber: Pixabay)
Sebegitu kuatnya budaya membaca dan menulis dikalangan umat Islam, di masa lalu sampai ada yang tidak mengindahkan jabatan tinggi yang ditawarkan kepada mereka karena hal itu, mengharuskannya berjauhan dengan perpustakaan pribadinya.
ADVERTISEMENT
Padahal selama ini perpustakaan telah menjadi “surga” yang paling nyaman bagi dirinya sendiri. Sebegitu kuatnya budaya membaca dan menulis di kalangan umat Islam.
Di masa lalu sampai ada seorang istri yang belum paham tentang urgensi ilmu sampai dia mencemburui bukunya sendiri. Hal itu terjadi karena istri tersebut merasakan bahwa sang suami lebih mencintai buku-bukunya ketimbang dirinya sebagai istri—meski kenyataannya tidak sedramatis itu.
Kita patut untuk mencontoh dan melibatkan diri kita sendiri dalam setiap usaha hidup menghidupkan tradisi ilmu atau budaya ilmu di lingkungan kita masing masing.
Mulailah dari diri kita sendiri, lalu bergerak ke lingkungan terdekat hingga seterusnya. Jika itu sudah kita lakukan barulah kita optimistis bahwa kita adalah bagian dari umat terbaik yang berhak merasakan hidup di sebuah peradaban mulia, yang patut kita miliki.
ADVERTISEMENT