Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ngerinya Erupsi Cataclysmic Gunung Tambora
28 April 2020 20:07 WIB
Tulisan dari Rahmat Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1815 adalah masa yang sangat kelam bagi Indonesia, bahkan dirasakan pula di seluruh dunia. Hal ini karena adanya letusan maha dahsyat dari Gunung Tambora. Gunung Tambora adalah gunung yang terletak di Nusa Tenggara Barat tepatnya melingkupi Kabupaten Dompu dan Bima.
ADVERTISEMENT
Jejak yang tersisa saat ini hanyalah kaldera dengan diameter kurang lebih 6 x 7 km serta aktivitas yang tergolong sedang-lemah di sekitar dasar dinding kaldera berupa asap fumarole dan solfatara (PVMBG).
Sejarah Erupsi
Sebelum terjadinya letusan paroksimal dengan skala VEI 7 dari Gunung Tambora, tidak ada aktivitas erupsi yang terekam, hanya adanya asap tebal di bagian kawah pada tahun 1812 (Zollinger, 1855 dalam PVMBG). Berdasarkan catatan sejarah PVMBG terjadi letusan yang luar biasa dahsyat pada tahun 1815 yang diawali dengan kepulan asap hitam yang tebal beberapa minggu sebelumnya.
Diawali pada tanggal 5 April 1815, terjadi suara gemuruh yang berulang dari puncak Gunung Tambora. Suara ini bahkan terdengar hingga Jakarta dan Ternate. Hingga puncaknya yaitu terjadi letusan paroksimal pada tanggal 10-11 April 1815. Aktivitas Gunung Tambora setelah letusan paroksimal masih berlangsung hingga tahun 1913 yang menghasilkan lelehan lava, letusan terakhir ini juga membentuk kawah Doro Api Toi (PVMBG).
Kehidupan Masyarakat Tambora Tahun 1815
Jejak jejak kehidupan masyarakat Tambora sebelum terjadinya erupsi terekam pada Situs Tambora yang terletak di Barat Laut Gunung Tambora. Geria (2015) mengungkapkan bahwa ditemukan beberapa artefak berupa aksesoris cincin permata, keramik, gelang, koin Eropa, gagang senjata dan bandul berukuran besar. Berdasarkan temuan artefak dan ekofak, Geria (2015) menyatakan bahwa Situs Tambora merupakan wilayah yang sebelumnya subur dengan pola linier, dan kehidupan masyarakatnya memiliki peradaban yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Penelitian terhadap situs peninggalan erupsi Tambora dilakukan untuk mengetahui gaya hidup masyarakat sebelum letusan. Berdasarkan penelusuran arkeologi, diketahui bahwa mayoritas kehidupan masyarakat Tambora adalah bertani dan berburu serta kebiasaan menyirih.
Ditemukan pelana kuda, keris dan beberapa perhiasan sepeti cincin dan gelang. Selain itu ditemukan pula peralatan harian seperti piring, periuk, tempayan, pasu, dan mangkuk yang terbuat dari bahan tembikar dan keramik. Bahkan ditemukan keramik aksen Eropa dan Cina pada abad ke-19 (Wibisono, 2017).
Dahsyatnya Letusan Tambora
Dunia sepertinya tidak dapat melupakan sejarah letusan Tambora yang telah merusak seluruh tatanan kehidupan di Pulau Sumbawa, serta memberikan dampak kelaparan hingga ke Belahan Bumi Utara akibat kelaparan karena gagal panen. Oppenheimer dalam Wibisono (2017) memperkirakan erupsi Tambora 1815 telah mengeluarkan 140 giga ton material dari dalam perut Bumi di mana lebih dari 95 persen massa letusan adalah aliran piroklastik dan 40 persen massa materi adalah abu.
ADVERTISEMENT
Erupsi Tambora yang terjadi pada bulan April bahkan mengubah iklim dunia sehingga tidak ada musim panas di belahan Bumi Utara yaitu Benua Eropa karena material abu yang menutupi lapisan atmosfer. Hal ini menyebabkan terjadinya gagal panen yang berakibat pada kelaparan akut di berbagai daerah, bahkan di Pulau Sumbawa terjadi gagal panen selama 5 tahun akibat tebalnya endapan abu vulkanik (Wibisono, 2017).
Letusan Tambora ini bukan hanya memberikan dampak akibat erupsi magma, tetapi juga memberikan dampak bencana lainnya. Seperti kelaparan, wabah penyakit, tsunami dan bencana lainnya di mana total korban akibat bencana ini kurang lebih 70.000 jiwa (Romadhonny, n.d.).
ADVERTISEMENT