Logika Mayoritas dan Minoritas dalam Penerapan Aturan Jilbab

Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
26 Januari 2021 18:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Logika Mayoritas dan Minoritas dalam Penerapan Aturan Jilbab
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
SMKN 2 Padang dalam beberapa hari ke belakang menjadi topik utama pemberitaan media di Indonesia. Alasannya, karena tersebar video salah seorang orang tua murid yang memprotes kebijakan sekolah yang mewajibkan semua siswi untuk mengenakan jilbab tanpa terkecuali, termasuk bagi mereka yang beragama selain Islam.
ADVERTISEMENT
Tidak tanggung-tanggung, menteri pendidikan Nadiem Makarim pun sampai ikut menanggapi kasus ini dan merekomendasikan agar kepala sekolah SMKN 2 Padang diberikan sanksi berat sebagai upaya peringatan agar tidak terjadi kasus-kasus yang sama di masa depan.
Jika kita telusuri lebih dalam, kasus ini setidaknya mengungkapkan beberapa problem penting dalam pengelolaan pendidikan kita.
Pertama-tama kita bisa menyimak terlebih dahulu pernyataan yang disampaikan oleh mantan walikota Padang soal kasus ini. Menurutnya protes terkait hal ini merupakan sebuah hal yang Janggal, karena kebijakan ini telah berlangsung selama 15 tahun di kota Padang. Kalau memang kebijakan ini bermasalah, mengapa publik baru meributkannya sekarang?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam. Tapi penjelasan paling masuk akal adalah, bisa jadi selama ini telah terjadi hegemoni secara terselubung kepada siswi non-muslim di sekolah itu. Sehingga terjadi dominasi kekuasaan pihak sekolah yang menyebabkan mereka tidak berani untuk berbicara ataupun memprotes kebijakan tersebut. Adanya sosial media dan internet menjadi katalis terbukanya praktek hegemoni sekolah ini kepada publik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, ketiadaan protes selama ini bukan menandakan bahwa siswi di sekolah itu menerima secara sukarela kebijakan sekolah tersebut. Tetapi lebih karena adanya anggapan bahwa kelompok minoritas sudah sewajarnya mengikuti kemauan dari kelompok mayoritas. Logika ini kemudian menjadi penyebab mengapa diskriminasi secara struktural dan kultural ini dianggap sebagai sebuah kewajaran dan terus berlangsung dalam kehidupan sekolah, dan juga dalam lingkungan lain di masyarakat kita.
Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa pimpinan sekolah tersebut tidak memahami dengan baik terkait filosofi dan tujuan dari didirikannya sekolah negeri.
Dalam sekolah negeri, konsep dasar pengelolaannya adalah terbuka untuk semua kalangan. Tidak peduli apakah siswa tersebut berasal dari suku X, ras Y, ataupun agama Z. Sekolah negeri tidak memandang latar belakang siswanya, dan bertujuan untuk mewadahi dan melindungi kepentingan seluruh siswa tanpa ada keberpihakan tertentu kepada golongan tertentu. Landasan pengelolaannya adalah keberagaman, bukan keseragaman.
ADVERTISEMENT
Beda halnya dengan pengelolaan sekolah swasta atau sekolah berbasis agama. Dalam sekolah model seperti ini, ciri khas ideologi atau agama tertentu dapat ditonjolkan secara eksplisit. Dimana siswinya memang lebih homogen. Namun, hal tersebut tidak bisa dilaksanakan di sekolah negeri dengan lingkungan yang heterogen. Karena bertentangan dengan tujuan dasar berdirinya sekolah negeri.
Bila logika berfikir ini diterapkan maka praktek sejenis dapat muncul di sekolah lain. Bagaimana semisal sekolah swasta atau sekolah agama non-islam membuat kebijakan bahwa seluruh siswi muslim diwajibkan untuk tidak mengenakan jilbab dan mengenakan atribut keagamaan lain. Apakah kita akan membenarkan juga praktek yang demikian dengan argumen yang sama?
Yang justru akan terjadi di masa depan adalah kita menanam bibit-bibit potensi konflik sosial keagamaan dalam masyarakat kita. Dengan adanya dikotomi dan diskriminasi atas nama mayoritas dan minoritas yang saat ini dianggap sebagai sebuah kenormalan.
ADVERTISEMENT
Bila kita runut, jika memang pertimbangan pelaksanaan kebijakan adalah dengan menggunakan perspektif mayoritas dan minoritas. Maka seharusnya perumusan kebijakan tersebut lebih berpihak dan mempertimbangkan hak-hak dari golongan minoritas sebagai kelompok yang lebih rentan. Bukan dengan menguatkan kedudukan mayoritas yang sudah mapan dan kuat.
Lebih jauh lagi, apabila kita membedah substansi dari aturan ini. Kita dapat menanyakan pertanyaan yang lebih mendasar. Haruskah sebenarnya sekolah mengatur atribut seragam yang mencerminkan ekspresi dan keyakinan pribadi dari masing-masing siswa-siswinya?
Jika toh memang atribut tersebut diwajibkan oleh ajaran agama masing-masing siswa, maka biarkan mereka sendiri yang memilih apakah akan menjalankan atau meninggalkan ajaran tersebut. Sekolah tidak perlu ikut campur dalam masalah ini. Karena ekspresi dan keyakinan beragama adalah wilayah forum Internum yang merupakan bagian dari hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat. Karena agama dan pelaksanaan ajarannya adalah soal keyakinan dan kesadaran internal dari pemeluknya sendiri, bukan karena adanya ancaman dan paksaan hukuman dari pihak luar.
ADVERTISEMENT
Kita bahkan tidak perlu membawa argumen terkait toleransi untuk memahami masalah ini. Karena pokok utama masalahnya bukan soal kesadaran keragaman atau toleransi dengan pihak lain. Tetapi persoalan terkait hegemoni satu kelompok kepada kelompok lain dengan dalih mayoritas dan minoritas.
Semoga ke depan para pengelola dan pimpinan sekolah dapat belajar dari kasus ini dan mampu untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif dan ramah untuk segala siswa dari golongan apapun.