Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketentuan Pemidanaan dalam Kasus Prostitusi
13 Januari 2022 21:41 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, berita tentang artis berinisial "CA" yang dikabarkan terlibat kasus prostitusi muncul ke publik. CA, berdasarkan keterangan polisi, ditangkap di sebuah hotel di kawasan Jakarta pusat. Saat ini CA, bersama dengan tiga orang lainnya, telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus prostitusi.
ADVERTISEMENT
Berita tentang penangkapan CA merupakan satu dari sekian banyak berita tentang kasus prostitusi yang sudah sering kita dengar. Perkembangan teknologi informasi membuat prostitusi semakin banyak.
Saat ini, prostistusi tidak hanya bisa dilakukan dalam bentuk lokalisasi terpusat atau penjajakan secara langsung di tempat tertentu, tetapi bisa dilakukan secara daring melalui website, aplikasi, dan media sosial. Seperti kasus yang dialami oleh artis CA. Maraknya pemberitaan tentang kasus prostitusi di media kemudian juga membuat orang ramai-ramai memandang buruk para terduga PSK yang tertangkap oleh polisi.
Tapi terlepas dari semua itu, barangkali tidak banyak dari kita yang mengetahui bagaimana sistem hukum kita mengatur ketentuan hukum untuk pihak-pihak yang terlibat dalam kasus prostitusi, terkhusus para Pekerja Seks Komersial (PSK). Apakah sebenarnya PSK dapat dijerat dengan ketentuan hukum pidana?
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, patut diketahui bahwa penuntutan kasus prostitusi memiliki banyak variasi berdasarkan ketentuan hukum yang saat ini ada di Indonesia.
Bila dirangkum, ada beberapa pasal yang sering dijadikan alat untuk menjerat pihak yang terlibat dalam kasus prostitusi, yaitu: Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Informasi & Transaksi Elektronik (ITE), dan UU tentang pornografi.
Dalam KUHP, ada dua pasal yang biasanya sering dijadikan dasar untuk menuntut kasus prostitusi, yaitu Pasal 296 dan 506. Kedua pasal tersebut mengatur larangan bagi orang untuk mengambil keuntungan atau menjadikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan cabul sebagai mata pencaharian atau profesinya sehari-hari.
Meskipun demikian, dalam rumusan kedua pasal ini, subjek hukum yang diancam hukuman pidana hanya terbatas pada orang-orang yang bertindak sebagai perantara atau pihak ketiga dalam bisnis prostitusi, yang biasa kita sebut sebagai mucikari/germo. Sedangkan, pelanggan dan PSK yang menawarkan jasa prostitusi tidak termasuk dalam subjek hukum yang diatur dalam Pasal 298 dan Pasal 506.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana dengan pasal KUHP lainnya, seperti Pasal 284 yang mengatur tentang perbuatan perzinahan?
Dalam pasal tersebut, orang yang melakukan perbuatan zina memang diancam oleh hukuman pidana. Namun, substansi hukum terkait pasal tersebut bersifat spesifik, yakni hanya mengatur orang-orang yang sudah berada dalam ikatan pernikahan. Bilamana kedua orang yang melakukan perzinahan sama-sama belum terikat pernikahan, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan kepada terduga pelaku.
Dan yang perlu diingat kembali, pasal tersebut tergolong sebagai delik aduan, di mana penyelidikan kasus baru dapat diproses hanya apabila telah terdapat laporan dari pihak-pihak yang dirugikan oleh perbuatan tersebut, yang dalam kasus ini, adalah suami/istri dari masing-masing terduga pelaku.
Bila tidak ada laporan dari pihak yang dirugikan atau yang melaporkan kasus adalah warga umum yang tidak terikat status pernikahan (suami/istri) dengan terduga pelaku, maka pasal tersebut tidak bisa digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat perzinahan.
ADVERTISEMENT
Kemudian dalam UU TPPO, pada Pasal 12, telah diatur larangan tentang melakukan pemanfaatan orang secara eksploitatif. Baik eksploitasi secara fisik dengan memanfaatkannya sebagai tenaga kerja, maupun eksploitasi secara seksual dengan memaksa seseorang untuk terlibat dalam perbuatan cabul.
Akan tetapi, sama dengan rumusan pada Pasal 296 dan 506 dalam KUHP, Pasal 12 dalam UU TPPO ini secara spesifik memberikan ancaman hukuman pada pihak ketiga yang mengambil atau mendapat keuntungan dari praktik eksploitasi tersebut. Hal ini disebabkan karena UU TPPO adalah UU khusus yang digunakan untuk mencegah kejahatan human trafficking dan perbudakan manusia.
Dengan demikian pendekatan yang digunakan dalam UU ini justru tidak melihat PSK sebagai pelaku yang dapat dikriminalisasi dengan hukum pidana. Tetapi sebaliknya, PSK adalah bagian dari korban yang mesti diselamatkan karena semata-mata dijebak dalam bisnis perdagangan manusia dan dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan bagi pihak ketiga, yaitu para mucikari/germo dalam bisnis prostitusi. Maka dari itu yang dikenakan pidana adalah pihak ketiga yang mendapat atau mengambil keuntungan, bukan pada PSK-nya.
ADVERTISEMENT
UU Pornografi dan UU ITE pun sebenarnya juga tidak secara eksplisit mengatur tentang bisnis prostitusi. Ketentuan yang diatur dalam kedua UU tersebut hanya pada pembatasan dan larangan untuk menyebarkan konten-konten bermuatan asusila baik dalam bentuk teks, foto video, ataupun dokumen elektronik yang secara sengaja ditujukan kepada publik melalui media elektronik.
Kalau dalam praktiknya unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi dan proses penawaran serta transaksi prostitusi dilakukan secara personal serta tidak disebarluaskan ke publik. Maka, berdasarkan rumusan dari kedua UU tersebut, pihak-pihak yang terlibat dalam prostitusi tidak bisa dikenakan pidana.
Selain ketentuan yang ada di dalam KUHP dan UU Pidana Khusus seperti yang telah dijelaskan di atas, masih ada satu lagi ketentuan yang mengatur tentang kegiatan prostitusi, yaitu Peraturan Daerah (Perda).
ADVERTISEMENT
Beberapa wilayah di Indonesia seperti DKI Jakarta, Palembang, Bandar Lampung, atau Indramayu, memiliki perda khusus yang mengatur tentang larangan melakukan kegiatan prostitusi, dan memperluas cakupan substansi hukum dengan memasukkan pelanggan dan PSK sebagai subjek yang dapat dikenai oleh hukuman pidana.
Akan tetapi, pengaturan pidana dalam perda pun memiliki batasan dalam sanksi yang bisa dikenakan kepada pelaku. Ketentuan pidana dalam perda hanya dapat menjatuhkan sanksi yang sifatnya ringan, mulai dari sanksi melakukan kerja sosial, denda, hingga sanksi kurungan yang masa waktunya tidak boleh lebih dari satu tahun. Pidana penjara tidak bisa dijatuhkan melalui Perda yang ada di tiap darah. Selain itu, cakupan wilayah berlakunya Perda juga terbatas.
Ia hanya berlaku di wilayah di mana Perda itu ditetapkan, dan tidak dapat diberlakukan di tempat lain yang tidak memiliki Perda yang sama. Jikalau tempat terjadinya prostitusi berada di wilayah tidak memiliki perda tentang kegiatan prostitusi, maka ketentuan perda tidak dapat digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat prostitusi.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada pertanyaan di awal, bila kita melihat beberapa ketentuan hukum yang ada di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa secara umum ketentuan hukum yang kita miliki lebih menargetkan mucikari/germo sebagai subjek hukum yang dapat dipidana. Sedangkan pelanggan, terutama PSK, bukan merupakan subjek hukum yang secara spesifik dapat dikenai hukuman pidana.
Dalam melihat kasus prostitusi, aparat penegak hukum dan masyarakat perlu melihat secara objektif dan proporsional bagaimana kasus yang terjadi di lapangan. Karena dalam praktiknya, ada banyak variasi skenario yang dapat terjadi dalam kasus prostitusi sesuai dengan ketentuan hukum yang ada di indonesia.
Jangan sampai karena sejak awal sudah terburu-buru memberikan stigma negatif para pelaku yang terlibat dalam prostitusi, khususnya PSK, penegakan hukum yang diterapkan pada mereka menjadi salah sasaran dan kurang tepat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, barangkali kita perlu mengingat kembali asas-asas pokok yang penting dalam penerapan hukum pidana. Pertama, asas legalitas, yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada ketentuan hukum yang mengatur perbuatan tersebut. Dan yang kedua, asas culpabilitas, di mana seseorang tidak dapat dipidana bila tidak ada unsur kesalahan yang terbukti ia langgar.
Prinsip-prinsip inilah yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum, agar penerapan hukum pidana yang menyangkut kasus prostitusi secara lebih tepat sasaran.