80 Tahun Sir Alex Ferguson

Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
31 Januari 2022 18:03 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sir Alex Ferguson menyaksikan laga Manchester United vs Southampton. Foto: Clive Brunskill/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Sir Alex Ferguson menyaksikan laga Manchester United vs Southampton. Foto: Clive Brunskill/Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, barangkali tidak banyak pelatih yang dapat mencapai reputasi dan prestasi seperti apa yang telah dicapai oleh Sir Alex Ferguson (SAF). Sebuah hal yang barangkali akan disetujui oleh para fans sepakbola di seluruh dunia, sekalipun orang tersebut bukan fans dari klub yang dilatih oleh SAF.
ADVERTISEMENT
13 gelar juara Liga inggris, 10 piala Community Shield, 5 piala FA, dan 2 piala Champions League, merupakan beberapa catatan koleksi trofi yang diraihnya selama melatih Manchester United (MU).
Sejak mulai melatih MU pada tahun 1986 hingga pensiun pada tahun 2013 silam, tercatat pria yang juga sering disapa Fergie ini merupakan pelatih dengan jumlah trofi terbanyak sepanjang sejarah klub, dengan total koleksi sebanyak 38 trofi. Jauh mengungguli rekor dari Sir Matt Busby, pelatih legendaris MU pada periode tahun 60-an yang berhasil mengoleksi 13 trofi selama periode kepelatihannya.
Kini, berselang 7 tahun sejak terakhir kali menjabat sebagai pelatih MU, SAF tahun ini merayakan hari lahirnya yang ke-80 tahun. Namun, umur SAF yang menginjak angka 80 tahun ini, bisa saja tidak kita saksikan sekarang. Sebab, pada tahun 2018 lalu, SAF divonis terkena pendarahan otak yang kemungkinan besar dapat membuat hidupnya berakhir saat itu juga.
ADVERTISEMENT
Penyakit tersebut membuat SAF harus menjalani operasi otak. Tidak hanya berisiko tinggi, operasi tersebut juga memiliki efek samping yang membuatnya dapat kehilangan ingatan. Dan benar saja, enam bulan setelah operasinya berhasil, ia mengalami kesulitan berbicara dan mengingat.
Sebagai bentuk upaya untuk menjaga ingatannya agar tidak hilang, setiap kali ia mengingat peristiwa tertentu, maka ia akan cepat-cepat menuliskannya pada selembar kertas. Proses pemulihan dari operasi otak inilah yang menjadi bagian pembuka dari film dokumenter berjudul “Sir Alex Ferguson: Never Give In" (2021).
Disutradarai oleh James Ferguson, yang tidak lain merupakan anak sulung dari SAF. Dengan mengambil cuplikan arsip foto, video, serta melakukan wawancara personal, James mencoba untuk merangkai momen-momen penting dalam kehidupan pribadi maupun perjalanan karir SAF.
ADVERTISEMENT
Govan, sebuah daerah pedesaan di sebelah barat kota Glasgow Skotlandia, adalah tempat di mana kisah SAF dimulai. Sebagai daerah distrik yang dikenal sebagai pusat pelabuhan, mayoritas pemuda yang tinggal di situ bekerja sebagai awak atau teknisi di galangan kapal, termasuk SAF dan juga ayahnya. Agaknya, latar belakang sebagai pekerja kapal inilah yang membentuk sifat keras dan disiplin dari SAF yang menjadi ciri khas-nya selama melatih kelak.
Di sela-sela pekerjaannya itulah SAF berlatih sepakbola. Namun, karier sepak bolanya tidak selalu berjalan mulus. Sempat berpikir berhenti di umur 21 karena tidak kunjung menjadi pemain utama, karirnya melesat ketika berhasil mencetak hattrick ke gawang Rangers, salah satu klub besar di Skotlandia. Berkat hattrick itu, ia urung pindah ke Kanada dan kembali melanjutkan karier sepakbolanya.
ADVERTISEMENT
Selang 3 tahun setelah pertandingan itu, tawaran bermain untuk Rangers pun muncul. Sebagai klub favoritnya sejak kecil, tentu tak butuh waktu berpikir yang lama untuk menerima tawaran tersebut. Sukacita ini, sayangnya, tidak berlangsung lama.
Di balik gedung-gedung dengan arsitektur gotiknya, Glasgow adalah kota yang sejatinya terbelah. Sejak akhir abad ke-16, ketegangan antara umat Katolik dan umat Protestan menjadi bibit konflik yang terpendam lama. Sektarianisme agama ini masuk ke dalam seluruh kehidupan masyarakat Glasgow, termasuk sepakbola.
Sektarianisme itu terwujudkan pada dua klub sepakbola terbesar di Skotlandia, Celtic & Rangers. Celtic adalah klub dengan basis fans beragama Katolik, sedangkan Rangers adalah klub dengan basis fans protestan. Dalam sebuah pertandingan final piala liga yang mempertemukan dua klub tersebut, Rangers kalah telak 0-4 dari Celtic. SAF, yang saat itu menjadi bagian dari tim inti Rangers, menjadi kambing hitam kekalahan timnya. Latar belakang istrinya yang seorang katolik dikait-kaitkan sebagai penyebab utama kekalahan Rangers. Karena peristiwa itu, ia memutuskan untuk pindah dari Rangers. Klub yang tadinya ia cintai, kini berubah menjadi klub yang paling dibencinya. Beberapa tahun setelahnya, ia memutuskan pensiun dari dunia sepakbola di usia yang relatif masih muda.
ADVERTISEMENT
Banting setir menjadi pelatih setelah pensiun, SAF mulai melatih Aberdeen, salah satu klub lokal di Skotlandia. Meski awalnya harus menggunakan lapangan alun-alun kota karena klub tidak memiliki lapangan latihan sendiri, ia berhasil mengantarkan Aberdeen menjadi juara Champions League pada musim 1982-1983 dengan mengalahkan Real Madrid di final. Pasca kemenangan di final tersebut, SAF pindah ke Inggris untuk menerima tawaran menjadi pelatih MU pada tahun 1986.
Masa-masa awal kepelatihan SAF di MU bukanlah periode yang mudah. MU belum pernah juara liga Inggris selama 20 tahun, mereka sering kalah dalam pertandingan, dan posisi klub selalu berada di papan bawah klasemen setiap akhir musim. Selama 4 tahun pertama, tidak ada trofi yang berhasil diraih olehnya.
ADVERTISEMENT
Mulai banyak pihak-pihak yang meragukan kemampuannya. Ribuan surat-surat kemarahan mulai masuk ke kantornya. Suatu hari ia pernah mendapat telepon langsung dari seseorang dengan nada marah yang berkata: "Get back to your home in Scotland, You Fu**ing useless!". Ia kemudian pulang ke rumah, duduk di kamar sambil menangis. Ya, orang yang satu waktu pernah menendang sepatu ke muka David Beckham karena marah itu, ternyata juga bisa menangis.
Perlu waktu 5 tahun untuk SAF agar berhasil meraih trofi pertamanya. Dan 21 tahun setelah itu, 37 trofi-trofi lain mulai berdatangan ke dalam koleksi trofi yang ia menangkan.
Di masa sepakbola modern seperti sekarang, di mana satu-dua kekalahan saja sudah cukup untuk membuat seorang pelatih dipecat, masa kepelatihan selama 26 tahun tentu adalah sebuah hal yang langka dan mungkin jarang terjadi di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Dalam buku autobiografi yang ia tulis, "Alex Ferguson: My Autobiography" (2013), ada satu kalimat yang selalu menjadi pegangan dari SAF. "The minute when a player thinks he is bigger than a manager or the club, then he had to go". Tidak ada pemain yang boleh merasa lebih hebat daripada manajer, apalagi klub-nya.
Prinsip inilah yang membuatnya tidak segan mendepak pemain-pemain seperti David Beckham, Ruud Van Nistelrooy, atau Roy Keane. Tidak peduli seberapa tinggi reputasi dan kontribusi pemain-pemain tersebut pada klub.
Sejak SAF pensiun, tercatat sudah ada 6 orang (4 pelatih utama + caretaker sementara) yang menggantikan posisinya sebagai manajer MU. Rata-rata, nama-nama tersebut hanya bertahan selama 2-3 tahun sebelum dipecat. Nampaknya, beban untuk melanjutkan rekam jejak positif SAF bukan hal yang mudah. Dan MU sampai saat ini masih mencari sosok yang tepat untuk menggantikannya.
ADVERTISEMENT
Pemain dan pelatih akan terus berganti, namun klub akan terus abadi. Tapi ketika ada seseorang yang begitu berjasa dengan masa bakti yang lama pada klub, akan ada beberapa nama yang tidak bisa dilupakan atau bahkan mencapai status yang sama besarnya dengan klub tempat ia berkarier.
Dan untuk MU, salah satu nama tersebut tentu adalah Sir Alex Ferguson.