Memahami Pilpres sebagai Permainan Elektoral

rahmat petuguran
Penulis lepas, pengajar dan peneliti bahasa di Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
10 Januari 2019 18:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rahmat petuguran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Capres & Cawapres di Pengundian Nomor Urut Pilpres 2019. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Capres & Cawapres di Pengundian Nomor Urut Pilpres 2019. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 semakin seru. Bukan karena kualitasnya makin baik, tapi karena kedua kubu semakin giat memenangkan diri. Mereka mengerahkan segala potensi agar memenangkan kontestasi ini. Kondisi ini mengubah kampanye pilpres lebih menyerupai sebagai permainan daripada berdialektika.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini dapat diamati dari jenis dan strategi wacana yang digunakan. Baik oposisi maupun petahana nyaris tidak mempersoalkan persoalan mendasar bangsa dan negara secara serius.
Mereka justru memberi perhatian pada persoalan yang remeh-temeh hanya karena persoalan itu viral dan jadi perhatian banyak orang. Sebut saja: tampang boyolali, politik sontoloyo, genderuwo, dan ekonomi kebodohan.
Ungkapan-ungkapan itu dilontarkan bukan untuk mencerdaskan pemilih. Sebaliknya, ungkapan itu digunakan untuk merekayasa afeksi calon pemilih agar menentukan pilihan sesuai kehendak pembuat wacana. Dalam permainan itu, “suka-tidak-suka” lebih mendapat perhatian daripada “benar-salah” atau “baik-buruk”.
Perubahan pemilu menjadi permainan elektoral terjadi karena politik tersimplifikasi sebagai perebutan suara. Elite mempersepsi pencapaian tertinggi dalam pemilu adalah kemenangan. Ketika kemenangan telah diraih, maka permainan berakhir dan para pemainnya memasuki permainan baru dengan aturan dan orientasi yang sama sekali berbeda.
ADVERTISEMENT
Algoritma Perilaku
Prabowo ikut kampanye akbar Anies-Sandi. (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo ikut kampanye akbar Anies-Sandi. (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
Permainan elektoral muncul karena tindakan manusia telah dipahami sebagai algoritma. Tindakan tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang otentik bersumber dari pikiran dan hati nurani, melainkan respons biologis dan psikologis atas stimulus tertentu. Oleh karena itu, dengan memberi stimulus secara terukur dan terkendali, seseorang bisa mengatur tindakan orang lain.
Dalam Homo Deus, Yuval Noah Harari (2018), mengungkapkan bahwa mekanisme biologis dan kognitif manusia memiliki keserupaan dengan komputer. Keduanya berfungsi berkat rumus “jika-maka”. Stimulus diposisikan sebagai data yang terinput sebagai “jika”, adapun tindakan manusia untuk meresponsnya merupakan “maka”.
Meski tampak bombastis, analisis ini relatif bisa diterima karena ditopang oleh argumentasi biologis dan psikologis yang mapan. Dari perspektif biologis dapat dijelaskan bahwa (tubuh) manusia bergerak atas perintah pikiran. Pikiran bekerja ketika menerima stimulus informasi yang diterima melalui alat indra. Tubuh merespons stimulus itu dengan menghasilkan hormon tertentu. Hormon itulah yang membangkitkan perasaan suka, benci, marah, bahagia, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif psikologis, para pakar aliran behaviorisme telah menunjukkan bukti meyakinkan bahwa tindakan, pikiran, dan perasaan merupakan perilaku. Ketiga gejala itu merupakan respons organisme atas berbagai informasi yang diterima dari luar.
Yang membuatnya berbeda, tindakan bisa diamati dari luar, adapun pikiran dan perasaan hanya bisa diamati oleh pelakunya. Dengan begitu, tindakan, pikiran, dan perasaan manusia dapat dikelola dengan respons tertentu.
Memang tak bisa disangkal, algoritma komputer dan manusia tetap berbeda. Pada komputer algoritma bekerja secara apriori, mengesampingkan aspek-aspek sosial budaya yang tidak diset untuk dapat dipahaminya.
Betapa pun canggihnya, komputer belum mampu memproses data-data yang paradoks secara moral. Adapun algoritma manusia bersifat organik, perkembangannya dipengaruhi oleh gejala sosial budaya di sekitar sehingga dimungkinkan mengalami dilema moral. Meski begitu, algoritma manusia tetap bekerja dengan pola dasar yang sama dengan komputer, yaitu menggunakan hukum “jika-maka”.
ADVERTISEMENT
Intervensi Cambridge Analytica (CA) dalam pemilihan presiden Amerika tahun 2016 lalu, menunjukkan perilaku pemilih merupakan gejala dependen yang bisa dimanipulasi dengan relatif mudah.
Dengan data pribadi calon pemilih yang cukup, firma konsultasi politik itu dapat menentukan materi kampanye yang tepat sehingga melahirkan perilaku elektoral sesuai yang diharapkan. Pada titik ekstrem, rekayasa itu mampu mengubah kebencian menjadi kekaguman sebagaimana marah juga dapat diubah menjadi senang.
Sentimentalisme kebangsaan, keagamaan, kelas, kedaerahan, dan gender bukanlah ekspresi personal yang suci dan otentik. Ketika dihadirkan di ruang publik, semua itu merupakan alat intervensi untuk mengubah perilaku publik sesuai yang dikehendaki “pemain”.
ADVERTISEMENT
Mitos Independensi
Jokowi dan Ma'ruf Amin berjalan kaki dengan pendukungnya saat deklarasi kampanye damai. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Ma'ruf Amin berjalan kaki dengan pendukungnya saat deklarasi kampanye damai. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Teknologi wacana memang telah lama menjadi alat permainan elektoral yang lumrah digunakan. Nasihat-nasihat Machiavelli yang terhimpun dalam buku ''Il Principe'' memuat berbagai pasal yang mengulas pemanfaatan pengetahuan, prasangka, dan sentimentalisme untuk meraih dukungan publik.
Nasihat yang sama bisa didapati dalam Mein Kampf dan Little Red Book. Bahkan lebih lampau lagi, percik pemikiran itu dapat ditemukan pada era Julius Caesar (100 SM-44 SM).
Meski begitu, era media sosial seperti saat ini merupakan habitat paling ideal yang memungkinkan permainan elektoral dilakukan secara efektif dan massif. Media sosial memungkinkan para “pemain” politik menjangkau calon pemilih dengan intensitas yang mengerikan. Melalui media sosial, para “pemain” bisa menjangkau publik di ruang dan waktu paling privat sekalipun.
ADVERTISEMENT
Dalam tesis Ross Tapsell (2017), munculnya media digital telah membawa dampak ganda yang berseberangan. Di satu sisi, media digital memungkinkan agenda-agenda progresif disuarakan dengan tegas dan lugas.
Banyak agenda aktivisme yang sukses dikawal melalui media digital. Tapi pada saat bersamaan, media digital juga memperkuat oligarki politik di Indonesia. Melalui media sosial, kekuatan oligarki lama hidup kembali dan bahkan semakin jaya.
Akibatnya, selain disesaki agenda-agenda perubahan, ruang digital juga riuh oleh agenda kelompok oligarki yang ingin memperkuat bisnis dan pengaruh politiknya.
Fakta itu kemudian melahirkan paradoks. Karena media disesaki agenda oligarki, semakin sering seseorang mengakses media maka semakin besar potensinya terpengaruh agenda “pemain” politik.
Informasi yang mestinya membebaskan justru dapat membuat calon pemilih semakin terbelenggu oleh ikatan wacana yang diproduksi kekuatan oligarki. Akhirnya, independensi pemilih berubah menjadi mitos baru, diyakini ada namun tak terbuktikan keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Kondisi itu menunjukkan bahwa demokrasi elektoral di Indonesia terasa masih begitu muda. Meski infrastrukturnya telah memadai, ia tidak didukung suprastruktur yang cukup untuk terciptanya pemilu yang berkualitas. Alih-alih dapat mengedepankan agenda kebangsaan, pemilu justru menjadi sarana melegitimasi para oligark pencari kekuasaan.
Rahmat Petuguran Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang Penulis buku Politik Bahasa Penguasa (2016)