Konten dari Pengguna

Melihat Kondisi Terkini Demokrasi Indonesia Lewat Mahkamah Konstitusi

Rahmat Sentosa Daeli
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru Pengurus Forum Pemimpin Muda Nasional Kementerian Pemuda dan Olahraga RI Lulusan Fakultas Hukum Universitas Riau
26 Desember 2023 9:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Sentosa Daeli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Gedung Mahkamah Konstitusi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Gedung Mahkamah Konstitusi
ADVERTISEMENT
Pemerintahan demokrasi menjadi alam pemerintahan yang dipilih untuk dihinggapi masyarakat dunia saat ini. Lewat peristiwa-peristiwa sejarah yang direfleksikan dalam lembaran tarikh di pustaka yang ada kita melihat bahwa untuk sementara demokrasi menjadi titik kulminasi yang dipercaya menjadi bentuk pemerintahan paling baik dan seolah menjadi konsensus masyarakat dunia. Bahkan demi mendirikan pemerintah yang demokratis banyak terjadi revolusi hingga pertumpahan darah. Dan pada sebagian besar aspek memang masyarakat dunia lebih bebas dan merdeka di negara yang menganut sistem ini.
ADVERTISEMENT
Secara umum untuk melihat jalannya sistem demokrasi dalam suatu pemerintahan negara ialah berjalannya beberapa prinsip. Pertama yaitu kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum baik konstitusi maupun peraturan formal lainnya. Pada prinsip ini negara yang dijalankan oleh pemerintah (penguasa) harus berdasarkan pada hukum dan tidak boleh melewati batas-batas yang diatur. Tindak laku aparatur pemerintah diatur sedemikian rupa untuk kepentingan rakyat. Yang kedua ialah adanya pembagian rumpun kekuasaan yang secara umum ialah rumpun kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan yang menjalankan roda pemerintahan, kemudian kekuasaan legislatif yang bertugas mengatur aturan main jalannya pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh kekuasaan eksekutif. Jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh kekuasaan eksekutif tidak boleh tanpa aturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kemudian rumpun kekuasaan yang terakhir ialah kekuasaan yudikatif, yakni rumpun kekuasaan untuk mengadili setiap pelanggaran dalam kehidupan pemerintahan baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkembangannya pada kekuasaan yudikatif ini kemudian dikenal peradilan administrasi, yakni peradilan yang mengadili penyelenggara pemerintahan atas pelanggaran yang dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintah. Ini bertujuan untuk melindungi hak-hak warga negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Prinsip negara demokrasi yang ketiga ialah pengakuan dan perlindunga Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan dan pengakuan HAM menjadi poin penting dalam demokrasi, di masa lalu dalam bentuk pemerintahan otoritarianisme negara (penguasa), perlindungan hak yang bersifat asasi seperti kebebasan pribadi, perlindungan dalam proses penahanan dan proses lainnya berorintasi pada pelanggaran HAM, sehingga dalam negara demokrasi negara harus melindungi dan mengakui HAM warga negara.
ADVERTISEMENT
Melihat konteks Indonesia, demokrasi seharusnya bukan lagi barang baru yang baru saja dikenal dan dirayakan. Tujuh Puluh Delapan tahun menjadi suatu negara pada setiap dinamikanya selalu menuju haluan negara demokrasi. Peristiwa reformasi 1998 menjadi klimaks transisi demokrasi secara serius di Indonesia. Pemerintahan yang korup dan otoriter disirkulasi oleh semangat demokrasi oleh rakyat Indonesia pada masa itu. Tampuk kekuasaan pemerintahan yang tidak berbatas waktu diubah menjadi kekuasaan lima tahunan dan terbatas pada 2 periode, reformasi birokrasi diupayakan dan kita melihat ini merupakan titik awal transisi demokrasi di Indonesia. Ada banyak warna-warna yang memenuhi lanskap kehidupan kenegaraan Indonesia beberapa dekade sejak reformasi ini, diantaranya ialah lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga-lembaga negara ekstra lainnya.
ADVERTISEMENT
Menarik melihat ramai dan kompleksnya lembaga negara di negara-negara yang menganut demokrasi ini meskipun pada faktanya banyak dihegemoni oleh kepentingan kekuasaan. Begitu pula dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2003 yang didorong oleh semangat reformasi juga telah banyak mewarnai konstelasi politik dan ketatanegaraan Indonesia saat ini. Julukannya The Guardian of Constitution atau pengawal konstitusi membuat masyarakat percaya bahwa penyelenggaraan negara tidak bisa dengan sewenang-wenang dan bertentangan dengan konstitusi karena ada pahlawan yang mengawal yakni sebuah lembaga mulia yang diduduki oleh para Yang Mulia.
Namun belakangan salah satu lembaga yang merupakan anak kandung reformasi itu menjadi tercela di mata rakyat Indonesia. Musababnya ialah para hakim MK tersebut mengabulkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang pada intinya mengatur bahwa persyaratan untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Pada permohonannya (petitum) pemohon uji materi ini meminta agar syarat untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden ialah 25 tahun.
ADVERTISEMENT
Di tengah gonjang-ganjing permohonan uji materi yang sarat akan kepentingan politik tahun 2024 itu sedang berlangsung di tataran publik, putusan ini ternyata menciptakan drama politik sekaligus pelanggaran yang begitu mendasar dalam peradilan. Namun kita ulas terlebih dahulu mengenai isu yang menyita intensi masyarakat Indonesia menjelang putusan ini. Pada perkara uji materi ini, hakim konstitusi yang mengadili diketuai oleh Anwar Usman yakni Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan ipar dari Presiden Indonesia Joko Widodo. Tampaknya bukan suatu kebetulan, perkara uji materi ini erat kaitannya dengan peluang anak presiden Jokowi yang juga merupakan Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Gibran yang saat ini menjabat sebagai walikota Solo (Surakarta) masuk dalam bursa calon wakil Presiden untuk Pemilu 2024 namun ia berumur 36 tahun dan belum memenuhi syarat untuk menjadi calon Presiden atau calon wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu.
ADVERTISEMENT
Akhirnya pada 16 Oktober 2023 Mahkamah Konstitusi memutus perkara uji materi tersebut dan secara sederhana dapat dimaknai bahwa syarat untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden ialah paling rendang 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Akhirnya Gibran yang sebelumnya tidak memenuhi syarat akibat putusan tersebut menjadi memenuhi syarat. Pada pembahasan hukum harusnya MK tidak dapat memutus suatu norma yang menimbulkan norma baru (positive legislature) melainkan menegasikan norma Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Terlepas dari perdebatan hukum yang terjadi yang membuat putusan ini menjadi tidak legitimate ialah pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akibat banyak laporan terhadap hakim MK yang memutus perkara ini. Putusan MKMK salah satunya ialah memutus bahwa Hakim MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi dan menjatuhkan sanksi pemberhentian dari Jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Pelanggaran Kode Etik pada hakikatnya merupakan pelanggaran paling mendasar dan putusan ini justru mengamini bahwa putusan perkara uji materi syarat capres dan cawapres tidak didasari akan ratio legis dan pertimbangan hukum melainkan didasari atas kepentingan politik tahun 2024 dalam hal ini keponakannya Gibran Rakabuming Raka.
ADVERTISEMENT
Konstelasi politik Indonesia pada waktu ini secara kasat mata bisa dikatakan dihegemoni oleh politik Jokowi dan keluarganya. Pemaksaan peradilan dalam mengubah kondisi politik agar sejalan dengan kepentingan Jokowi dan keluarganya merupakan pelanggaran demokrasi dan menunjukkan candu kekuasaan yang dialami Jokowi. Sebagaimana dikatakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya “How Democracies Die” menyatakan bahwa dewasa ini demokrasi bisa mati bukan di tangan jenderal melainkan di tangan pemimpin terpilih, baik presiden atau perdana menteri yang membajak proses yang membawa mereka ke menuju kekuasaan. Beberapa pemimpin demikian membubarkan demokrasi dengan cepat, seperti Hitler sesudah kebakaran Reichstag 1933 di Jerman. Tapi yang lebih sering adalah demokrasi tergerus pelan-pelan, dalam langkah-langkah yang nyaris tak kasat mata. Begitu kira-kira mereka menggambarkan demokrasi yang bisa tergerus secara perlahan.
ADVERTISEMENT
Ketika Jokowi dicalonkan menjadi presiden untuk pertama kalinya di tahun 2014, sebagian besar pemilih memiliki anggapan bahwa Jokowi merupakan representasi kepemimpinan non-elit yang identik dengan entitas masyarakat kecil. Kondisi demikian membuat masyarakat merasa memperoleh harapan agar sosok yang merepresentasikan diri mereka bisa duduk pada tahta kekuasaan dan berpihak. Namun nyatanya tidak demikian, periode kedua pemerintahan Jokowi tampaknya menjadikan Jokowi bukan lagi sosok kepemimpinan non-elit yang merepresentasikan masyarakat kecil. Ia menjadi kalangan elit yang menjalankan pemerintahan dengan nuansa yang kental akan kepentingan politik pribadi jangka panjang dan persekutuan yang tidak demokratis.
Praktik-praktik kekuasaan yang dilakukan Jokowi pada periode kedua pemerintahannya dapat saya gambarkan sebagai “praktik main kasar konstitusional” sebagaimana dipaparkan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam Bukunya “How Democracies Die”.Maksudnya ialah dibungkus prosedur, norma-norma konstitusi diakali dan dilanggar guna memperoleh keuntungan politik. Mari kita telisik sebagian kecil praktik main kasar konstitusional yang terjadi selama pemerintahan Jokowi. Secara gamblang dan jelas kita telah melihat bagaimana dinamika “jatuh bangun” Undang-Undang Cipta Kerja yang dipaksa harus berlaku di Indonesia. Setelah banyak mengalami penolakan, UU Cipta Kerja dengan Metode Omnibus Law tetap diberlakukan pada tahun 2020 menjadi Undang-Undang. Pasca sah menjadi Undang-Undang, kebijakan ini juga mengalami gelombang penolakan besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Namun aksi ini tidak mengubah apapun hingga uji formil dilakukan terhadap Undang-Undang itu pada tahun yang sama ke Mahkamah Konstitusi (MK), dimana uji formil tersebut dikabulkan dan menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat yang artinya cara pembentukan UU tersebut tidak sesuai dengan konstitusi dan peraturan yang seharusnya sehingga UU ini harus diperbaiki oleh pemerintah dalam waktu 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Namun alih-alih memperbaiki, pemerintahan Jokowi justru membuat Perppu yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada 2022 lalu. Artinya ialah putusan MK tersebut tidak dipatuhi oleh pemerintah dan diakali agar dapat diberlakukan tanpa perbaikan dalam bentuk Undang-Undang. Gelombang penolakan berupa gerakan sosial maupun upaya hukum telah ditempuh namun apa daya pemerintah Jokowi justru mengakali prosedur konstitusi dan pada menjadi kondisi tidak demokratis sama sekali. Pada kondisi ini mulai terlihat secara jelas erosi atas norma-norma politik serta serangan dan pelemahan terhadap institusi demokrasi, dalam hal ini peradilan MK. Tindakan pelemahan dan pembunuhan demokrasi seperti ini memang hanya bisa dilakukan penguasa.
Kondisi kekacauan proses terbentuknya UU Cipta Kerja terpaksa harus dimaklumi oleh masyarakat secara umum karena segala upaya telah dilakukan namun masih harus diberlakukan oleh pemerintah. Kondisi abnormal semacam ini tak dapat lagi dihalau oleh sipil dan pemerintahan Jokowi mulai merasa berkuasa penuh atas setiap kebijakan yang akan diberlakukannya. Kondisi demikian ini membuat Jokowi merasa “di atas angin” dan melanjutkan skenario jabatan presiden 3 periode.
ADVERTISEMENT
Isu perpanjangan jabatan presiden menjadi 3 periode dilemparkan ke publik untuk mengukur ambisi ini dapat dicapai atau tidak. Sindrom candu kekuasaan Jokowi semakin menggerogotinya pada fase ini. Organ-organ kepemudaan dan sipil dibeli untuk menaikkan umpan lambung wacana masa jabatan presiden 3 periode, namun tampaknya kalangan elit politik tidak mau ambil resiko untuk menyambut umpan lambung yang begitu tinggi ini. Karena ambisi perpanjangan jabatan tidak terukur maka akhirnya puncak hasrat jokowi untuk melanggenggkan kekuasaannya disalurkan lewat pengakalan syarat calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu melalui Putusan MK yang melanggar etik dan logika hukum. Praktik “main kasar konstitusional” terjadi secara vulgar dan memperlihatkan secara jelas ambisi kekuasaan Jokowi.
Candu kekuasaan yang dipertontonkan Jokowi mengingatkan kita kisah-kisah diktator masa lalu. Pada awalnya para pemimpin sebuah negara yang menjadi diktator duduk pada singgasana kekuasaan karena dicintai oleh rakyat dan seolah identik dengan penderitaan rakyat. Sebut saja Vladimir Ilyich Lenin dan Joseph Stalin dari Rusia, Bennito Mussolini dari dari Italia, Mustafa Kemal Ataturk dari Turki,Mao Tse Tung dari China, Fidel Castro dari Karibia hingga Adolf Hitler dari Jerman. Pemimpin-pemimpin di atas lahir karena dorongan dari rakyat yang mendukungnya dan kemudian mengambil alih pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pada perjalanannya para pemimpin ini semakin dielu-elukan bahkan dikultuskan oleh barisan pendukung dan loyalisnya hingga menjadikan mereka merasa “di atas angin” dan berlagak berkuasa penuh hingga terpapar penyakit “candu kekuasaan”. Kondisi hampir serupa juga terjadi pada Jokowi, barisan pendukungnya mulai meneriakkan dan menggaungkan slogan-slogan seperti “tegak lurus bersama jokowi” hingga “Jokowisme” yang dinyayi-nyanyikan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Slogan-slogan dan teriakan pengkultusan Jokowi mendecing di telinganya dan memupuk rasa kepercayaaan dirinya bahwa ia merupakan simbol kekuasaan paling berpengaruh di Indonesia saat ini.
Perjalanan intrik politik Jokowi tidak hanya sampai pada kelahiran Gibran sebagai anak putusan MK yang melanggar etik namun juga menjadikan anaknya Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai PSI. Suatu kondisi yang abnormal, dalam waktu 2 hari menjadi kader, partai tersebut seolah langsung dibeli oleh Jokowi, Kaesang langsung naik ke tahta Ketua Umum. Prasarana politik juga masuk dalam bagian yang dicengkram oleh politik Jokowi, kaderisasi partai politik yang merupakan bagian dari fase perkembangan demokrasi pun dikangkangi oleh kepentingan golongan. Power-Syndrom semacam ini benar-benar bukan lagi hanya relevan dengan konstestasi Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 saja, namun juga mempertaruhkan keberlangsungan demokrasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagi banyak kalangan masyarakat Indonesia, kondisi sebagaimana kita bicarakan di atas hanyalah drama politik menjelang Pemilu 2024, namun tanpa disadari inilah yang disebut pembunuhan demokrasi secara perlahan lengkap dengan praktik-praktik keganasannya. Pemimpin politik yang terpilih secara demokrasi tidak menjaga demokrasi justru membunuhnya. Apa yang ditarikhkan oleh Jules Archer dalam Bukunya “Kisah Para Diktator” serta apa yang dinubuatkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya “How Democracies Die” adalah thesis yang dapat menjadi kacamata kita dalam melihat kondisi politik dan demokrasi di Indonesia saat ini.
Apa yang dilakukan oleh Jokowi menunjukkan gejala otoritarianisme dan akan terus berkembang dan berlanjut jika masyarakat demokrasi tidak menyadari. Para elite politik di Indonesia juga hanya bertindak sebagai politisi bukan sebagai negarawan. Gejala otoritarianisme yang dipertontonkan bukan menjadi sarana untuk mengultimatum masyarakat akan bahayanya melainkan memanfaatkan momentum ini untuk kepentingan elektoral dan transaksi dagang sapi politik.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari masyarakat politik dan elemen demokrasi, mahasiswa, akademisi dan ilmuan politik bahkan masyarakat tidak boleh hanya melakukan diagnosa saja terhadap gejala otoritarianisme Jokowi. Tindakan untuk menghalau jebolnya demokrasi yang belum sepenuhnya dirasakan oleh bangsa ini harus dilakukan, jangan sampai kita belum mengerti dan mengalami sepenuhnya nikmat dari berdemokrasi justru kita hanya mencicipi ampas-ampasnya. Kuda hitam untuk pemilu 2024 telah dipersiapkan, perlengkapan untuk kekuasaan jangka panjang telah dipakai, kalau tidak ada pencegahan maka penunggang akan menunggangi kuda hitam lengkap dengan peralatannya melintasi areal batas berpacu dan mengacaukannya. Bagaimana caranya? Yok mikir.