Ettore Tolomei dan Hari Ibu (Spekulasi Awal)

rahmat petuguran
Penulis lepas, pengajar dan peneliti bahasa di Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
22 Desember 2020 11:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rahmat petuguran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: wartafeminis.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: wartafeminis.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari Ibu yang kita peringati tiap 22 Desember pernah bernama Hari Perempuan. Perubahan nama itu tidak cuma membawa implikasi semantis, tapi juga politis.
ADVERTISEMENT
Secara semantis, jelas ada perubahan makna dari "perempuan" yang bermakna luas ke "ibu" yang lebih spesifik.
Implikasi semantis itu membawa akibat turunan yang lebih luas: politis.
Nama yang berbeda membawa makna yang berbeda kemudian melahirkan persepsi dan respons yang berbeda pula.
Strategi kebahasaan untuk mengubah nama sesuatu sehingga menghasilkan implikasi politik tertentu sering disebut "metode tolomei". Dalam kasus “hari ibu” ada kemiripan dengan metode tolomei.
Nama Tolomei diambil dari ahli politik penyokong rezim fasis Italia era Mussolini, Ettore Tolomei.
Ia mendukung ekspansi politik Mussolini dengan menjalankan strategi kultural, termasuk pendekatan bahasa.
Secara sederhana, strategi itu dijalankan dengan mengubah nama-nama tempat yang dikuasai Italia dengan nama baru. Ia juga melarang warga di daerah itu menggunakan nama keluarga.
Ilustrasi hari ibu. Foto: Shutterstock
Penggantian nama-nama tempat dilakukan agar warga terputus ikatan emosionalnya dengan tempat kelahiran.
ADVERTISEMENT
Tolomei sadar bahwa manusia punya ikatan emosional dengan tempat tinggalnya karena nama desa diambil dari proses sejarah yang menggambarkan semangat, identitas, dan filosofi warga. Ikatan emosional itu bisa diwariskan dari generasi ke generasi, membuat warga merasa memiliki kota, desa, pantai, bukit, atau tempat-tempat lain.
Ketika nama-nama itu diganti, ikatan emosional itu coba dikikis. Ketika berganti generasi, ikatan emosional itu bisa benar-benar terputus karena mandeknya proses pewarisan.
Ketika ikatan emosional antara warga dengan tempat tinggalnya terkikis, lebih mudah bagi kolonial untuk menguasai wilayah tersebut. Sebab, motivasi penduduk setempat untuk mempertahankannya habis-habisan jadi melemah.
Nama keluarga juga memiliki peran strategis yang sama.
Orang yang memiliki nama keluarga sama memiliki ikatan emosional, meski tidak saling kenal. Itulah gunanya nama marga. Mereka diikat oleh sebuah perasaan yang membuat mereka bersolidaritas satu sama lain meski tak pernah bertatap muka.
ADVERTISEMENT
Ketika nama keluarga ditinggalkan, ikatan emosional itu juga dikikis, solidaritas akan renggang.
Bagi agresor seperti Italia masa itu, melemahnya ikatan emosional warga dengan tempat dan keluarganya adalah kondisi ideal yang membuat mereka berkuasa dengan relatif lebih mudah.
Awalnya hanya mengubah nama, tapi perubahan itu ternyata memiliki implikasi politis yang kuat.
Nah, dalam konteks hari ibu, "metode tolomei" saya kira telah lama bekerja. Berkontribusi terhadap pendomestikan perempuan selama ini.
Saat pertama kali diperingati, hari bernama Hari Perempuan itu diciptakan untuk apresiasi terhadap peran perempuan dalam perang kemerdekaan. Entah peran politik, sosial, atau intelektual, namun itu peran publik.
Tanggal 22 Desember sendiri diambil dari peristiwa penting yang menunjukkan peran publik perempuan dalam perjuangan kemerdekaan: Kongres Perempuan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hari-hari ini, ketika namanya diubah menjadi “Hari Ibu”, peringatan itu menjadi terdomestikasi karena penghargaan perempuan cenderung bergeser terhadap peran-peran domestik: membesarkan anak dan semacamnya.
Persepsi itu tampak dari eksepresi verbal dan visual sebagian besar orang hari ini. Mereka memuji ibu karena kasih sayangnya, karena cinta kasihnya membesarkan, merawat, dan mendidik anak. Jarang yang merayakannya dengan memuji perempuan yang punya peran publik.
Jadi, adakah Tolomei dalam perubahan Hari Perempuan menjadi Hari Ibu ini?
Rahmat Petuguran Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang