Jalan-Jalan ke Puncak Karma

Frendy pratama
Mahasiswa baru Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Budaya prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sekaligus Penulis lepas yang mengisi waktu luang dengan berkencan bersama tulisan
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2022 22:12 WIB
comment
47
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frendy pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rekreasi kali ini sudah harusnya jadi ajang bagi diri untuk menjalin kasih, namun bukannya kasih malah kisah traumatis yang terukir di hati. Mungkin memang sudah selayaknya aku mendapatkan karma ini. Bahkan satpam sekolah pernah berkata tragedi tidak akan terjadi kalau bukan untuk membayar konsekuensi. Kejadian yang aku alami ini adalah konsekuensi akan sebuah pelanggaran yang diwujudkan melalui tragedi.
ADVERTISEMENT
Berawal dari kesengajaan membuang jamban di pinggir jala. Meskipun sudah diingatkan oleh teman, namun perut ini tak bisa diajak toleransi dan memaksa untuk mengeluarkan kotoran yang tersisa. Semua harus dibayar dengan kekacauan yang terjadi selama perjalanan rekreasi sekolah. Jalannya rekreasi baik-baik saja sampai ban dari bus ini pecah begitu saja tanpa mengabari ataupun memperingati penumpang di dalam. Sontak saja kami yang berada di dalam kaget berhiaskan rasa kesal dalam hati dan makian indah yang terucap begitu saja.
Belum cukup dengan kejadian itu. Makian yang beberapa murid lontarkan mendapat teguran keras dari guru pengawas.
“memaki keadaan karena kesal tak bisa memperbaiki pot bunga yang sudah pecah begitu saja. Apa yang kalian lakukan sungguh tindakan tidak bermoral dan jangan jadikan masalah pecah ban sebagai pembenaran,” ucap Pak Tio, sang guru olahraga di sekolah.
ADVERTISEMENT
Muka berseri silih berganti jadi muka melas tanpa harapan. Melihat kernet dan sopir memperbaiki ban dari bus yang kalau dikata sudah tak bundar lagi penampakannya.
“Ah, sial, harusnya aku membantu ayah bekerja di ladang ketimbang luntang-lantung di pinggir jalan,” ucap Jamal.
“Alasanmu ingin membantu di ladang. Padahal kau hanya ingin uang jajan tambahan,” balas Farhan yang tentu tak bisa memperbaiki keadaan.
Diam dan mengamati, hal itu kulakukan ketimbang memberi komentar tak jelas tentang keadaan. Muka melas jadi makin lemas ketika murid lain tahu jika sopir bus dan kernetnya lupa membawa ban cadangan hari ini. Mau mendorong pun jarak tambal ban dari sini jauh agaknya. Tak mungkin juga mendorong bus ini beramai-ramai mencari tambal ban yang tak jelas arahnya di mana. Hancur sudah rekreasi indah ini, karena sisanya nanti hanya menikmati gelap malam di tengah jalan yang kanan kirinya hutan. Untungnya tidak sendirian.
ADVERTISEMENT
Pak Tio dan beberapa guru sudah mencoba untuk memberi harapan dengan mencari bantuan lewat telepon genggam, namun siapa sangka yang banyak terjadi pada adegan di film-film ketika seseorang tersesat di hutan dan tak ada sinyal kini terjadi pada kami. Sehingga bantuan yang diharapkan tak kunjung datang. Kini pilihan kami yang sudah batal rekreasi dan dihiasi dengan muka melas ini, hanya berjalan tanpa tujuan berharap mendapat bantuan dari pengguna jalan. Tapi sepertinya pengguna jalan juga menolak keluar karena kabut tebal yang menghampiri jalan.
Hari itu kabut tebal datang, karena tempat yang aku dan semua murid lewati untuk rekreasi merupakan jalan tanjakan menuju ke salah satu gunung wisata yang cukup terkenal di daerah ini. Kalau saja keringat mengalir cukup deras setidaknya hal itu bisa menyehatkan bagi tubuh kami. Namun karena hawa dingin di sekitar, bahkan keringat enggan keluar dan lebih memilih untuk menghangatkan diri di dalam pori-pori. Dinginnya suasana didukung dengan hangatnya sinar mentari yang mulai pudar. Pertanda malam akan datang.
ADVERTISEMENT
“kok, tiba-tiba sudah malam saja. Bukannya barusan ayam masih berkokok kencang tak lama sebelum ini,” Ucap Jamal.
“Itu karena kau tidur terus sedari tadi Seakan mimpimu tak ada pucuknya. kau tidur sejak awal perjalanan Sampai bus ini melantangkan letusan ban dengan kencang,” Sahut Farhan yang tak peka dengan kalimat penghangat suasana dari Jamal.
Kesal dengan keduanya yang saling melantunkan guyonan dalam keadaan segenting ini. Murid-murid lain memasang muka masam sambil melihat keduanya. Berharap mereka sungkan dan akhirnya diam. Namun semakin ditatap kedua anak itu semakin syahdu berbincang. Yang aku lakukan hanya diam dan menatap kosong ke jalan dan berpikir apakah hal sial yang terjadi ini akibat aku melanggar peringatan yang jelas terpampang dengan tulisan “dilarang buang air di pinggir jalan”.
ADVERTISEMENT
Sepertinya benar kalau kekacauan ini terjadi karena aku melanggar peringatan. Tak lama setelah dua mitra Jamal dan Farhan berbincang. Tiba-tiba yang tersisa di jalan panjang ini hanya aku bersama duo Jamal-Farhan dengan tampang sangat kebingungan. Padahal sebelumnya masih ramai murid-murid lain di sekitar. Pak Tio guru olahraga, supir bus dan kernetnya, semua sirna dan menghilang tiba-tiba.
“Eh, eh, semua kok tiba-tiba semua hilang. Tak memberi kabar dan sirna begitu saja. Apakah mereka sudah menemukan tumpangan dan pergi begitu saja tanpa mengajak kita,” ucap Jamal yang gelagapan.
“Sebentar, di depan kita masih ada Pak Tio dan Bu Siti, payah kau ini, tak mungkin mereka hilang begitu saja kan. Ucapanmu tadi seakan mereka hilang tiba-tiba diambil ufo,” ucap Farhan yang masih tak peka dengan keadaan.
ADVERTISEMENT
Mereka tak menyadari keberadaan dari ragaku yang tepat berada di belakang keduanya. Aku memang jarang punya teman kecuali murid-murid kelasku sendiri. Jika sudah beda kelas seperti mereka berdua, beda lagi ceritanya. Meskipun aku tau nama mereka berdua, tapi sekedar tau saja tak bisa memperbaiki segalanya. Terlebih setelah sempat terpejam beberapa saat. Mereka berdua ikut pupus mengikuti yang lainnya. Meninggalkan aku bersama sunyinya hutan dan jalan raya.
Tanpa tahu arah dan terus berjalan saja. Aku diam dan terperanjak sebentar ketika melihat bayangan di kiri dan kanan jalan. Bayangan dengan banyak durja serta rupanya itu tak ada yang mengganggu. Mereka hanya diam memperhatikan tanpa ambil pusing maupun ada niatan untuk memberi tumpangan. Justru aku yang berjalan sendirian saat ini merasa terganggu dengan banyaknya insan yang memperhatikan. Masih lebih baik kalau insan yang nyata, bukannya insan yang tak ada wujudnya.
ADVERTISEMENT
“Ribuan kilo Jarak yang kau tempuh. Lewati rintang tanpa aku...”
Kutipan lirik yang kunyanyikan saat sendirian kala itu. Liriknya sengaja aku berhentikan di akhir kalimat agar setidaknya “mereka” yang melihat ada yang menyahuti serta menyambung liriknya. Sayang seribu sayang, sepertinya para bayangan itu tak tahu lanjutan dari penggalan lirik dari lagu yang kunyanyikan. Cara pertama gagal untuk cari perhatian, kini cara kedua yang kuandalkan yaitu Berlari kencang dari kenyataan.
Dengan laju dan bobot tubuh yang cukup ringan. Tubuh ini bisa dibawa berlari cukup kencang, meskipun tak banyak mengubah keadaan. Penampakan di sekitar seakan ikut berlari mengikuti meskipun tak terlalu terlihat karena tebalnya kabut malam ini. Sambil berlari dan merasakan hawa dingin menusuk pori-pori, aku sedikit menoleh kanan-kiri dan sesekali ke arah belakang. Jelas terlihat sosok hitam yang terlampau besar beradu tatapan dengan mataku, meskipun sebentar dan sekejap mata. Hal itu cukup membuat langkah kakiku terhenti dan hilang kesadaran seketika.
ADVERTISEMENT
Terbangun dengan menyadari tatapan dari banyak orang di sekitar juga jadi trauma tersendiri di cerita rekreasi ini.
“Akhirnya sadar juga, akibat melamun ya seperti ini jadinya. Lain kali kalau jalan paling belakang jangan asyik melamun sendirian. Malah di gondol setan kan,” komentar Pak Tio yang menunjukkan tak adanya simpati sama sekali.
Kelanjutan dari peristiwa tadi malam aku tak tahu seperti apa lengkapnya, maupun akhirnya bagaimana hingga aku bisa berada di posisi seperti ini. Tapi sepertinya kalau dipikir secara luar nalar. Peristiwa malam tadi seperti distorsi dimensi antar dunia nyata dengan dunia astral. Namun karena aku ini orangnya realistis. Pikirku tadi malam mungkin hanya halusinasi semata yang Sepertinya efek dari kelelahan setelah berjalan seharian. Setidaknya pikiran seperti itu masih bertahan sampai aku menyadari kalau korbannya bukan aku sendiri. Jamal dan Farhan juga mengalami, yang artinya tak mungkin halusinasi sama dialami tiga manusia begitu saja.
ADVERTISEMENT
Melalui semua yang aku alami kesimpulan yang dapat diambil dari kejadian semalam adalah. Kejadian ini merupakan distorsi antar dimensi astral dan nahasnya menimpa 3 orang murid SMA atau kalau diistilahkan secara sederhana. Kata “distorsi dimensi astral” artinya serupa seperti dicolong wewe.
Inilah konsekuensi yang aku singgung di awal tadi. Akibat membuang jamban sembarangan rekreasi hancur berantakan. Dua murid menghilang dan satu lagi gelagapan karena melihat banyaknya dedemit di sekitar. Sehingga Bisa aku akui kalau karma itu benar adanya dan tak hanya berlaku pada makhluk di dunia fana.