Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Budaya Lisan Minangkabau: Keanekaragaman Sastra Lisan Minangkabau
4 Januari 2025 17:10 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Rahmat Rafii amanullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sastra lisan Minangkabau adalah warisan budaya yang diwariskan secara turun-temurun melalui mulut ke mulut. Sastra lisan ini merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Minangkabau dan memiliki peran penting dalam membentuk identitas dan karakter masyarakat. Sastra ini mencakup berbagai bentuk ekspresi budaya, seperti pantun, kaba (cerita rakyat), dendang (nyanyian tradisional), pepatah-petitih (ungkapan bijak), dan cerita adat yang sering kali berisi nilai-nilai moral, kearifan lokal, dan ajaran kehidupan.
ADVERTISEMENT
Ciri khas sastra lisan Minangkabau adalah penggunaan bahasa yang indah, ritmis, dan kaya makna. Sastra ini juga kerap mencerminkan filosofi adat Minangkabau, seperti "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah," serta menggambarkan dinamika kehidupan masyarakat yang berlandaskan adat dan agama.
Sebagai bagian penting dari budaya Minangkabau, sastra lisan ini biasanya dipertunjukkan dalam berbagai acara adat, seperti pernikahan, pengangkatan pemimpin adat, atau upacara tradisional lainnya, sehingga berfungsi tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga media pendidikan dan pelestarian budaya.
Menurut Djamaris (2002: 4), jenis sastra lisan Minangkabau antara lain adalah kaba, pantun, dan pepatah-petitih.
1. Kaba
Kaba adalah salah satu karya sastra klasik Minangkabau yang berbentuk prosa. Kata kaba sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu khabar, yang artinya pesan, kabar atau berita. Kata khabar berubah dalam ucapan Minangkabau menjadi kaba.
ADVERTISEMENT
2. Pantun Minang
Kata "pantun" berasal dari kata "patuntun" dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petunjuk" atau "penuntun". Pantun merupakan sastra lisan yang pada mulanya disampaikan secara lisan, namun sekarang juga dapat ditemukan dalam bentuk tertulis.
3. Petatah-Petitih Minang
Petatah petitih Minangkabau adalah sastra lisan yang berisi ungkapan atau kalimat yang mengandung makna yang dalam, luas, halus, dan kiasan. Petatah petitih merupakan bagian dari tradisi lisan yang mengandung pandangan dan pedoman hidup yang baik dalam kehidupan sosial.
Petatah petitih memiliki makna tersendiri sebagai pegangan dalam menjalankan hidup masyarakat Minangkabau. Petatah petitih meliputi peraturan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari yang senantiasa ditaati dan dihormati.
Petatah petitih disampaikan oleh penghulu dalam berbagai acara. Kata-kata yang digunakan dalam petatah petitih menggunakan kata kiasan, perumpamaan, dan perbandingan yang mengandung suatu makna tertentu.
ADVERTISEMENT
4. Salawaik Dulang
Salawat Dulang atau dalam bahasa Mingangkabau disebut ‘’Salawaik Dulang’’ adalah sastra lisan Minangkabau yang bertemakan Islam. Salawaik Dulang memiliki makna sesuai asal katanya yaitu Salawat yang berarti salawat atau doa untuk Nabi Muhammad SAW, dan dulang atau talam, yaitu piring besar dari Loyang atau logam yang biasa digunakan untuk makan bersama.
Salawaik dulang biasanya ditampilkan oleh minimal dua klub dan diiringi tabuhan pada ‘dulang’, yaitu nampan yang terbuat dari bahan kuningan atau bahan lainnya. Dalam bahasa sehari-hari, sastra lisan ini hanya disebut ‘salawat’ ataupun ‘salawek’ saja.
Dalam sastra masyarakat Minangkabau, pertunjukan Salawaik Dulang selalu menceritakan kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW, cerita yang memuji nabi, atau cerita yang berhubungan dengan persoalan agama Islam dengan diiringi irama bunyi ketukan jari pada dulang atau piring logam besar yang dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam dan ‘Alek Nagari’. Pertunjukan ini tidak dilakukan di kedai (lapau) atau lapangan terbuka, namun biasanya hanya dipertunjukkan di tempat yang dipandang terhormat seperti masjid, mushalla atau surau.
ADVERTISEMENT
Sementara sifat pertunjukan itu sendiri selalu menghadirkan tanya jawab antar klub salawaik, saling serang dan saling berusaha mempertahankan diri. Dalam pertunjukannya, kedua tukang salawaik duduk bersisian dan menabuh talam secara bersamaan. Keduanya berdendang secara bersamaan atau saling menyambung larik-lariknya yang berbentuk syair.
Di Payakumbuh, khususnya di daerah Koto Panjang, terdapat kelompok salawat yang terdiri dari tiga orang dalam satu tim. Di Pariaman, grup Salawat Talam dapat ditemukan di Toboh dan Kampung Dalam.
Asal-usul Salawat Dulang berawal dari banyaknya ulama Minang yang belajar agama di Aceh, salah satunya Syekh Burhanuddin. Setelah kembali ke tanah Minangkabau dan menetap di Pariaman, para ulama menyebarkan ajaran Islam ke seluruh Minangkabau. Saat berdakwah, para ulama mengadaptasi kesenian rebana dari Aceh dengan menggunakan dulang sebagai alat musik sambil mendendangkan syair-syair dakwah.
ADVERTISEMENT
Dalam pertunjukan Salawat Dulang, dua pendendang duduk bersisian dan menabuh dulang secara bersamaan.
5. Rantak kudo
Rantak Kudo adalah sastra lisan khas Minangkabau yang berkembang di Lubuak Gadang, Rao Utara, dan Lansek Kadok, Rao Selatan, Pasaman. Tradisi ini terdiri dari berpantun bebas yang diiringi oleh suara rebana dan saluang.
Awalnya, Rantak Kudo bertujuan sebagai sarana mencari jodoh bagi para pelantunnya. Namun, sejak ditampilkan kembali pada tahun 2001 setelah absen sejak 1974, tradisi ini lebih difokuskan sebagai hiburan. Di Lansek Kadok, tradisi Rantak Kudo terancam punah karena umumnya hanya dikenal oleh orang yang berusia di atas 30 tahun.Asal mula Rantak Kudo dipercaya berasal dari perselisihan antar nagari di Minangkabau.Konon dahulunya setiap nagari dipimpin oleh seorang raja atau penghulu.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu perselisihan disebutkan kematian seorang raja saat berburu, karena jejaknya ditikam oleh raja lain dengan keris sakti. Kematian sang raja membuat istrinya meratapi kepergiannya, lalu ratapan istrinya yang berupa pantun diiringi oleh suara hentakan kuda (rantak kudo), menjadi awal mula tradisi ini. Rantak Kudo dimainkan oleh setidaknya dua orang tukang dendang, satu orang laki-laki dan satu perempuan.
Pertunjukan Rantak Kudo dimulai dengan pembukaan, dilanjutkan dengan permohonan maaf dan permintaan izin kepada ninik mamak. Pada bagian inti acara, pantun diawali oleh tukang dendang perempuan dan dibalas oleh tukang dendang laki-laki.
Rantak Kudo dianggap sebagai tradisi yang beradab, sehingga biasanya dipertunjukkan di rumah-rumah penduduk atau rumah gadang, bukan di lapangan terbuka. Pertunjukan ini tidak digelar pada acara perkawinan, melainkan pada acara-acara adat seperti pengangkatan raja atau penghulu.
ADVERTISEMENT
Setiap nagari juga merasa bangga jika dapat menampilkan Rantak Kudo dalam berbagai kesempatan. Pertunjukan ini dimulai setelah Isya, sekitar pukul 9 malam, dan berlangsung hingga sebelum Subuh, sekitar pukul 4 pagi.
6. Bagurau
Bagurau adalah sastra lisan yang merakyat di hampir seluruh wilayah Minangkabau. Sastra lisan ini berupa pertunjukan pantun-pantun lepas yang diiringi oleh alunan saluang. Seperti namanya, tujuan dari bagurau adalah untuk bercanda atau berkelakar dengan beragam tema, mulai dari keluh kesah, kedukaan, sindiran, ajakan, hingga rayuan.
Dalam bagurau, irama yang tercipta disebut sebagai lagu, yang kebanyakan bersifat sentimental. Namun, secara umum terdapat dua jenis lagu dalam bagurau, yaitu ratok di daerah Solok dan sekitarnya, serta singgalang di daerah Agam dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam pertunjukkannya, bagurau dilakukan oleh minimal dua orang dimana satu pemain saluang dan satu atau dua orang pendendang. Para pendendang menciptakan pantun secara spontan dalam pertunjukkan ini.
Selain sebagai pertunjukkan formal, bagurau juga sering dilakukan oleh masyarakat dalam suasana santai. Mereka berdendang secara bergantian, kadang-kadang dengan diiringi saluang, kadang tidak sama sekali. Dalam pertunjukkannya, terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan, seperti antara penonton dan penampil.
7. Basiang Padi
Basiang Padi adalah salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau yang berasal dari Talawi, Sawahlunto. Tradisi ini melibatkan kegiatan berbalas pantun yang dilakukan saat ibu-ibu sedang menyiangi padi di sawah.
Umumnya, aktivitas ini dilakukan secara gotong-royong dengan sistem arisan. Awalnya, tujuan berbalas pantun ini adalah untuk menambah semangat dan mengurangi rasa lelah selama bekerja. Pertukaran pantun akan berhenti sejenak saat waktu istirahat makan dan shalat tiba.
ADVERTISEMENT
Acara Basiang Padi biasanya dimulai pukul 09.00 WIB pagi dan berlangsung hingga pukul 17.00 WIB. Pantun-pantun dalam Basiang Padi seringkali berisi sindiran, ungkapan perasaan, cerita keberuntungan, hingga terkadang melibatkan orang yang kebetulan lewat sebagai bahan pantun.
Pantun-pantun ini mulai dilantunkan saat ibu-ibu tiba di pematang sawah, sebelum mereka mulai menyiangi padi. Mereka terus berpantun sambil bekerja hingga waktu makan siang dan shalat Zuhur tiba. Setelah itu, mereka kembali ke sawah dengan pantun-pantun yang kembali mengalir hingga sore hari.
Upaya pemerintah untuk mempertahankan tradisi ini pernah dilakukan dengan menampilkannya di Pekan Budaya Sumatera Barat. Saat ini, tradisi ini sudah sangat jarang ditemukan di masyarakat baik di Talawi maupun daerah lainnya.