Pengusiran Sandi di Pasar Kota Pinang Sandiwara Playing Victim?

Rahmat Sahid
Konsultan Media & Komunikasi, Penulis Buku Biografi & Sosial Politik
Konten dari Pengguna
12 Desember 2018 8:05 WIB
Tulisan dari Rahmat Sahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sandiaga Uno. (Foto: Dok. Tim Media Sandiaga Uno)
zoom-in-whitePerbesar
Sandiaga Uno. (Foto: Dok. Tim Media Sandiaga Uno)
ADVERTISEMENT
Ada yang aneh bin janggal ketika kita menyimak secara saksama pemberitaan mengenai ditolaknya Cawapres Sandiaga Salahuddin Uno saat mengunjungi Pasar Kota Pinang, Labuan Batu Selatan, Sumatera Utara, pada Selasa (11/12/2018).
ADVERTISEMENT
Sebagaimana pemberitaan yang beredar, yang menunjukkan penolakan kedatangan Sandi melalui poster di salah satu kios di dalam pasar, kemudian Sandi mendatangi.
Poster di karton berwarna putih bertuliskan, "Pak Sandiaga Uno Sejak Kecil Kami Sudah Bersahabat Jangan Pisahkan Kami Gara-gara Pilpres Pulanglah". Diberitakan pula saat Sandi berdialog dengan pemasang poster yakni Drijon Sihotang (yang disebut sebagai pendukung Jokowi).
Kemudian istri Drijon menyampaikan celetukan bahwa pemasangan poster karena ada pihak yang membayar. Ditampilkan juga narasi yang kesannya sederhana tetapi jelas pesannya, yakni untuk membuat citra negatif pada sosok Jokowi, yakni:
Lalu, di mana tulisan ini hendak menganalisis bahwa 'penolakan Sandi' itu ada indikasi bagian dari setting-an untuk menerapkan strategi politik playing victim, yakni teknik memposisikan diri sebagai korban atau orang yang terluka demi mengelabui musuh dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Playing Victim adalah satu dari 36 strategi yang diajarkan oleh Sun Tzu pada strategi nomor 34 yang berbunyi: Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh. Masuk pada jebakan dan jadilah umpan. Berpura-pura terluka akan mengakibatkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, musuh akan bersantai sejenak oleh karena dia tidak melihat anda sebagai sebuah ancaman serius. Yang kedua adalah jalan untuk menjilat musuh anda dengan berpura-pura luka oleh sebab musuh merasa aman.
Kejanggalan pertama, dari pemberitaan yang beredar mengenai 'penolakan Sandi', bisa diverifikasi bahwa secara umum merupakan produksi dari tim media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga. Artinya, hampir semuanya berita yang muncul itu seragam, mulai dari titik koma, quote dialog, hingga foto-foto.
ADVERTISEMENT
Jadi, tanpa mencurigai pemberitaan media, tetapi pada intinya bahwa konten itu memang diproduksi sedemikian rupa oleh tim media BPN Prabowo-Sandi, yang tentu patut diduga ada muatan framing untuk memposisikan Sandi sebagai korban dan memposisikan Jokowi serta pendukungnya sebagai pihak yang menzalimi.
Kejanggalan kedua, masih berkaitan dengan produksi konten dan narasi, kalau masyarakat mau sekadar menyalurkan rasa ingin tahu, maka coba googling atau searching pemberitaan 'penolakan Sandi' baik itu berupa foto maupun video, maka hampir tidak ada yang dihasilkan dari kegiatan reportase atau jurnalistik.
Foto yang beredar, baik di media online maupun media sosial pada umumnya bertuan kode: istimewa. Dan untuk narasi di pemberitaan atau teks atau konten di beberapa berita juga secara terang-terangan ditulis, "berdasarkan keterangan tertulis dari tim media Sandiaga". Artinya, itu besar kemungkinan memang by design.
ADVERTISEMENT
Kejanggalan ketiga, konten di poster yang dipasang di kios Drijon Sihotang. Dari narasi dan bahasanya, itu ada semacam bahasa konsultan politik, bukan seperti bahasa alamiah aspirasi masyarakat bawah.
Tulisan ini tidak hendak merendahkan Drijon dan istrinya, tetapi menurut hemat penulis, kalimat "Pak Sandiaga Uno Sejak Kecil Kami Sudah Bersahabat Jangan Pisahkan Kami Gara-gara Pilpres Pulanglah" sama sekali tidak mengesankan itu ide orisinal dari Drijon. Tetapi lebih cocok dan dekat dengan narasi kemungkinan politik playing victim Sandi.
Kejanggalan keempat, adanya perbedaan politik yang disampaikan secara vulgar oleh Drijon Sihotang dan istrinya. Dengan posisi digambarkan Drijon sebagai pendukung Jokowi dan istrinya sebagai pendukung Sandi, kemudian di kiosnya dipasang poster 'penolakan Sandi'.
ADVERTISEMENT
Kemudian sang istri mengungkap bahwa pemasangan poster itu karena ada pihak yang bayar. Secara kasat mata justru itu menggambarkan bahwa kemungkinan atau diduga memang ada adegan sinetron yang dipersiapkan untuk memuluskan strategi playing victim Sandiaga Uno.
Logikanya, mana ada pasangan suami-istri yang akur hanya karena perbedaan politik. Sang Istri mau menjerumuskan sang Suami dengan tuduhan serius telah dibayar untuk kegiatan politik seperti itu.
Dengan kejanggalan-kejanggalan itu, tulisan ini tidak hendak menghakimi, apalagi menjadikan analisis ini sebagai tudingan yang mengatasnamakan kebenaran. Tapi kalau analisis ini benar, biarkan juga yang melakukan senyum-senyum sambil menyusun strategi untuk menerapkan pola kampanye yang bagaimana lagi ke depan agar dapat perhatian publik karena pemberitaan bisa di-setting menarik.
ADVERTISEMENT