Pagar dan Ambiguitas: Bahasa Prof. Mahfud MD Sebelum dan Sesudah Menko

rahmat petuguran
Penulis lepas, pengajar dan peneliti bahasa di Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
2 Februari 2021 18:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rahmat petuguran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menkopolhukam Mahfud MD. Sumber: nusadaily.com
zoom-in-whitePerbesar
Menkopolhukam Mahfud MD. Sumber: nusadaily.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejumlah orang menilai Prof Mahfud MD berubah sejak jadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Pendekar konstitusi yang dulu dikenal tegas dan lugas itu cenderung lebih lembut dalam berpendapat, terutama terkait isu-isu hukum dan HAM yang melibatkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Lembut” itu eufemisme. Lawan politiknya menggunakan istilah yang cenderung vulgar: mlempem. Dalam tulisan ini, saya gunakan kata yang netral saja: berubah.
Penilaian bahwa Prof Mahdfud MD mengalami perubahan sikap tentu saja bermotif politis. Dengan memberi penilaian itu, penilai sedang berusaha mengarahkan beliau agar mengambil sikap dan tindakan “ideal” menurut penilai. Dan dalam politik, konsep “ideal” itu bisa sangat lentur sesuai kepentingan praktis dan ideologis yang melatarbelakangi si penilai.
Tapi penilaian itu mungkin juga ada benarnya. Perubahan status sosial seperti jabatan memang kerap membuat orang berubah.
Sebagai peneliti bahasa, saya tertarik membandingkan performa bahasa beliau sebelum dan setelah menjadi Menkopolhukam. Adakah yang berubah dalam bahasa Prof Mahfud MD? Apa benar, seperti lagu yang dipopulerkan pengamen cilik Tegar Septian, Mahfud MD "yang dulu bukanlah yang sekarang"?
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Madura, asal Prof Mahfud MD, ada peribahasa “Basa gambaranna budhi” yang berarti “Bahasa seseorang menggambarkan kepribadiannya”. Pesan moral peribahasa ini persis dengan peribahan “Bahasa menunjukkan bangsa” dalam bahasa Indonesia.
Dua peribahasa ini menunjukkan bahwa bahasa bisa jadi alat yang sahih untuk membaca sikap dan kepribadian seseorang - bergentung korpus dan kecanggihan analisisnya. Karena itu, memahami perubahan Prof Mahfud MD lewat performa kerbahasaannya bukan tindakan yang mengada-ada. Ini saya sampaikan biar tidak dituduh sebagai kadrun.
Dalam ilmu bahasa juga diketahui ada hubungan antara tuturan dengan motif dan ideologi yang menyokongnya. Tuturan adalah bentuk luar yang dikendalikan oleh motivasi dan ideologis. Sebagaimana dihipotesiskan oleh para pelopor analisis wacana kritis - ada hubungan antra bentuk formal bahasa dengan kepentingan dan ideologi penuturnya.
ADVERTISEMENT
Kapasitas Prof Mahfud MD sebagai Menkopolhukam sekaligus tokoh publik tidak membuat pembacaan terhadap bahasanya bersifat ad hominem. Sebab, kapasitas sebagai pejabat publik yang sangat strategis itu membuat bahasa dan sikapnya memiliki implikasi publik.

Tegas Ucapan, Tegas Tindakan

Sebagai ilmuwan dan paktisi hukum, Prof Mahfud MD dulu dikenal memiliki gaya bertutur yang lugas. Gaya itu sejalan dengan keberpihakannya yang juga jelas saat merespons isu tertentu. Tidak abu-abu.
Sikap tegas ini bisa dikaitkan dengan keahliannya pada bidang hukum, latar belakangnya sebagai santri, sekaligus latar belakang kulturalnya sebagai orang Madura.
Sebagai ahli hukum ia dapat menjelaskan persoalan hukum hingga ke akar filosofisnya. Pengetahuan itulah yang membuatnya leluasa menafsir norma hukum melampui norma-norma tertulisnya. Karena itu, di berbagai kesempatan ia berani menunjukkan tafsir hukum dengan cara berbeda dengan kebanyakan orang.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Prof Mahfud MD juga memiliki latar belakang santri. Pengetahuan bidang keagamaan membuat argumentasi agama seringkali muncul di berbagai kesempatan. Di tingkat diksi, latar belakang ini memberi warna yang kuat dengan digunakannya istilah-istilah agama. Adapun di tingkat retorika, pengaruh kesantriannya memberi warna pada pola dan struktur argumentasinya. Misalnya dengan mensitasi Alquran dan hadis.
Identitas primordial sebagai orang Madura juga memberi warna pada gaya bahasanya. Warna itu tidak terbatas pada kekhasan dialek dalam komunikasi lisan, tetapi juga dalam gaya retoriknya. Kecenderungan Prof Mahfud MD untuk berbicara secara lugas juga terkait dengan mentalitas kulturalnya.
Orang Madura memang punya kecenderungan bersikap tegas, apa adanya. Di sana ada ungkapan bada e tongkah bada e dai yang mengajarkan satunya tindakan dan perkataan. Ada juga ungkapan jha ghu thegghuan sanggu yang menganjurkan pentingnya memenuhi janji.
ADVERTISEMENT
Ungkapan-ungkapan itu adalah kebijakan kolektif. Kearifan semacam itu biasanya diperoleh melalui pendidikan dan terepresentasi dalam perkataan dan tindakan.
Konsisten atau Berubah?
Lalu, benarkan Prof Mahfud MD mengalami perubahan sebelum dengan setelah meenjabat sebagai Menkopolhukam?
Dalam topik-topik tertentu, performa bahasa Prof Mahfud MD cenderung konsisten. Tidak ada perubahan antara sebelum dan setelah dilantik menjadi Menkopolhukam. Ketegasan, istilah agama, dan dialek khas Madura tetap menjadi kekhasannya ketika tampil di publik. Setidaknya di Twitter.
Konsistensi gaya bahasa ini terbaca pada topik-topik yang tidak mempertentangkan sikap pribadi dan kapasitas jabatannya. Misalnya saat menulis pendapatnya dengan tokoh lain, cerita tentang aktivitas harian, atau mengomentari berita sepak bola.
Tapi ada perubahan gaya bahasa pada topik-topik yang cenderung menempatkan kapasitas personalnya dan kapasitas Menkopolhukamnya secara berseberangan. Pada topik-topik ini sikap tegasnya cenderung menurun, ditandai dengan hadirnya ekspresi pagar (hedges) dan kalimat ambigu.
ADVERTISEMENT
Dalam ilmu pragmatik, pagar (hedges) adalah ekspresi untuk menandai probabilitas dan keraguan terhadap isi tuturan untuk mennunjukkan bahwa seseorang tidak sepenuhnya yakin dengan yang dia ucapkan. Pagar dipakai agar penutur bisa melepas (atau setidaknya mengurangi) tanggung jawab terhadap isi tuturan. Penanda (marker) pagar yang lazim digunakan adalah penanda leksikal menggunakan kata mungkin, barangkali, tampaknya, sepengetahuan saya.
Meski begitu, pagar juga bisa diekspresikan menggunakan fitur sintaksis. Misalnya, dengan menunjukkan adanya kotradiksi dan dilema yang dapat melahirkan implikatur keraguan atau ketidakyakinan.
Di Twitter, pola pagar (hedge) paling umum yang digunakan Prof Mahfud MD adalah menunjukkan situasi kontraproduktif yang melahirkan dilema. Karena kondisinya dilematis, ia menunjukkan sikap yang ragu.
Saat berkomentar tentang HGU lahan, misalnya, ia menunjukkan kondisi dilema karena dirinya berada di antara tarikan sikap tegas dan ikatan aturan hukum masa lalu; “… Kita trs berusaha utk menyesaikannya. Problemnya hak2 itu dulunya diberikan scr sah oleh Pemerintah yg sah shg tak bs diambil bgt sj. Cara menyelesaikannya jg hrs dgn cara yg sah scr hukum.”
ADVERTISEMENT
Di sini ada ketidaktegasan: pemerintah tersandera aturannya sendiri. Pemerintahan periode dulu dituduh jadi penyebab atas persoalan yang terjadi saat ini.
Modalitas lain yang menandai sifat "lembut" Prof. Mahfud MD adalah kalimat ambigu.
Ambiguitas terbaca ketika ia membuat cuitan dalam kaitannya dengan pelarang aktivitas FPI. “Skrng ini ada ada tdk kurang dari 444.000 ormas dan ratusan partai politik, jg tak dilarang. Mau mendirikan Front Penjunjung Islam, Front Perempuan Islam, Forum Penjaga Intelektual boleh. Prinsipnya asal tdk melanggar hukum. Yg bagus akan tumbuh, yang tak bagus layu sendiri.”
Ada ambiguitas di sini. Konteks cuitannya berkaitan dengan pelarangan aktivitas FPI dan ada frasa “asal tidak melanggar hukum”. Dalam kalimat itu ada asumsi bahwa FPI telah melanggar hukum. Tapi pelarangan aktivitas FPI sendiri, sejauh saya ketahui, tidak dilakukan melalui pengadilan yang membuktikan adanya pelanggaran tersebut.
ADVERTISEMENT

Mengapa Bahasa Berubah?

Secara konvensional, latar belakang budaya yang statis seperti pendidikan, agama, dan asal wilayah dipercaya memberi pengaruh besar terhadap performa kebahasaan seseorang. Tapi, selain pengaruh statis itu gaya bahasa seseorang juga dipengaruhi faktor yang bersifat dinamis seperti kondisi mental dan kepentingan tertentu yang diperjuangkannya.
Dalam konteks itulah perubahan jabatan, pergeseran ideologi, atau perubahan sikap politik akan mempengaruhi performa kebahasaan seseorang. Bahasa kan memang pada dasarnya berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan si penutur. Karena itulah, kalua kepentingannya berubah maka bahasanya cenderung berubah.
Gejala ini sebenarnya bersifat umum, bukan cuma dialami Prof Mahfud MD. Tapi karena beliau orang penting yang ucapannya memiliki implikasi luas, perubahan gaya bahasanya bisa jadi gejala untuk membaca sesuatu yang lebih penting.
ADVERTISEMENT
Rahmat Petuguran, peneliti bahasa Universitas Negeri Semarang