Konten dari Pengguna

Kudeta 30 September 1965 Dalam Perspektif Lintas Generasi

Frendy pratama
Mahasiswa baru Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Budaya prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sekaligus Penulis lepas yang mengisi waktu luang dengan berkencan bersama tulisan
28 September 2023 16:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frendy pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kudeta 30 September
Peristiwa kudeta 30 September 1965 dilakukan oleh kelompok yang menamai diri mereka Gerakan 30 September. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa kelam bersejarah di Indonesia yang terjadi pada tanggal 30 September tahun 1965. Peristiwa ini melibatkan kudeta militer yang berujung pada penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno dan penangkapan dalang di balik kudeta ini, yaitu anggota Partai Komunis Indonesia atau PKI. Peristiwa ini telah lama menjadi topik
Ilustrasi demo memperjuangkan Hak Asasi Manusia, sumber : https://www.freepik.com/free-photo/crowd-people-with-raised-firsts-protesting-human-rights-city-streets_26391254.htm#query=activist&position=2&from_view=keyword&track=sph
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi demo memperjuangkan Hak Asasi Manusia, sumber : https://www.freepik.com/free-photo/crowd-people-with-raised-firsts-protesting-human-rights-city-streets_26391254.htm#query=activist&position=2&from_view=keyword&track=sph
hangat dalam sejarah Indonesia dan selalu menjadi sumber perdebatan yang tajam. Namun, apa yang dikatakan oleh generasi muda di masing-masing periode mengenai peristiwa tersebut? Dalam artikel ini, akan dijelajahi perspektif yang berbeda dari generasi yang hidup pada masa tersebut dengan generasi muda yang terlahir beberapa dekade setelahnya.
ADVERTISEMENT
Perspektif Generasi yang Hidup Pada Masa G30S/PKI
Salah satunya adalah Mudjiati, seorang wanita muda yang menjadi anggota aktif Gerwani sekaligus saksi hidup dari propaganda pemerintah orba. Seminggu setelah peristiwa pemberontakan PKI, Mudjiati langsung ditahan tanpa pengadilan ketika usianya masih 17 tahun. Pada awalnya pemerintah orba berdalih hanya menahan Mudjiati untuk ”dimintai keterangan” dan dilakukan ”paling lama dua jam”. Namun pada kenyataannya, alih-alih 2 jam, Mudjiati baru merasakan udara bebas pada desember 1979, tepat 14 tahun setelah ia mendekam di jeruji penjara. Hal itu terjadi karena, Mudjiati menolak tuduhan tak berdasar pemerintah yang menudingnya telah menyilet kemaluan para jenderal. Kesaksian dari peristiwa yang dialami Mudjiati bisa menjelaskan secara garis besar bahwa, generasi muda keluarga PKI yang hidup pada masa itu mengalami ketakutan yang luar biasa akan konsekuensi buruk yang diberikan pemerintah.
Ilustrasi koran tentang propaganda PKI, sumber : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58155183.amp
Ketakutan tak hanya dialami oleh generasi muda yang memiliki hubungan langsung dengan PKI. Hal itu juga dialami oleh generasi muda yang bahkan tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa G30S/PKI, namun tetap merasakan ketakutan serupa. Mereka mengalami ketakutan yang mendalam terkait pengulangan peristiwa kelam itu. Mereka merasa diancam oleh ideologi komunis dan berbagai intrik politik , menyaksikan ketegangan politik yang mencapai puncaknya. Bagi generasi ini, peristiwa G30S/PKI adalah momen terancamnya pundi-pundi dasar negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Periode Orde Baru (Orba) di Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, adalah masa yang mencirikan agenda berupa propaganda anti-komunisme yang kuat. Selama era ini, salah satu peristiwa bersejarah yang mendominasi pandangan publik adalah G30S/PKI. Namun, sayangnya, pandangan generasi Orba terhadap peristiwa ini juga seringkali berujung pada sentimen anti-Tionghoa, yang merupakan komunitas etnis yang secara keliru dikaitkan dengan PKI. Dalam konteks sejarah, ada bukti nyata yang mendukung adanya sentimen anti-Tionghoa selama era Orde Baru (Orba) di Indonesia. Salah satu bukti kuat adalah terjadinya kasus penghancuran toko dan bisnis yang dimiliki oleh komunitas Tionghoa. Selama periode ini, tercatat sejumlah insiden penjarahan dan kerusakan properti yang menjadi milik komunitas Tionghoa. Hal ini mencerminkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan yang dialami oleh komunitas minoritas tersebut.
ADVERTISEMENT
Generasi Orba tumbuh dalam budaya anti-komunis yang kuat, dan sayangnya, komunitas Tionghoa di Indonesia sering kali disamakan dengan orang-orang PKI. Hal ini menjadi pandangan masyarakat luas pada saat itu, karena banyak tokoh-tokoh besar PKI yang memiliki latar belakang Tionghoa, meskipun mayoritas anggota komunitas Tionghoa itu sendiri tidak memiliki keterlibatan langsung dengan PKI. Pada akhirnya, sentimen anti-Tionghoa yang kompleks dan salah kaprah telah merajalela sepenuhnya dalam masyarakat.
Terlebih lagi pada tahun 1967, pemerintah Orba mengeluarkan Undang-Undang No. 5 yang mengatur aspek sosial, ekonomi, dan politik. Beberapa ketentuan dalam undang-undang ini, seperti pelarangan penggunaan bahasa Tionghoa dalam komunikasi, menciptakan diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa. Hal ini merupakan salah satu pemicu generasi muda Orba untuk semakin mengembangkan sifat anti sentimen Tionghoa, karena merasa di dukung oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Generasi sekarang, yang terlahir beberapa dekade setelah peristiwa G30S/PKI, memiliki pandangan yang berbeda terhadap peristiwa sejarah kelam ini. Pertama, mereka cenderung memandang peristiwa G30S/PKI dengan lebih objektif daripada generasi sebelumnya. Dalam upaya mencari pemahaman dan kebenaran sejarah yang lebih mendalam, mereka menganalisis berbagai sumber informasi dan mencoba menghindari sentimen ideologis yang mungkin memengaruhi pandangan mereka.
Ilustrasi unjuk rasa, sumber: https://unsplash.com/photos/IJIX_8wFnjkIJIX_8wFnjk
Kedua, generasi sekarang sangat menekankan pentingnya pencarian keadilan sejarah. Mereka ingin memahami peristiwa ini secara komprehensif, termasuk aspek-aspek yang mungkin terlupakan atau diabaikan dalam narasi resmi. Dalam banyak kasus, mereka menyelidiki catatan sejarah yang lebih akurat dan mencari tahu dampak peristiwa G30S/PKI terhadap berbagai kelompok masyarakat.
Ketiga, generasi sekarang memiliki perspektif yang lebih inklusif. Mereka mendukung pendekatan yang lebih beragam dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang yang berbeda. Hal ini yang nantinya akan menciptakan ruang untuk memahami berbagai pengalaman individu dan dampak peristiwa tersebut pada kelompok-kelompok heterogen dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Terakhir, generasi sekarang aktif dalam menciptakan dialog yang konstruktif dan tidak destruktif tentang peristiwa G30S/PKI. Generasi sekarang lebih berusaha untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik antara berbagai macam perbedaan pendapat yang ada dalam kelompok masyarakat, mencapai rekonsiliasi, dan memahami bagaimana pengaruh yang ditimbulkan peristiwa ini untuk Indonesia kedepannya. Dengan cara ini, mereka secara tidak langsung berperan dalam merangkul kebenaran sejarah dengan pandangan yang lebih inklusif untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Perbandingan mengenai perspektif akan peristiwa G30S/PKI bertujuan untuk mengobati luka-luka sejarah dengan menghormati pengalaman individu, menciptakan rekonsiliasi, dan memastikan bahwa sejarah diungkapkan secara adil dan seimbang. Dengan memahami berbagai sudut pandang dan pengalaman yang beragam, diupayakan untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif dan inklusif tentang peristiwa tersebut, serta mengurangi ketegangan sosial yang mungkin masih ada dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT