Konten dari Pengguna

Review Buku : Perempuan di Titik Nol

Rahma Siti Syahidah
Mahasiwa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di Universitas Islam Nusantara, Kota Bandung - Menulis puisi, cerpen, artikel, dan lainnya.
9 Desember 2022 13:58 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahma Siti Syahidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perempuan (sumber: https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perempuan (sumber: https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Kutipan di atas adalah sepenggal dialog dalam buku Perempuan di Titik Nol, sebuah novel yang ditulis oleh Nawal el Saadawi, seorang dokter dari bangsa Mesir, juga seorang penulis dengan karya-karyanya yang bersangkutan dengan memperjuangkan hak-hak perempuan, maka ia dikenal sebagai feminis dengan reputasi Internasional.

Novel Perempuan di Titik Nol ini diterbitkan pada tahun 1975, dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia, salah satunya Bahasa Indonesia. Membaca novel ini menghantarkan kita menjelajahi kehidupan Mesir pada zaman dulu dengan kebudayaan Arab yang kental akan patriarkal. Novel ini mengisahkan perjalanan seorang perempuan di tengah budaya patriarki yang sangat mendominasi, hingga peran perempuan benar-benar menjadi manusia kelas dua dan tidak mendapat kebebasan serta hak yang sesungguhnya.

Nawal el Saadawi menghadirkan sebuah cerita bagaimana perjuangan seorang perempuan Mesir untuk mendapatkan perubahan nilai, sikap, dan pandangan dari lelaki Mesir yang sepenuhnya belum terasakan. Lewat seorang tokoh perempuan bernama Firdaus, Nawal menguak kondisi perempuan yang sangat terbelakang, korban budaya yang ada, dan bagaimana lelaki berkuasa dengan semena-mena. Alur cerita yang dibawa Nawal begitu keras dan berani, mengandung protes terhadap perlakuan tidak adil dari dunia sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
• Firdaus, dan Semuanya yang Terjadi
Firdaus adalah seorang perempuan desa, yang telah didorong oleh rasa putus asa ke dasar jurang paling kelam. Ia ditampar perlakuan pahit dari dunia sekelilingnya, lika-liku kehidupannya begitu erat dengan jeritan pedih.
Semua berawal dari keinginannya untuk melanjutkan pendidikan yang tidak digubris sang Ayah juga pamannya yang saat itu sedang berkuliah di el-Azhar, Kairo. Ayahnya merupakan tokoh utama bagaimana budaya patriarki itu melekat sedari Firdaus kecil, seolah keluarga membentuk dirinya menjadi tidak berguna, inferior, dan hanya menjadi pelayan semata. Ibunya tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya nurut dan melayani apa yang suaminya perintahkan, dan itu membentuk diri Firdaus untuk patuh pada lelaki. Setelah orang tuanya meninggal, Firdaus tinggal bersama pamannya, dan dinikahkan dengan seorang lelaki tua yang kikir dan berperangai kasar, bernama Syekh Mahmoud. Dalam rumah tangganya, Firdaus kerap mengalami perlakuan kasar dari suaminya hanya karena dia seorang istri dan perempuan. "Pada suatu peristiwa ia memukul badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya pergi dari rumah dan pergi ke rumah paman." (Nawal el Saadawi, hal. 63)
ADVERTISEMENT
Diri Firdaus sebagai seorang perempuan membuat ia pasrah ketika suaminya memperlakukan ia dengan kasar dan semena-mena, karena di tengah budaya patriarki hal itu dianggap lumrah dan biasa. Sama halnya ketika ia melihat perlakuan ayahnya kepada ibunya saat dulu. Setelah mendapat perlakuan kasar dari suaminya, Firdaus memutuskan untuk pergi dari rumah, ia berharap akan mendapat pekerjaan dan hidup sendiri. Ketika dalam perjalanan itu, Firdaus bertemu Bayoumi, seorang lelaki yang baik dan perhatian, namun tidak disangka setelah itu Bayoumi menyetubuhi Firdaus dan tiba-tiba saja berperilaku kasar, seperti ayah dan suaminya dulu. Dari sinilah Firdaus bertemu dengan banyak lelaki yang silih berganti, menyetubuhi dan memberinya sejumlah uang.
ADVERTISEMENT
Sampai pada perenungan bahwa ia mengalami pelecehan seksual tanpa disadari, "saya melihat tangan paman saya bergerak-gerak dibalik buku yang sedang Ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya." (Nawal el Saadawi, hal. 20). Dari perlakuan inilah yang membentuk identitas Firdaus untuk menjadi seorang perempuan lacur. Bahwa dalam budaya patriarki, lelaki memiliki peranan besar membentuk tubuhnya menjadi pelacur.
Kutipan di atas adalah salah satu cuplikan dari jeritan Firdaus yang saat itu telah menjadi pelacur kelas atas di kota Kairo. Ketika menjadi pelacur sukses, ia memiliki kenalan orang-orang terpandang dari dalam maupun luar Mesir. Ia melayani seorang polisi, pengusaha, hingga wartawan. Namun pada suatu ketika, ada lelaki yang ingin menikahinya, dan lelaki itu merupakan seorang germo. Firdaus merasa enggan dan tidak enak hati, namun germo itu memaksa dan mengejar Firdaus ketika ia ingin pergi. Germo itu merasa geram, yang akhirnya mengeluarkan pisau ke arah Firdaus, tetapi Firdaus cepat menangkis lalu menancapkan pisau ke tubuh germo, dan Firdaus meninggalkan tempat kejadian itu. Firdaus memiliki semua rahasia di tangannnya, ia siap untuk menghancurkan semua topeng dan mengungkapkan segala hal terselubung di belakangnya. Ia dilaporkan oleh seorang Pangeran Arab, dibawa polisi dan dipenjarakan, lalu mendapat vonis hukuman mati dengan cara hukuman gantung, namun ia merasa bangga dan merdeka. Yang menurutnya, itu adalah jalan menuju kebenaran sejati. Ironis.
ADVERTISEMENT
Ia telah berani, mendobrak, dan menghancurkan kedok-kedok jahat di balik para lelaki penguasa. Maka, dengan bangga ia menerima vonis hukuman mati itu.
Akhirnya, Firdaus benar-benar dihukum mati dan menemukan kebahagiannya yang abadi.
Sebagai manusia, kita pasti pernah merasakan ingin menjadi manusia yang merdeka. Menjadi pribadi yang melakukan segala halnya sesuai dengan keinginan sendiri. Begitupun Firdaus, dalam novel ini, yang menginginkan hidup bebas dan mandiri. Namun, ia ditampar kenyataan pahit dalam hidupnya yang seperti itu. Dalam hal ini, untuk tidak mengulang kisah kelam seperti itu, diperlukannya kesadaran yang mendalam setiap manusia untuk menjadikan kehidupan ruang yang aman bagi siapapun. Perempuan dan lelaki harus berelasi baik untuk menentukan kehidupan baik kedepannya.
ADVERTISEMENT
Rahma Siti Syahidah, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UNINUS.