Drama Saksi Jadi Politik Bunuh Diri Prabowo-Sandi

Rahmat Sahid
Konsultan Media & Komunikasi, Penulis Buku Biografi & Sosial Politik
Konten dari Pengguna
20 Juni 2019 17:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Sahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Babak baru ketegangan politik paska dimulainya sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) dimulai dengan beberapa kejadian yang menjadi bahan tertawaan di media sosial dan opini publik. Hampir keseluruhan, saksi yang dihadirkan BPN justru menjadi bahan semacam politik bunuh diri kerena bagai senjata makan tuan, argumentasi dalam kesaksian justru menguak lemahnya substansi dan petitum dalam gugatan.
ADVERTISEMENT
Kesaksian beberapa saksi yang dihadirkan tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN), justri jadi bahan olok-olok dan tertawaan di medsos karena terkesan hanya menyambungkan narasi yang selama ini dibangun, yakni “pemilu curang”. Artinya, beberapa kesaksian yang sudah disampaikan dalam persidangan di MK ibarat jauh panggang dari api, alias apa yang diucapkan tidak sesuai dengan fakta yang bisa ditunjukkan. Karenanya, tidak hanya cecaran dari tim hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku tergugat yang membuatnya kelabakan atas kesaksiannya, tetapi juga terlihat kalang kabut karena harus mencari alibi dan alasan ketika para hakim melakukan pendalaman.
Kesaksian Agus Maksum misalkan, terkait tudingan adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menurutnya tidak jelas. Dalam kesaksiannya, dia menyebut bahwa ada 17,5 DPT yang tidak jelas, yang ditengarai mengindikasikan untuk kecurangan pilpres. Namun, Agus justru mengaku tidak mengetahui apakah data invalid itu menggunakan hak pilihnya atau tidak di pilpres. Jangankan soal penggunaan hak pilih terkait data invalid itu, Agus bahkan tidak mengetahui ketika dicecar hakim perihal berapa jumlah DPT di Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Itu baru dari sisi kesaksian, yang kemudian menjadi olok-olok dan bahan tertawaan di lini masa. Belum lagi soal pengakuannya mendapatkan ancman ketika bersaksi di MK. Dengan berbagai elakan saat ditanya hakim perihal bagaimana ancaman itu, pada akhirnyajustru pengakuan terancam seperti senjata makan tuan. Sebab, seperti tanpa disaadari, pada akhirnya keluar jawaban yang jujur tetapi cukup memojokkan ketika hakim menanyakan kapan ancaman itu dia rasakan. Agus yang menjawab bahwa ancaman itu terjadi pada awal April justru membuka “modusnya” karena jika benar ancaman itu ada, maka tidak ada keterkaitannya dengan kesaksian di MK, mengingat kejadiannya awal April, sebelum digelarnya pemungutan suara pemilu legislatif dan pilpres.
Terkait kesaksian soal ancaman yang kesannya “modus” atau “drama” itu, banyak akun-akun di medsos yang turut mem-viralkan dengan emoji tertawa ngakak dan mengolok-oloknya sebagai kebohongan.
ADVERTISEMENT
Kesaksian yang mengundang tertawaan juga hampir sama ketika BPN menghadirkan konsultan analisis data base Idham Amiruddin, yang dalam kesaksiannya menyebut ada empat jenis rekayasa data kependudukan dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang digunakan dalam pemilihan umum 2019. Namun, kesaksian Idham langsung mendapatkan berbagai cecaran karena selain ia hanya menganalisis DPT yang didapatkan dari Partai Gerindra pada bulan Februari, juga karena kewalahan memberikan argumentasi ketika dibombardir soal NIK siluman yang ia tuduhkan sebagai instrumen kecurangan pemilu.
Sama juga seperti kesaksian Agus yang kemudian menjebak dirinya sendiri dengan jawaban “bunuh diri” alias menegasikan kesaksiannya, Idham juga pada akhirnya mengakui kesaksiannya berbasis analisis di atas meja, bukan realita di lapangan atau realita adanya pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan berbasis NIK siluman atau NIK rekayasa.
ADVERTISEMENT
Dan yang juga yang kemudian menjadi bulan-bulanan di medsos adalah ketika di tengah cecaran pertanyaan, Idham yang terkesan mulai kewalahan memberikan jawaban meminta izin untuk buang air kecil. Betapapun kejadian itu telah mencairkan suasana persidangan, tetapi berkembang di opini publik saksi BPN terkencing-kencing menghadapi pertanyaan tergugat dan juga cecaran para wakil Tuhan di bumu.
Itu baru mengupas dua kesaksian. Belum lagi kesaksian Said Didu misalnya, yang juga terlihat kewalahan ketika menjelaskan mengenai nomenklatur pejabat BUMN, argumentasi untuk meyakinkan MK agar mengabulkan petititum terkait posisi KH Ma’ruf Amin sebagai Dewan Pengawas Syariah Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri.
Namun, mungkin karena untuk menyambungkan rangkaian “drama” dizalimi, Said Didu yang dalam kesaksian di MK, ibarat permainan bola ia tidak bisa menjadi man of the match, justru mencoba mengalihkan opini yang secara psikologis ingin menggambarkan bahwa untuk menjadi saksi di MK butuh keberanian dan nyali kepahlawanan. Terkesan dramatis kan? Padahal di MK bukankah sederhana karena memang mengadili perselisihan, yang mana ia cukup meyakinkan para hakim MK soal dimana terjadi kecurangan sebagaimana dituduhkan, dan suguhkan alat bukti valid bahwa jagoannya lah pemenang pilpres dengan angka prosoentase sebagaimana disebutkan daalam petitum gugatannya.
ADVERTISEMENT
Bisa dikesankan sebagai rangkaian drama karena sebelumnya, Ketua Tim Hukum BPN, Bambang Widjojanto saat menghadiri sidang perdana juga sudah memainkan gimik melewati kawat berduri dan menggambarkan bagaimana perjuangan Bung Karno kala itu? Padahal, BW sebenarnya bisa saja melewati belakang MK untuk bisa masuk mengikuti persidangan. Itukah keberanian pahlawan yang dimaksud oleh Said Didu?
Padahal, kalau ukurannya nyali kepahlawanan, Said Didu harusnya tidak cukup hanya mendramatisir seolah menjadi saksi pilpres di sidang MK itu butuh keberanian dan kepahlawanan, ia cukup belajar dari Pep Guardiola, manajer Mancester City-club favorit Said Didu-, yang memang punya nyali melatih tim besar dengan berbagai tantangan besarnya. Ia berani mengambil tanggungjawab, bukan hanya mendramatisir ruang ganti dan menjadikan panggung saat konferensi pers usai timnya kalah.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, olokan atas kesaksian beberapa saksi BPN di sidang MK tidak akan terjadi ketika memang berangkat dari kesadaran konstitusi. Tapi nyatannya, pilihan mengajukan gugatan ke MK adalah jalan buntu yang sebenarnya tidak hendak diambil, sebagaimana klaim mereka sebelumnya yang tidak akan mengajukan protes di MK, melainkan protes di jalanan (yang telah digagalkan oleh soliditas aparat keamanan) usat rekapitulasi nasional oleh KPU diumumkan. Mereka sadar bahwa untuk bisa membuktikan adanya kecurangan sebagaimana dituduhkan sangat sulit. Terlebih selisih suara dengan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mencapai 16 juta lebih.
Dengan psikologis yang tidak siap itu, maka wajar ketika saksi yang dkihadirkan juga cenderung tidak siap dengan argumentasinya. Bahkan sering terjebak pada inkonsistensi yang menelanjangi kesaksiannya sendiri. Coba kalau mereka se iya dan sesikap dengan Valdo Maldini, yang menyimpulkan bahwa gugatan Prabowo-Sandi tidak akan menang di MK, mungkin sikap legawa dan kenegarawanan sudah ditunjukkan, bukan saat KPU mengumumkan rekapitulasi, tetapi saat semua quick count oleh lembaga survei kredibel menunjukkan selisih yang signifikan untuk kemenangan pasangan 01 Jokowi-KH Ma’ruf Amin.
ADVERTISEMENT
Kalau itu yang terjadi, olok-olok di medsos dan opini publik mungkin tidak semenggelitik saat ini.