'Sesat Pikir' Edy Mulyadi Soal Trisila dan Ekasila

Rahmat Sahid
Konsultan Media & Komunikasi, Penulis Buku Biografi & Sosial Politik
Konten dari Pengguna
30 Juni 2020 15:36 WIB
Tulisan dari Rahmat Sahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah kader PDI Perjuangan mengibarkan bendera Merah Putih dan bendera partai saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I di Jakarta, Jumat (10/1/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah kader PDI Perjuangan mengibarkan bendera Merah Putih dan bendera partai saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I di Jakarta, Jumat (10/1/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Edy Mulyadi, (Korlap Aksi 24/6) sesumbar tidak takut menghadapi proses hukum yang diajukan oleh PDI Perjuangan terkait insiden pembakaran bendera PDI Perjuangan dalam aksinya. Dalam video yang diunggah akun youtube MySharing TV - Ekonomi Politik Islam, Edy mengatakan: PDIP telah melakukan makar ideologi, memeras Pancasila, mengganti Pancasila, menjadi Trisila dan Ekasila. Sambil menunjukkan visi misi PDIP yang ia tunjukkan di HP yang ia pegang, ia kemudian mengatakan, Trisila itu adalah Neo Nasakom, kemudian ia menyebut bahwa Ekasila adalah Neo Komunis.
ADVERTISEMENT
Dengan berbagai argument ngawur yang menunjukkan ia tidak paham dengan konteks Trisila dan Ekasila yang dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945, Edy yang merupakan caleg PKS di Pemilu 2019 itu juga menyampaikan tantangan kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan politikus senior PDIP yang kini menjabat sebagai Menpan dan RB Tjahjo Kumolo.
Menurut penulis, tak perlu seleval Edy Mulyadi dihadapi sekelas Hasto maupun Tjahjo dalam perdebatan ideologi di sosial media. Apalagi harus melibatkan Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah yang disertasi doktoralnya soal Pancasila.
Cukup melalui tulisan ini untuk bisa menjelaskan dan mengungkap bagaimana “sesat pikir” Edy Mulyadi dalam memahami Trisila dan Ekasila.
Sebenarnya, “sesat pikir” Edy Mulyadi ini sangat jelas patut diduga merupakan kesengajaan, karena merupakan bagian dari desain yang dipersiapkan untuk “menyerang” kelompok nasionalis-pancasilais, sehingga karuan saja ia tidak mau menggunakan referensi yang benar dalam memahami Trisila dan Ekasila. Karena patut diduga tujuan sebenarnya adalah, bagaimana “menghajar” kelompok nasionalis-pancasilais dengan isu komunisme. Itu saja, tidak lebih.
ADVERTISEMENT
Dan kali ini, polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sepertinya membuat ia merasa punya energi lebih untuk menyerang kelompok nasionalis-pancasilais karena alat serangnya dengan Pancasila yang ia tafsirkan semaunya, termasuk dengan membenturkan dengan gagasan dan penafsiran Bung Karno soal Trisila dan Ekasila. Tidak peduli ia dan kelompoknya selama ini dikenal sebagai pejuang ideologi transnasional penentang pemerintah yang sah, yang terpenting sekarang pasal yang menyebutkan Trisila dan Ekasila di RUU HIP bisa jadi komoditas untuk menampilkan diri seolah sebagai pembela Pancasila untuk melakukan "serangan politik" pada kelompok nasionalis-pancasilais.
Saudaara Edy, perlu saya kasih tahu, ini yang bisa saya jelaskan ke sampean soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Saya ambilkan dari tulisan saya sebelumnya:
ADVERTISEMENT
Konteks Trisila dan Ekasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam rangka menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat: “Apa dasar Negara yang akan kita bentuk ini”.
Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno mengurai lima prinsip dasar Indonesia merdeka yang disebut Pancasila, yakni Kebangsaan, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Itulah yang kemudian disepakati secara aklamasi sidang BPUPKI. Diakui Bung Karno dalam pidatonya, ia memang senang dengan symbol angka, terlebih angka lima, sama dengan rukun Islam. “Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya”. Demikian petikan pidato Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Kemudian dalam rumusan oleh Tim Delapan, dan berikutnya dibentuk Tim Semblian, yang mana Bung Karno juga ada di dalamnya, mengasilkan konsensus Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dan pada 18 Agustus menetapkan sila-sila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Lalu, dalam konteks apa diski Trisila dan Ekasila itu muncul? Itu adalah dalam konteks alternatif manakala sidang BPUPKI tidak sepakat dengan lima prinsip dasar yang disampaikan Bung Karno dengan sebutan Pancasila. Artinya, dalam tafsiran Bung Karno, jika Pancasila tidak disetujui misal karena bilangan lima, maka ia bisa memerasnya menjadi Trisila (socio-nationalisme, socio democratie, dan Ketuhanan), tanpa mengurangi lima prinsip itu. Pun jika pun karena bilangan tiga itu tidak disetujuinya, maka Bung Karno bisa memerasnya menjadi Ekasila, yakni gotong royong.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, Pancasila itulah yang disetujui oleh BPUPKI, dan tentu membuat Bung Karno senang karena ada symbol angka lima, sama dengan rukun Islam yang lima jumlahnya. Kemudian dalam rumusannya telah ditetapkan urutan sila-silanya sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Adapun Trisila maupun Ekasila, itu merupakan perasan jika lima sila itu tidak disetujui. Artinya, secara prinsip nilainya tetaplah sama, karena berangkat dari Pancasila. Bukan prinsip yang dipertentangkan sebagaimana ditafsirkan oleh mereka yang belakangan ini merasa sebagai pembela Pancasila meskipun selama ini lebih getol memperjuangkan ideologi transnasional
Jadi, merupakan sikap yang ahistoris (atau bisa jadi kesengajaan untuk mendistorsi) ketika mempertentangkan Pancasila dengan diksi Trisila dan Ekasila, yang itu semua sama-sama muncul dari penggalinya, yakni Bung Karno. Sebab, baik Trisila maupun Ekasila adalah perasan dari prinsip dasar lima sila itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Lantas, atas dasar dan argumentasi apa mereka memfitnah prinsip Ekasila dan Trisila (gotong-royong) sebagai ajaran komunis? Padahal sejatinya prinsip itu mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Prinsip Ekasila (gotong-royong) misalnya, merupakan sebuah prinsip pengaplikasian dari perintah Tuhan Yang Maha Esa: “Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa …”(Al-Quran Surat Al Maidah ayat 2).
Fitnah Isu Komunisme
Banyak literatur sejarah yang kredibel dari sisi sumber dan referensi, bahwa faktor dominan yang berhasil “mengkudeta” Bung Karno adalah fitnah yang mengidentifikasikan sosoknya dengan komunisme dan berpihak pada Partai Komunis Indonesia. Sebuah fitnah yang sebenarnya sulit diterima akal sehat, ketika menuding Bung Karno terlibat dalam pemberontakan PKI dalam posisi saat itu ia sendiri adalah Presiden Indonesia yang sah. Masuk akal kah Bung Karno “mengkudeta” dirinya sendiri dengan cara berkolaborasi dengan PKI?
ADVERTISEMENT
Keberhasilan menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno dengan isu komunisme, ternyata menjadi semacam resep strategi untuk menyerang secara politik untuk mendelegitimasi atau bahkan menjatuhkan pemerintahan yang sah ketika penerus ajaran Bung Karno berkuasa. Lihat saja bagaimana isu komunisme menghantam kekuasaan dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, isu komunisme dengan terstruktur, sistematis, dan massif selalu dialamatkan ke Jokowi dan partai pengusung utamanya PDI Perjuangan sejak awal kompetisi Pemilihan Presiden 2014 lalu, hingga ketika kepemimpinan untuk periode keduanya sekarang ini.
Sulit untuk tidak menarik benang merah bahwa isu komunisme itu memang menjadi desain dan alat politik untuk mendelegitimasi dan menjatuhkan penerus ajaran Bung Karno ketika berkuasa. Termasuk dengan menggunakan tafsir sempit Pancasila sebagai alat Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera. Contohnya; seolah membela Pancasila dengan strategi mengkampanyekan Trisila dan Ekasila sebagai paham komunisme, tanpa mau mengetahui bagaimana konteks Trisila dan Ekasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno kala itu.
ADVERTISEMENT
Padahal, kemalasan berpikir secara rasional dan menghindar dari rujukan ilmiah bisa jadi akan mensejajarkan pada pola pikir “asal menyalahkan”. Seperti juga misalnya pola pikir yang menyalahkan tafsir ulama bahwa Surat Alfatihah adalah intisari Alquran, ataupun tafsir Surat Yasin adalah jantungnya Alquran. Bisa dipastikan yang menyalahkan itu juga tentu tidak didasari ilmu tafsir dan ilmu hadits yang mumpuni, selain karena dorongan “nafsu politik” asal menyalahkan.
Sebagai penutup, untuk para pembaca yang masih punya sikap netral alias belum terpolarisasi “sesat pikir” yang menggunakan isu komunisme sebagai “alat serangan politik”, silahkan dicermati apa kepentingan ideologi dibalik upaya membenturkan Trisila dan Ekasila dengan Pancasila, yang itu semua bukanlah sebuah pertentangan. Kalaupun ingin mengkritisi RUU HIP yang saat ini pembahasannya sudah ditunda, termasuk soal pasal yang menyebutkan Trisila dan Ekasila, perdebatan tetaplah harus jernih dan didasarkan pada referensi yang konstruktif. Bukan untuk membakar emosi publik dengan membumbuinya dengan isu komunisme.
ADVERTISEMENT
Dan untuk saudara Edy Mulyadi, silahkan patahkan argumentasi ini dengan tulisan, karena melalui cara inilah kita mengisi perdebatan narasi lebih beradab dan tanggungjawab.