Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
HUT ke-78 RI: Saatnya Membongkar Mitos Sejarah dan Pesan dalam Max Havelaar
11 Agustus 2023 18:16 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Maheng tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepekan lagi, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2023 mendatang, tanah air kita, Indonesia akan merayakan momen bersejarah yang penuh makna: Proklamasi Kemerdekaan yang ke-78 RI.
ADVERTISEMENT
Sebagai satu-satunya negara di dunia yang meraih kemerdekaannya dengan menentang dan mengusir penjajah, Indonesia menjelma sebagai simbol ketabahan, semangat pengorbanan, dan perjuangan tanpa pamrih.
Sehingga ketika berbicara mengenai HUT RI dan kemerdekaan Indonesia, rasanya topik ini tak akan pernah kehabisan cerita. Terus muncul fakta-fakta baru yang mengungkap sisi unik dari perjalanan bangsa ini.
Sejak kita duduk di bangku sekolah, sering diajarkan bahwa Belanda menginvasi Indonesia selama 350 tahun, sementara Jepang memapas selama 3,5 tahun.
Debat mengenai durasi penjajahan Belanda seakan tak pernah mencuri perhatian dengan serius hingga Gertrudes Johannes (GJ) Resink mengangkat isu ini dalam karyanya yang monumental.
Kumpulan tulisannya yang berjudul "Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory" telah membongkar mitos seputar sejarah Indonesia. Terjemahan karya ini ke dalam bahasa Indonesia, berjudul "Bukan 350 Tahun Dijajah", membuka mata banyak orang terhadap fakta yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam karyanya, Resink menguraikan dengan teliti dokumen-dokumen hukum serta surat-surat perjanjian yang dimiliki oleh berbagai kerajaan di Nusantara.
Temuan-temuan dari penelitiannya pun mengarah pada suatu simpulan yang menarik, yaitu bahwa Indonesia sebenarnya tidak mengalami penjajahan oleh Belanda selama tiga setengah abad.
Jika kita menghitung mundur selama 350 tahun, maka akan menyiratkan bahwa Indonesia telah berada dalam cengkeraman penjajahan Belanda sejak tahun 1595.
Namun, pernyataan tersebut tidak valid, karena sejarah mencatat bahwa orang Belanda pertama yang menginjakkan kaki di Nusantara adalah Cornelis de Houtman, pada tahun 1596, di Banten, dengan tujuan berdagang.
GJ Resink juga mengemukakan bahwa terdapat beberapa daerah yang pada masa itu disebut sebagai negara-negara di Nusantara yang tidak dijajah oleh Belanda. Beberapa daerah yang berhasil melawan invasi adalah Gowa, Ternate, Bacan, Kutai, dan Riau.
ADVERTISEMENT
Faktanya, Indonesia hanya mengalami penjajahan selama sekitar 40-50 tahun yang dapat dihitung setelah Aceh dipaksa untuk menandatangani plakat pendek pada tahun 1904.
Meskipun durasi penjajahan masih diperdebatkan, fakta kekejaman yang terjadi selama periode kolonialisme adalah nyata dan telah direkam oleh berbagai pihak, mendapat kecaman dan kritik, termasuk pihak Belanda sendiri.
Salah satu kritik tajam yang terkenal berasal dari suara Eduard Douwes Dekker. Ia menggunakan nama pena Multatuli, dalam novel monumentalnya yang diterbitkan pada tahun 1860, berjudul "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij".
Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa, termasuk bahasa Indonesia oleh Inggrid Dwijani Nimpoeno dan diterbitkan oleh Qanita dengan total 480 halaman. Pada Februari 2022, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 22 kali.
ADVERTISEMENT
Eduard Douwes Dekker memilih nama pena Multatuli, berasal dari bahasa latin "multa tuli", berarti banyak yang aku sudah derita, untuk mewakili isi novelnya.
Dia memilih nama pena ini sebagai ungkapan dari kepahitan, penderitaan, dan kritik terhadap sistem kolonial Belanda yang ia tuangkan dalam novel "Max Havelaar".
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer bahkan memberi testimoni bahwa novel "Max Havelaar" memiliki peran penting dalam membuka pandangan banyak pihak terhadap berbagai bentuk penindasan dalam praktik kolonialisme.
Pramoedya dalam esainya berjudul "Best Story; The Book That Killed Colonialism" yang terbit di The New York Times Magazine pada 18 April 1999, mengklaim bahwa "Max Havelaar" adalah buku yang membunuh kolonialisme.
Pramoedya menjadikan landasan pernyataannya dari dihentikannya kebijakan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) dan digantikan dengan ethische politiek (politik etis) melalui program irigasi, edukasi, dan transmigrasi.
ADVERTISEMENT
Salah satu programnya adalah memberikan izin kepada pribumi untuk memperoleh pendidikan kolonial, meskipun hak istimewa ini hanya diberikan kepada pribumi bangsawan.
Melalui Politik Etis, yang salah satu aspeknya adalah memberikan kesempatan pendidikan kepada kaum Bumi Putera, akhirnya muncul kelompok terpelajar dari kalangan pribumi.
Hal ini akhirnya menjadi bumerang bagi kekuasaan kolonial Belanda. Dari kalangan kaum terpelajar ini muncul sejumlah aktivis pergerakan kebangsaan yang berjuang untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meski berbentuk roman, Max Havelaar yang menjadi tokoh utama sekaligus narator dalam novel ini sebenarnya tidak lain adalah alter ego dari sosok penulisnya, Eduard Douwes Dekker.
Havelaar dinilai oleh banyak pihak mampu menggambarkan dan menarasikan dengan kuat berbagai penindasan yang dialami oleh masyarakat pribumi pada masa itu.
Dalam diskusi pekan ke-61 Klub Buku Main-Main, kami membahas buku ini dalam diskusi bertajuk "Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Novel Max Havelaar karya Multatuli", di Kineta Coffee & Public Sphere pada Senin, 7 Agustus 2023 lalu, dan disiarkan secara langsung di Instagram @klubbukumain2 .
Sebelum masuk ke dalam cerita-cerita tentang kekejaman Belanda, bab 1 hingga 5 dari buku ini dimulai dengan memperkenalkan beberapa tokoh, termasuk makelar kopi Batavus Droogstoppel, teman kecil Max Havelaar yang bijak dan berpegang pada kebenaran serta kebaikan.
ADVERTISEMENT
Lima bab awal memiliki nuansa yang lebih filosofis, seperti kisah pemecah batu yang tetap relevan hingga hari ini.
Dikisahkan seorang pemecah batu memohon kepada malaikat untuk mengubah nasibnya setelah melihat seorang saudagar kaya yang memiliki kekuasaan. Namun, setelah melihat saudagar kaya tersebut, ia merasa ada yang lebih baik, yaitu menjadi raja.
Setelah menjadi raja, ia menyadari bahwa matahari memiliki kekuasaan yang lebih besar.
Kemudian, malaikat memutuskan untuk menjadikannya matahari. Namun, setelah menjadi matahari, ia merasa bahwa menjadi awan akan lebih menyenangkan. Malaikat juga memenuhi keinginannya dan mengubahnya menjadi awan.
Ternyata, hujan lebih menarik daripada sekadar awan. Malaikat lantas mengubahnya menjadi hujan.
Namun, ia masih tetap tidak puas. Setelah menjadi hujan, ia melihat bahwa ada sesuatu yang lebih kuat dari hujan, yaitu batu. Malaikat kembali mengubahnya menjadi batu.
ADVERTISEMENT
Namun, begitu menjadi batu, ia menyadari bahwa ada yang lebih kuat dari batu, yaitu pemecah batu itu sendiri.
Kisah ini menggambarkan sifat manusia yang sering merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya, selalu menginginkan lebih tanpa pernah merasa cukup.
Secara keseluruhan, terdapat empat lapisan cerita yang saling bertaut sepanjang novel ini, memberikan keberagaman dan dinamika sehingga menggugah pembaca.
Cerita dimulai dari sudut pandang makelar kopi Batavus Droogstoppel; kemudian, pengalaman anak pedagang kopi Jerman, Stern; selanjutnya, Max Havelaar yang menjadi perwujudan Eduard Douwes Dekker; dan akhirnya, mengisahkan kisah roman Saidjah dan Adinda yang teranyam di tengah lapisan-lapisan tersebut.
Salah satu bagian isi novel ini yang berkisah tentang nasib malang Saijah dan Adinda, sepasang kekasih dari kalangan rakyat jelata di Lebak yang menjadi korban kesewenang-wenangan kolonialisme dan birokrasi feodal pribumi yang menopangnya, menyentuh hati banyak pembaca.
ADVERTISEMENT
Multatuli memasukkan kisah Saidjah dan Adinda dalam novelnya untuk mengangkat isu agraria, terutama terkait penerapan pajak yang tidak masuk akal oleh pemerintah kolonial.
Rakyat dipaksa membayar pajak yang sangat tinggi, dan ketika mereka tidak mampu membayarnya, harta mereka disita, termasuk kerbau yang menjadi harta berharga bagi ayah Saidjah untuk membajak sawah.
Dampaknya sangat merugikan, ayah Saidjah tidak dapat membajak sawahnya sehingga terjebak dalam lingkaran hutang. Keluarganya terpaksa menunggak pajak berikutnya, dan akhirnya dipaksa untuk bekerja tanpa upah hanya untuk membayar pajak sebelumnya.
Bapak Saidjah dibawa ke Buitenzorg (Bogor) dan mengalami penyiksaan di sana.
Setelah itu, Saidjah meninggalkan kampung halamannya di Distrik Parang Kujang, untuk bekerja di Batavia dengan impian membeli kerbau seperti yang pernah dimilikinya sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Saat memutuskan untuk merantau, ia telah berjanji pada Adinda, seorang perempuan yang telah menjadi teman sejak kecil dan kelak menjadi kekasihnya.
Setelah kembali dari merantau dan berhasil membeli kerbau, kejadian serupa justru terjadi pada keluarga Adinda. Bapak Adinda menunggak pajak dan akhirnya memilih untuk melarikan diri, membawa Adinda bersamanya ke seberang pulau, yaitu Lampung.
Saidjah mendatangi Adinda di Lampung. Setelah bertemu di sana, Saidjah menemukan bahwa Adinda telah bergabung dengan kelompok pejuang. Di saat itu, Saidjah menjadi saksi bagaimana Adinda mengalami penyiksaan dan akhirnya tewas.
Kisah cinta Saidjah dan Adinda berakhir tragis setelah mereka berjuang melawan penindasan kolonial di Lampung.
Adalah Yosi Sulastri yang menjadi pemantik diskusi pada pekan ke-61 ini, ia mengkritik Pramoedya dengan mengatakan bahwa Pramoedya terlalu hiperbola dengan menyebut Max Havelaar sebagai buku yang membunuh kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Faktanya, kolonialisme tidak serta-merta berhenti setelah "Max Havelaar" terbit. Yang terjadi adalah perubahan sistem kolonialisme dari cultuurstelsel ke sistem politik etis yang sama-sama menindas.
Geger Riyanto, esais dari Institut Etnologi, Universitas Heidelberg, menulis artikel dengan judul "Multatuli Bukan Pahlawan Tanpa Cela". Dalam artikel ini, diungkapkan bahwa sejak awal, Multatuli tidak memiliki niatan untuk mengakhiri kolonialisme.
Bahkan, ia tidak menentang sistem penguasaan Belanda di wilayah jajahannya.
Geger Riyanto menjelaskan bahwa penulisan "Max Havelaar" tidak selalu berkaitan dengan niat idealistik. Sebaliknya, Multatuli menulis novel ini untuk keuntungan pribadi karena ia telah dicopot dari jabatannya dan mengalami kesulitan ekonomi.
Ia memiliki tekad untuk menjadi pengungkap informasi rahasia (whistleblower) sebagai bentuk protes atas perlakuan tidak adil yang dialaminya, merasa dipermalukan, dan berupaya mengembalikan kehormatannya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari sejumlah kritik yang ditujukan pada isi buku dan sosok penulisnya, tak dapat disangkal bahwa novel "Max Havelaar" karya Multatuli memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar kritik terhadap kekuasaan kolonial atau sistem feodal di Nusantara pada masa lalu, yang diungkapkan melalui bentuk sastra.
Selain itu, ia juga mengkritik manusia modern melalui cerita pemecah batu. Cerita tersebut menggambarkan bahwa penindasan, penjajahan, kolonialisme, dan bahkan imperialisme pada akhirnya berakar pada dua kata, yaitu "keserakahan manusia."
Oleh karena itu, novel ini cocok jadi daftar bacaanmu di bulan Kemerdekaan.