Konten dari Pengguna

Akhirnya Menikah, Pernikahan Beserta Segala Persiapannya

Rahmat Asmayadi
Pengguna Kumparan
18 Maret 2021 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Asmayadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Preweding Akad Via Photo Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Preweding Akad Via Photo Pribadi
ADVERTISEMENT
Long story short; minggu lalu, 14 Februari 2021, saya resmi menikah dengan Hanum.
ADVERTISEMENT
Katanya menikah itu semacam ‘naik tingkat’ dalam kehidupan, jadi wajar kalau sebelum naik kelas, ya ada aja ‘ujian’nya. Denger-denger sih begitu. Yang pasti kalau pusing-pusing menjelang hari H pernikahan karena disibukkan dengan berbagai persiapannya, itu wajar. Ngga perlu dianggap ujian kehidupanlah ya! sepertinya dalam segala sesuatu, termasuk pekerjaan pun yang namanya tantangan dan ujian kesabaran pasti ada.
Try googling ‘persiapan menikah’, then you’ll find a very long list of articles talking about ‘Persiapan Pernikahan yang Bisa Kamu Cicil Jauh-Jauh Hari’, ‘Inilah 25 Persiapan Sebelum Menikah yang Harus Kamu Lakukan’, ‘6 Bulan Persiapan Menjelang Pernikahan’, etc etc etc.
Fiyuuh, baca judulnya aja udah capek
Saya memutuskan untuk membuka salah satu web artikel yang disuggest oleh Google pada halaman pertama. Ada salah satu artikel yang menulis seperti ini;
ADVERTISEMENT
Waw, doktrin alert
Ya ngga sih? Sadar ngga sadar, di Indonesia, kita semacam dijejali oleh paradigma bahwa menikah itu sekali seumur hidup maka prosesi adat dan selebrasinya harus dipersiapkan dengan sangat matang, we have to make the most of it, and spread the joy with as many as possible. Apa iya, harus seperti itu? Tapi seliberal-liberalnya prinsip kita dalam menikah di Indonesia, rasanya tidak akan mudah untuk sebebas itu dalam ‘berkreasi’ dalam selebrasi pernikahan.
ADVERTISEMENT
Postingan blog ini bukanlah bertujuan untuk menceritakan proses selebrasi pernikahan aku dan Hanum, bukan juga untuk memberikan tips dalam mempersiapkan pernikahan dan memilih vendor. Aku memutuskan untuk menulis artikel ini, cuma untuk membagikan apa yang aku alami menjelang dan sesaat setelah pernikahan, yang mungkin juga dialami oleh sebagian besar muda-mudi tanah air Endonesa yang akan dan baru saja menikah. Again, ngga ada betul atau salah ya...
Kuncinya adalah Maintaining The Expectations
Jujur, beberapa tahun yang lalu, aku sempat berada di fase ‘kalau bisa menikah ya syukur, kalau ngga ya baiklah’. Mungkin hal inilah yang membuat aku tidak terlalu menaruh ekspektasi berlebih dalam selebrasi pernikahan.
Ketika orang tuaku bicara bahwa bagi mereka yang harus ada hanyalah akad dan runtutan prosesi adat Islam secara umum dan perpaduan Jawa, then saya dan Hanum langsung menyetujui, karena kami berdua pun ga pernah terbayang untuk ngadain acara resepsi besar untuk nikahan. Acara ini hanya acara kecil dengan kehadiran keluarga dan sahabat terdekat (yang tanpa undangan resmi, sudah bersedia hadir dan cuti kerja). Terlebih lagi, berdasarkan perhitungan tanggal weton Jawa yang disarankan (dan kami manut saja lah), pernikahan kami harus jatuh di hari Ahad, pelaksanaan resepsi juga jatuh di hari kerja (Selasa). Ditambah, mengadakan resepsi pernikahan di masa pandemi Covid-19 harus mentaati protokol kesehatan dan mempunyai izin keramaian atau hajatan. Semua serba dibatasi demi menjaga kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Baik. Selasa adalah hari keja.
Hahaha. Itulah mengapa aku sendiri cuma bilang ke beberapa teman ‘Resepsi nikahan aku di hari Selasa, plis banget jangan maksain dateng ya kalau kalian ada kerjaan di kantor atau tempat kerja yang ngga memungkinkan’. Jadi terima kasih banyak, bagi teman-teman yang sudah menyempatkan untuk hadir kemarin.
Dalam waktu yang cukup singkat (sekitar 4 bulan persiapan) dibanding dengan beberapa pasangan lain yang hendak menikah, mungkin tidak terlalu banyak 'pritilan' yang kami siapkan untuk hari H. Kadang ini juga yang membuat kita menaruh ekspektasi, supaya hasilnya at least harus sebanding dengan usaha yang kita keluarkan untuk persiapan. Ekspektasi ini dalam hal apapun ya, kelancaran acara, kesempurnaan hasil kerja vendor, ketepatan waktu, dan lainnya. After all esensi menikah yang seutuhnya adalah the fact bahwa kamu dan pasangan sudah ‘sah’ dan leveling up menuju kehidupan yang baru.
ADVERTISEMENT
Oh iya, maintaining ekspektasi juga termasuk untuk bersikap legowo, menerima input dan masukan permintaan dari berbagai sumber yang terlibat dalam acara pernikahan. Niscaya, langka sekali terjadinya pernikahan ala Indonesia yang segala sesuatunya bisa 100% ditentukan oleh kemegahan paket weding dan kemewahan lainnya. Kalau kamu termasuk salah satu dari kaum minoritas tersebut, bersyukurlah kalian.
Drama Menjelang Pernikahan Pasti Adaaa Aja. Mitos atau Bukan?
Saya dan teman mengajar yang memang dulu juga teman kampus. Sering kami lontarkan gurauan ketika sedang asyik bercanda di kedai kopi 'empangan' alias pinggiran: ‘Kusut banget pagi-pagi? Ayo Wayae-wayae? Lagi berantem ya? Kurang piknik ya?' atau ‘Pusing gue, masih ada aja yang belom kelar’. Ribut sama calon menjelang hari H? Kalo kata orang; ‘ya namanya juga diuji, sebelum berumah tangga‘
ADVERTISEMENT
Bayangin gini; kamu sehari hari udah repot sama kegiatan sehari-hari di tempat kerja, tiba-tiba ketambahan nih ngurusin kepanitiaan ‘pernikahan’, ngga cuma jadi panitia — terkadang sebagian juga berperan ganda menjadi donatur dan si acara. Belum lagi, di acara ini juga bisa melibatkan dua organisasi besar, yaitu keluarga kamu dan keluarga calonmu.
In a real life, kalo kamu baperan sama calon kamu bisa mempersulit situasi. Jadi kesimpulannya? WAJAR kalau ada drama yang tiba-tiba nongol. Kalau saya, case-nya adalah Hanum yang kalo ngomong kadang terlalu logis, dan saya lumayan lembek (tapi batu, nah gimana ya?). Bete-betean? Sempet. Untungnya ga sampe berjam-jam. At the end, TRUST ME; sama-sama sadar aja lah kalau ini cuma bawaan capek aja, dan masih banyak hal penting yang harus dilakuin ketimbang nurutin drama.
ADVERTISEMENT
Yang ngga kalah penting adalah: STOP second guessing, macem gini: ‘is she/he the one? Kok menjelang nikah malah ragu karena banyak ribut?’ — Bokk, coba look back! Apa aja yang udah kalian lalui sampai akhirnya kalian ada di titik ini sekarang? Ribut menjelang pernikahan seperti rasa cemburu, curiga yang membabi buta atau kadang cuma macem jerawat hormon menjelang haid. Ngga usah dipecahin, setelah hari H juga ntar ilang sendiri.
Hindari Peer Pressure
Pernikahan adalah peluang bisnis yang menggiurkan di negeri kita. Kita patut berterimakasih pada teknologi yang mempermudah kita untuk mengakses portal-portal referensi pernikahan seperti Bridestory dan sejenisnya. Bayangkan kengasalan saya, ketika saya memutuskan untuk mencari dan memilih vendor untuk dekorasi nikahan. saya kemarin dari hasil stalker Instagram wkwk, syukurnya semua berjalan aman dan lancar.
ADVERTISEMENT
Vendor MUA, designers, photographers, dan lainnya pun amat sangat mudah kita temukan di Instagram. Tapi coba, jangan putuskan segala sesuatunya cuma karena peer pressure ya.
Ada cerita dari temen calon aku yang menikah beberapa tahun lalu, dan ketika kita berbincang soal kebaya pengantin, salah satu mengaku bahwa harga MUA di salah satu vendor ternama senilai 25 juta, salah satu teman pun berujar ‘mahal banget.
Yes, betul-betul ga ada standarnya untuk soal perbudgetan nikahan. Sesuaikan aja sama keinginan dan kemampuan serta kerelaan kamu untuk spend berapa. To be frankly, untuk vendor resepsi dirumah aku, in total saya keluar uang ngga sampai 20 juta!
Kenapa bisa murah? Karena saya ngga mau pakai payet. Dan bagi saya, vendor nikahan cuma dipakai super sebentar, jadi ya udah mending saya larikan dananya untuk hal yang lain.
ADVERTISEMENT
Asliii, dari awal saya kepikiran cuma mau gaya sederhana saja. Waktu awal memutuskan untuk memilih baju dengan model seperti apa? Mengenakan kebaya atau tidak, setelah calon aku hanum stalker di instagram di salah satu vendor mengenai kostum yang pas dan cocok, kalau aku mah lebih yang pas dengan aku dan hanum senang, cukup. Its oke, tak mau ribut soal urusan pilihan baju. Akhirnya saat fitting final, saya pun puas dengan hasilnya.
Bahkan mengenai fotografer pun, semua juga serba bertepatan. Dulu pernah sih, ketika sedang mencari refrensi untuk hasil fotografer yang bagus dengan budget 1 jutaan dapat hasil yang memuaskan. Dan ternyata fotografer yang saya inginkan, sudah koleb dengan vendor MUA yang di kenakan Hanum. Ya, meski dirasa jadi booking fotografer secara mandiri memang lebih mahal dibanding weding paketan. At the end, ini soal pilihan dan preferensi. Ngga ada benar atau salahnya. Jangan sampe peer-pressure ya ketika mempersiapkan segala sesuatu terkait pernikahan.
ADVERTISEMENT
Nurutin Insta-worthy Wedding Trend, Worth It Ga Sih?
Iya, paham, buibu pak bapak, bahwa Instagram adalah sebagian dari nyawa. Sebagai salah satu momen terpenting dalam hidup, yakin banget kalau pernikahan, maupun pre-weddingnya, sampe post-wedding or honeymoonnya sebisa mungkin bisa kita jadiin Insta-material
All hail masa-masa kejayaan, di mana engagement rate konten Instagram terkait lamaran dan pernikahan menjadi yang paling tinggi. Mana suaranya yang posting pas poto latar biru di Instagramnya? Hehe...
Adanya tren Instagram yang visual banget ini akhirnya cukup menggeser anggapan bahwa selebrasi pernikahan itu not only to impress tamu undangan yang hadir, namun juga para netijen sejagat maya. Akhirnya muncullah banyak request macam ‘Dekornya harus yang rustic-rustic Instagramable ya,’ atau ‘Foto prewednya udah bisa diminta soft filenya satu duluan ngga? Buat update Instagram nih,’. Which is sangat wajar dengan adanya kebutuhan trend ini.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi masalah adalah ketika sadar ngga sadar, kita jadi idealis, dan maunya harus mengikuti trend ini. Akhirnya kita "aim for perfection, of the Insta-worthy wedding". Jujur, kadang kita perlu realistis dan menggeser idealisme kita dalam berbagai hal, termasuk juga dalam selebrasi pernikahan.
Janji yaa, ketika ada suatu hal yang akhirnya membuat rencana kita tidak sesuai harapan, ya jangan drop. Contohnya adalah cerita sahabat saya, yang dateng ke sebuah nikahan, dengan dekor outdoor wedding yang super Instagramable — lalu sepanjang acara diguyur hujan deras. Sedih pasti lah. Tapi at the end, bukannya yang paling membuat kita bahagia di hari H adalah ke-absah-an kita dengan pasangan, di atas segala-galanya?
Jaga Kesehatan Ngga Kalah Pentingnya dari Jagain Vendor
ADVERTISEMENT
Trust meeee, kalo mau ga pusing sama nikahan, maintain ekspektasi itu penting! Jangan terlalu idealis, percayalah kesempurnaan itu hanyalah milik Yang Maha Esa. Jadi jangan dibawa stres ya perfeksionisnya.
Saya paham betul perasaan stres dan cemas ketika mempersiapkan pernikahan, apalagi untuk yang pada dasarnya selalu aktif dan ga bisa tinggal diam. Saya sempat agak stres menjelang pernikahan, karena sedang banyak pikiran juga di luar persiapan pernikahan, which mostly hanya karena kecemasan saya sendiri. Sering banget breakout mulai dari tiba-tiba nangis, jerawat keluar, sampai rambut memutih pun saya alami hueheue. Agree, kalau stressed out dan anxiety segitu ngefeknya dengan kesehatan. Nah, meski kita mati-matian nyiapin acara dan jagain vendor, jangan sampe kesehatan tubuh ini jadi sesuatu yang taken for granted ya.
ADVERTISEMENT
Tentang Bulan Madu, Baiknya ke Mana sih?
Sebelum kami memutuskan destinasi honeymoon, saya sempat ngobrol dengan beberapa teman terkait rencana honeymoon. Ada beberapa paham;
‘Honeymoon mesti quality time, cari tempat romantis, kayak Maldives gitu,’
‘Kayaknya gue oke aja deh kalo honeymoon gue nanti cuma di Batu - Malang, staycation, yang penting bareng,’
‘Honeymoon gue mau wujudin keinginan calon gue, dia pengen banget ke Jogjakarta,’
Baik.
Beda-beda betul? Ngga ada yang kasih standar kok honeymoon itu harus ke tempat seperti apa. Atau kalau belum berkesempatan untuk honeymoon setelah menikah? Ya ngga apa-apa juga, you have the rest of your life!!
Saya dan Hanum sempat berpikir bodoh. Kami berencana untuk roadtrip Malang dan sekitarnya (apeee?) untuk honeymoon kami. Tapi tentu saja niat ini diurungkan karena kebayang ngga sih, gempornya kayak apa nyetir motor? Bulan madu apa bulan Ramadhan, kok kayak mudik?
ADVERTISEMENT
Baiklah, lalu niat bergeser final jadi ke Jogjakarta. Beli tiketnya sekitar satu bulan pasca menikah. Impulsif, terlihat masih expired pula. Ya, mentaati tradisi jawa agar tak keluar lebih jauh bagi kemantin baru.
Jujur setelah menikah kami harus menabung, hehehe (ini juga penting! habis nikah jangan habis-habisan buat pesta dan bulan madu ya, yang di depan lebih challenging dan we’ll never know what will be happen), jadilah kami rencana ke Jogja. Surprisingly we fell in love with Jogja! Karena semua di sana relatif murah meriah, liburan kita jadi lumayan berasa fancy hehe. Percaya deh, ngga ada guideline dalam memilih destinasi bulan madu. Sesuaikan dengan destinasi favorit kalian berdua, selama waktu dan budgetnya pas, then go ahead!
ADVERTISEMENT
Inhale, Exhale; This Too Shall Pass
Weding outdoor - By Sam Kevin Photography
Ujung-ujungnya, ya kalimat ini yang terus jadi pegangan saya selama menjelang hari H. ‘Yaudahlah ya’. Kalau ada yang tanya ‘Gimana perasaannya? Deg-degan ngga? Ga sabar ya?’, saya cuma menyahut ‘Ga sabar kelar persiapan dan acaranya aja sih,’.
Seperti apa rasanya setelah proses selebrasi pernikahan selesai? Rasa syukur. Serius, hal-hal yang dipusingkan atau diributkan menjelang persiapan pernikahan itu langsung ngga ada artinya dalam sekejap.
Gini deh, kalo dalam proses persiapannya, kamu ngerasa capek dan stres banget, coba inget-inget perjalanan kamu dan pasangan sampai kamu bisa sampai di tahap ini. Coba inget juga, do'a dulu yang kamu panjatkan kepada Tuhan untuk mendekatkan kamu dengan jodohmu, sekarang sudah di depan mata jawabannya.
ADVERTISEMENT
At the end, the fact that you’re married to someone you love is the real celebration of life. Just don’t let small stuff ruin your happiness! Congratulations for all of us.