Konten dari Pengguna

PENUNTASAN KASUS PELANGGARAN HAM; INI BUKANLAH HARAPAN YANG HANYA DI BENAMKAN DI BAWAH TILAM

18 Desember 2017 22:20 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Jufri Mappainga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Secara universal HAM adalah hak dasar yang dimiliki oleh seseorang sejak lahir sampai mati sebagai anugerah dari tuhan YME. Semua orang memiliki hak untuk menjalankan kehidupan dan apa yang dikendakinya selama tidak melanggar norma dan tata nilai dalam masyarakat. Sementara menurut John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian langsung dari tuhan YME. Dari sini kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa HAM adalah sesuatu yang begitu dekat dengan kehidupan kita. Seperti misalnya hak kebebasan berekspresi, hak terhadap kepemilikan barang, hak terhadap ruang privasi dan lain semacamnya yang menjamin kita dapat menikmati kebebasan dalam menjalani hidup “selama tidak melanggar norma dan tata nilai yang berlaku di masyarakat” dan itulah alasan kenapa HAM sangatlah sentral peranannya di dalam kehidupan kita. Sejak tahun 1950 silam sampai sekarang, setiap tanggal 10 desember orang orang di hampir seluruh penjuru dunia (terkhusus Indonesia) selalu memperingati hari Hak Asasi Manusia sebagai bentuk komitmen untuk tetap menjaga, menjamin kebebasan dan melindungi hak hak asasi setiap manusia. Di Indonesia, 10 desember bukan hanya sekedar ajang seremonial ataupun formalitas belaka dalam rangka mempringati hari HAM sedunia, melainkan hal ini adalah salah satu cara yang dilakukan untuk tetap merawat ingatan kita atas serangkaian peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang sampai hari ini belum juga mendapat kejelasan, diantaranya adalah; Pertama, menghilangnya 13 aktivis menjelang reformasi.Peristiwa ini terjadi pada tahun 1998 menjelang reformasi, dimana 13 aktivis di culik paksa oleh militer yang sampai hari ini keberadaan mereka masih menjadi misteri. Yang menjadi pertanyaan sinis dari kasus penculikan ke 13 aktivis ini adalah, apa yang mendasari militer pada masa itu sehingga melakukan penculikan paksa terhadap ke 13 aktivis tersebut dan jikalaupun mereka sudah mati, dimanakah merek di kuburkan. Ke 13 aktivis tersebut antara lain adalah Yani afri, Soni, Herman hendrawan, Dedi umar, Noval alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok munandar siahaan, Petrus bima anugerah, Wiji thukul, Hendra hambali, Abdun nazeen dan Yadin muhidin. Hingga kini, keluarga korban penculikan ini masih terus menunggu kepastian dari kasus yang menimpah sanak keluarganya ini.Kedua, kasus pembunuhan seorang wartawan bernama Udin.Udin adalah seorang wartawan Harian Bernas di Yogyakarta yang tewas terbunuh oleh seseorang tidak dikenal. Udin yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin pada selasa malam 13 Agustus 1996 kedatangan seorang tamu misterius yang kemudian menganiyaya dirinya dan pada tanggal 16 Agustus 1996 Udin harus mengembuskan nafas terakhirnya. Udin tercatat sebagai seorang wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Kasus Udin menjadi ramai karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy Wuryanto dilaporkan telah membuang barang bukti dengan membuang sampel darah Udin ke laut dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan dan penyidikan. Ketiga, kematian Marsina.Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993. Keempat, kematian Munir.Munir adalah seorang aktivis yang bergerak pada wilayah Hak Asasi Manusia. Beilau terkenal kritis terhadap kasus kasus pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Tak jarang beliau kerap melontarkan kritikan kritikan pedas terhadap pemerintah yang tak mampu menuntaskan kasus pelanggaran HAM di negeri ini. Namun na’as, ia harus meregang nyawa didalam kabin pesawat tepat di atas langit Rumania pada saat melakukan perjalanan untuk melanjutkan study S2nya di universitas Utrecht, belanda. Dan kini, sudah 13 tahun lamanya sejak ia meregang nyawa pada 7 september 2004. Namun sampai sekarang kasus kematiannya tak kunjung menemui jalan terang. Dalang pembunuhan Munir masih tetap bebas berkeliaran tanpa mendapatkan prosesi hukum atas perbuatan kejinya itu. Kelima, penyiraman air keras terhadap salah seorang penyidik KPK, Novel baswedan.Novel merupakan lulusan Akademi Kepolisian pada tahun 1998 dan kemudian mengawali karier di Polri. Novel bertugas di Bengkulu hingga tahun 2004 dengan jabatan terakhir sebagai Kasat Reskrim Polres Bengkulu. Dia lalu ditarik ke Bareskrim Mabes Polri dan ditugaskan sebagai penyidik di KPK pada tahun 2007. Kiprah Novel selama menjadi penyidik di KPK cukup cemerlang. Ada beberapa kasus kelas kakap  yang berhasil ia tangani diantaranya, kasus simulator SIM yang menyeret salah seorang Jenderal bintang dua menjadi tersangka, yaitu Jenderal Djoko Susilo yang pada saat itu menjabat sebagai kepala KORLANTAS. Tidak hanya itu, Novel juga turut serta untuk menjemput bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang menjadi buronan korupsi dan kabur ke Cartagena, Kolombia, 7 Agustus 2011. Novel saat itu tergabung dalam tim gabungan KPK, Kementerian Hukum dan HAM, Mabes Polri, dan International Police (Interpol). Kemudian Novel juga berhasil mengungkap kasus yang masih segar di telinga publik saat ini, yaitu kasus korupsi mega proyek E-KTP yang melibatkan ketua umum partai golkar merangkap sebagai ketua DPR-RI, Setiya novanto sebagai tersangka utama dalam kasus ini. Karena trackrecordnya yang cukup cemerlang sebagai penyidik KPK, Novel sering kali mendapat teror dari OTK baik melalui pesan singkat, telepon dan lain semacamnya. Teror itu mencapai puncaknya ketika Novel di siram dengan air keras dan mengenai bagian wajahnya sehingga mengakibatkan luka bakar yang cukup serius. Kejadian ini telah di tangani pihak kepolisian setempat dan sedang menyelidiki motif di balik penyiraman itu serta melakukan pengejaran terhadap pelaku. Namun hingga saat ini, upaya dari kepolisian belum membuahkan hasil. Dari kelima kasus pelanggaran HAM diatas, terdapat kesamaan satu sama lain. Selain sama sama belum mendapatkan kejelasan hukum atas kasus yang terjadi, para korban kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini adalah mereka-orang orang yang dekat dengan kebenaran. Mereka diteror, dilukai bahkan di bunuh secara keji, tetapi tersangka dan atau dalang dari perbuatan tersebut belum ada satupun yang di tangkap dan di adili, diproses secara hukum. Mengutip perkataan dari Pandji prajiwaksono “bukankah aneh rasanya hidup di sebuah negara yang nyaman seperti ini, tapi ketika kita berbicara benar maka nyawa kita terancam”. Ini merupakan sentilan bagi pemerintah agar kiranya bagaimana supaya kasus kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini dapat terselesaikan dan mendapatkan kepastian hukum. Rekonsiliasi bukanlah solusi atas masalah ini. Memaafkan bukan berarti harus melupakan! Satu satunya jalan untuk penyelesaian kasus kasus pelanggaran HAM di negeri ini adalah dengan “MENANGKAP” pelaku dan atau dalang di balik kasus kasus tersebut. Sebab ketika kasus kasus ini tidak juga mendapat jalan terang dalam penyelesaiannya dan para pelaku/dalangnya masih saja berkeliaran dan menghirup udara bebas di luar sana, maka setiap kali kita bicara kebenaran, nyawa kita yang akan menjadi taruhannya. Yang menjadi pertanyaannya adalah,“apakah pemerintah BERANI, ataukah harapan dari keluarga para korban masih tetap akan menjadi sesuatu yang terbenam di bawah tilam?”
ADVERTISEMENT